Berikut ini adalah tulisan Mpu Heri Purwanto pada 07 Agustus 2019 yang lalu. Tulisan ini disebut juga dengan judul Majapahit Universe 1, yakni daftar raja-raja Majapahit versi Sejarah. Selain Majapahit Universe 1 ini, Mpu Heri juga menulis Majapahit Universe 2 atau versi Legenda yang akan kami muat di balambangan.id pada postingan berikutnya.
Daftar raja-raja Majapahit Universe 1 (versi Sejarah) di bawah ini disusun berdasarkan sumber Kakawin Nāgarakṛtāgama dan Sĕrat Pararaton, yang telah dikroscek dengan sumber prasasti (jika ada). Untuk angka tahun telah beliau seragamkan memakai kalender Masehi.
Dyah Wijaya (1294 – 1309)
Menurut Nāgarakṛtāgama (1365), Kerajaan Majapahit didirikan tahun 1294 oleh Dyah Wijaya yang bergelar Kṛtarājasa Jayawardhana. Dyah Wijaya adalah putra Dyah Lĕmbu Tal, sedangkan Dyah Lĕmbu Tal adalah putra Bhaṭāra Narasinghamūrti.
Dyah Wijaya menikahi empat putri Śrī Kṛtanāgara (raja Singhasāri) yang bernama Śrī Parameśwarī Tribhuwana, Dyah Duhitā Mahādewī, Prajñāpāramitā Jayendradewī, dan Dyah Gāyatrī Rājapatnī. Tahun kematian Dyah Wijaya menurut naskah ini adalah 1309.
Menurut Pararaton (1613), Kerajaan Majapahit didirikan tahun 1294 oleh Raden Wijaya yang kadang disebut Arṣawijaya, bergelar Śrī Kṛtarājasa. Raden Wijaya disebut sebagai putra Mahiṣa Campaka alias Bhaṭāra Narasinga. Ia menikah dengan dua orang putri Kṛtanāgara (raja Tumapĕl) yang tidak disebut namanya, serta seorang putri Malayu bernama Dara Pĕṭak.
Tahun kematian Raden Wijaya menurut naskah ini adalah 1335 (angka ini tentu saja bertabrakan dengan masa pemerintahan Jayanāgara dan Tribhuwanottunggadewī).
Dalam prasasti Kudadu (1294) disebutkan nama asli Kṛtarājasa Jayawardhana adalah Narārya Sanggrāmawijaya. Ia disebut sebagai cucu Narasinghamūrti dan menantu Śrī Kṛtanāgara.
Prasasti Sukamṛta (1296) menyebut nama asli Kṛtarājasa Jayawardhana adalah Rakryan Mantri Sanggrāmawijaya. Prasasti ini juga menyebut nama keempat istrinya, yaitu Śrī Parameśwarī Dyah Dewī Tribhuwaneśwarī, Śrī Mahādewī Dyah Dewī Narendraduhitā, Śrī Jayendradewī Dyah Dewī Prajñāpāramitā, dan Śrī Rājendradewī Dyah Dewī Gāyatrī. Juga disebutkan perihal anaknya yang telah menjadi raja bawahan di Daha bernama Śrī Jayanāgara, lahir dari Śrī Parameśwarī.
Prasasti Balawi (1305) menyebut nama Mahārāja Narārya Sanggrāmawijaya bergelar Śrī Kṛtarājasa Jayawardhanānanta-wikramottungga. Prasasti ini juga menyebut nama keempat istrinya seperti di atas, dan juga nama Śrī Jayanāgara yang lahir dari Śrī Parameśwarī. Juga disebutkan nama anak perempuan raja, tetapi lempengan bagian ini hilang.
Dyah Wijaya juga disebutkan dalam catatan Cina berjudul naskah Yuan-shih, dengan nama Tu-han-pi-ja-ya. Ia dikisahkan bekerja sama dengan pasukan Yuan yang datang untuk menghukum raja Jawa tahun 1293, tapi kemudian pasukan Yuan diusir olehnya setelah mengalahkan Ha-ji-ka-tang raja Ka-lang.
Sri Jayanāgara (1309 – 1328)
Menurut Nāgarakṛtāgama (1365), Dyah Wijaya digantikan putranya yang lahir dari Indreśwarī, bernama Śrī Jayanāgara. Sebelum menjadi raja Majapahit, ia telah diangkat sebagai raja muda di Kaḍiri sejak tahun 1295. Śrī Jayanāgara dikisahkan meninggal pada tahun 1328.
Menurut Pararaton (1613), Raden Wijaya digantikan putranya yang lahir dari Dara Pĕṭak, bernama Raden Kalagĕmĕt yang bergelar Bhaṭāra Śrī Jayanāgara. Ia dikisahkan mati dibunuh tabib istana bernama Tañca pada tahun 1328.
Prasasti Sukamṛta (1296) dan prasasti Balawi (1305) menyebut Śrī Jayanāgara adalah putra Śrī Parameśwarī Dyah Dewī Tribhuwaneśwari. Ia menjabat sebagai raja muda di Daha pada era pemerintahan ayahnya. Adapun prasasti Tuhañaru (1323) dikeluarkan saat ia sudah menjadi raja Majapahit dengan gelar Śrī Sundarapāṇḍya Dewādhīśwara.
Śrī Tribhuwana Wijayottunggadewī (1328 – 1350)
Menurut Nāgarakṛtāgama (1365), Śrī Jayanāgara digantikan adiknya yang lahir dari Śrī Rājapatnī, bergelar Śrī Tribhuwana Wijayottunggadewī. Raja wanita ini menikah dengan raja bawahan di Singhasāri yang bernama Śrī Kṛtawardhaneśwara.
Dari perkawinan itu lahir Śrī Hayam Wuruk yang menjadi putra mahkota dan Śrī Wardhanaduhiteśwarī yang menjadi raja bawahan di Pajang. Setelah Śrī Rājapatnī meninggal tahun 1350, Śrī Tribhuwana Wijayottungadewī menyerahkan takhta Majapahit kepada Śrī Hayam Wuruk, sedangkan dirinya mengisi jabatan sebagai raja bawahan di Jiwana.
Pararaton (1613) menyebut Śrī Jayanāgara setelah meninggal digantikan adiknya lain ibu, bernama Bhreng Kahuripan. Raja wanita ini menikah dengan Raden Cakradhara yang menjadi Bhreng Tumapĕl, bergelar Śrī Kṛtawardhana.
Dari perkawinan itu lahir Śrī Hayam Wuruk dan dua orang putri. Putri yang pertama menikah dengan Raden Larang alias Bhre Matahun (menurut Nāgarakṛtāgama, raja Matahun bernama Śrī Rājasawardhana memiliki istri bernama Rājasaduhitendudewī raja Lasĕm yang merupakan sepupu Hayam Wuruk, bukan adik kandungnya).
Adapun putri Bhreng Kahuripan yang bungsu menjadi Bhre Pajang, yang menikah dengan Raden Sumana sebagai Bhre Paguhan. Pararaton tidak menyebut kapan Bhre Kahuripan turun takhta dan digantikan Hayam Wuruk. Adapun kematian Bhre Kahuripan ditulis terjadi sesudah tahun 1371, sedangkan suaminya, yaitu Bhre Tumapĕl meninggal tahun 1386.
Prasasti Berumbung (1329) menyebutkan gelar lengkap Śrī Tribhuwanottunggadewī Jayawiṣṇuwardhanī yang juga bernama Śrī Mahālakṣmawatī Kanakarā Gītārjā.
Prasasti Singhasāri (1351) menyebutkan nama Śrī Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawiṣṇuwardhanī sebagai pemimpin Bhaṭāra Saptaprabhu, yaitu tujuh raja bawahan di era pemerintahan Śrī Hayam Wuruk.
Prasasti Trawulan (1358) yang dikeluarkan Śrī Hayam Wuruk menyebut nama Bhaṭāra Śrī Tribhuwanottungga Rājadewī Jayawiṣṇuwardhanī sebagai raja bawahan di Kahuripan, yang memiliki nama asli Dyah Śrī Gītārjā. Adapun suaminya bernama Bhaṭāra Śrī Kṛtawardhana.
Śrī Hayam Wuruk (1350 – 1389)
Menurut Nāgarakṛtāgama (1365), Tribhuwana Wijayottunggadewī menyerahkan takhta Majapahit kepada putranya yang bernama Śrī Hayam Wuruk, bergelar Śrī Rājasanāgara. Istri Hayam Wuruk bernama Śrī Sudewī, putri raja bawahan di Kaḍiri yaitu Rājadewī Mahārājasa (adik kandung ibunya).
Adapun suami Rājadewī bernama Śrī Wijayarājasa, menjabat sebagai raja bawahan di Wĕngkĕr. Dari perkawinan Śrī Hayam Wuruk dan Śrī Sudewī lahir seorang putri bernama Kusumawardhanī yang menjabat sebagai raja di Kabalan.
Pararaton (1613) menyebut Śrī Hayam Wuruk memiliki nama lain Raden Tĕtĕp, dan setelah menjadi raja disebut Śrī Rājasanāgara, atau Bhra Hyang Wĕkasing Sukha, atau disebut Bhra Prabhu saja. Setelah gagal menikah dengan putri Suṇḍa, Hayam Wuruk menikah dengan sepupunya, yaitu Pādukasorī anak Bhre Wĕngkĕr dan Bhre Daha.
Dari perkawinan itu lahir Bhre Lasĕm Sang Ahayu. Hayam Wuruk juga memiliki anak laki-laki dari selir, bergelar Bhre Wīrabhūmi. Menurut naskah ini, Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389.
Dalam prasasti Trawulan (1358) juga disebutkan nama Dyah Śrī Hayam Wuruk yang telah menjadi raja bergelar Śrī Rājasanāgara.
Berita Cina berjudul naskah Ming-shih menyebut bahwa di Jawa pada tahun 1377 ada dua orang raja bernama Wu-lao-pa-wu di barat dan Wu-lao-wang-cieh di timur yang sama-sama mengirim duta ke Tiongkok. Wu-lao-pa-wu adalah ejaan Cina untuk Bhaṭāra Prabhu (Hayam Wuruk), sedangkan Wu-lao-wang-cieh adalah ejaan Cina untuk Bhaṭāra Wĕngkĕr.
Rupanya setelah kematian Patih Gajah Mada (1364) dan Tribhuwanottunggadewī (1371) terjadi perpecahan di Majapahit, di mana mertua Hayam Wuruk, yaitu Bhre Wĕngkĕr mendirikan istana timur. Dengan demikian dapat dipahami mengapa dalam Pararaton, Bhre Wĕngkĕr Wijayarājasa juga bergelar Bhreng Parameśwara ring Pamotan.
Śrī Wikramawardhana dan Kusumawardhanī (1389 – 1429)
Pararaton (1613) menyebut Hayam Wuruk wafat tahun 1389 dan digantikan menantunya, yaitu Bhra Hyang Wiśeṣa, suami dari Bhre Lasĕm Sang Ahayu. Bhra Hyang Wiśeṣa memiliki nama asli Raden Gagak Sali, yang juga bergelar Aji Wikrama. Ia adalah putra Bhre Pajang (adik perempuan Hayam Wuruk) dengan Raden Sumana alias Bhreng Paguhan.
Nāgarakṛtāgama (1365) menyebutkan bahwa adik Hayam Wuruk yang bernama Śrī Wardhanaduhiteśwarī yang menjadi raja Pajang menikah dengan Śrī Singhawardhana yang menjadi raja Paguhan.
Dari perkawinan itu lahir tiga orang anak, yaitu Śrī Nāgarawardhanī yang menjadi raja Wīrabhūmi, Śrī Wikramawardhana yang menjadi raja Mataram, dan Śrī Surawardhanī yang menjadi raja Pawwanawwan. Saat Nāgarakṛtāgama ditulis, Wikramawardhana telah dijodohkan dengan Kusumawardhanī putri mahkota Hayam Wuruk.
Nama Bhra Hyang Wiśeṣa dalam Pararaton juga ditemukan dalam prasasti Patapan (1385) dengan sebutan Bhaṭāra Hyang Wiśeṣa. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Bhaṭāra Hyang Wiśeṣa meneguhkan anugerah Bhaṭāra Sang Mokta ring Paring Malaya.
Siapakah yang dimaksud dengan “Baginda yang wafat di Paring Malaya”tersebut? Jika ia adalah Hayam Wuruk, maka berita dalam Pararaton yang menyebutkan ia meninggal tahun 1389 tentunya kurang tepat.
Pararaton mengisahkan Bhra Hyang Wiśeṣa menjadi bagawan di tahun 1400. Ia digantikan oleh Bhaṭarestrī (raja wanita). Kemudian disusul kalimat Bhre Lasĕm meninggal di Kawidyadaren.
Dari berita ini dapat disimpulkan bahwa, raja wanita yang menggantikan Bhra Hyang Wiśeṣa adalah Bhre Lasĕm Sang Ahayu yang tidak lain istrinya sendiri (dalam Nāgarakṛtāgama disebut Kusumawardhanī putri Hayam Wuruk).
Pararaton juga menyebutkan Hayam Wuruk memiliki anak laki-laki bergelar Bhre Wīrabhūmi yang menikah dengan Bhre Lasĕm Sang Alĕmu (saudara perempuan Bhra Hyang Wiśeṣa). Sejak kecil Bhre Wīrabhūmi diadopsi oleh Bhre Wĕngkĕr dan Bhre Daha.
Jika berita dalam Pararaton dipadukan dengan Nāgarakṛtāgama, maka dapat digambarkan sebagai berikut. Saat Nāgarakṛtāgama ditulis tahun 1365, Kusumawardhanī (putri Hayam Wuruk) menjabat sebagai Bhre Kabalan.
Adapun yang menjadi Bhre Lasĕm adalah Indudewī (sepupu Hayam Wuruk, putri Bhre Wĕngkĕr). Kelak setelah Rājadewī (istri Bhre Wĕngkĕr) wafat, Indudewī menggantikan ibunya sebagai Bhre Daha. Putra Hayam Wuruk yang lahir dari selir pun diadopsi oleh Bhre Daha (Indudewī) dan dinikahkan dengan Nāgarawardhanī (kakak Wikramawardhana) yang saat itu menjadi Bhre Wīrabhūmi.
Nāgarawardhanī kemudian menjadi Bhre Lasĕm menggantikan Indudewī, sedangkan suaminya menjadi Bhre Wīrabhūmi menggantikan dirinya. Dalam Pararaton, Nāgarawardhanī disebut dengan nama Bhre Lasĕm Sang Alĕmu.
Bhre Wĕngkĕr meninggal tahun 1388 digantikan oleh Bhre Wīrabhūmi sebagai raja istana timur. Adapun Hayam Wuruk meninggal tahun 1389 digantikan Wikramawardhana (Bhra Hyang Wiśeṣa) sebagai raja istana barat. Pada tahun 1400 Bhra Hyang Wiśeṣa menjadi bagawan (pendeta) dan menyerahkan takhta kepada istrinya yaitu Kusumawardhanī.
Nāgarawardhanī (Bhre Lasĕm Sang Alĕmu) meninggal. Bhra Hyang Wiśeṣa kembali memimpin istana barat, sedangkan istrinya menjadi Bhre Lasĕm Sang Ahayu. Hal ini membuat Bhre Wīrabhūmi marah karena ia juga mendudukkan putrinya sebagai Bhre Lasĕm. Maka, terjadilah Perang Parĕgrĕg mulai tahun 1401. Pada tahun 1406 Bhre Wīrabhūmi tewas dipenggal mantri angabaya istana barat yang bernama Raden Gajah.
Berita Cina berjudul naskah Ming-shih juga mengisahkan perpecahan di Tanah Jawa. Pada tahun 1403 istana barat yang dipimpin Tu-ma-pan dan istana timur yang dipimpin Pu-ling-ta-ha sama-sama mengirimkan duta ke Tiongkok. Tu-ma-pan adalah ejaan Cina untuk Bhre Tumapĕl (putra Bhra Hyang Wiśeṣa).
Rupanya kala itu Bhre Tumapĕl yang lebih aktif memimpin pemerintahan istana barat mewakili ayahnya yang telah menjadi pendeta. Adapun Pu-ling-ta-ha yang memimpin istana timur adalah ejaan Cina untuk Bhre Daha (alias Indudewī, ibu angkat Bhre Wīrabhūmi). Meskipun ia seorang wanita, namun sepertinya lebih berkuasa daripada anak angkatnya.
Pararaton mengisahkan, setelah Bhre Wīrabhūmi tewas, Bhre Daha diboyong Bhra Hyang Wiśeṣa ke istana barat. Pada tahun 1429 Bhra Prabhustrī (Kusumawardhanī) meninggal dunia. Adapun kematian suaminya, yaitu Bhra Hyang Wiśeṣa diceritakan sebelum dirinya.
Dewī Suhitā dan Aji Ratnapangkaja (1429 – 1447)
Pararaton (1613) mengisahkan Bhra Hyang Wiśeṣa memiliki seorang anak yang lahir dari Bhre Lasĕm Sang Ahayu, bernama Bhra Hyang Wĕkasing Sukha yang meninggal tahun 1399. Bhra Hyang Wiśeṣa juga memiliki tiga anak lain yang tidak disebut nama ibunya, yaitu Bhre Tumapĕl, Dewī Suhitā, dan Śrī Kṛtawijaya yang juga bergelar Bhre Tumapĕl. Selain itu, Bhra Hyang Wiśeṣa juga menikahi Bhre Mataram, anak perempuan Bhre Wīrabhūmi.
Ada pendapat bahwa Dewī Suhitā adalah anak Bhra Hyang Wiśeṣa yang lahir dari Bhre Mataram. Alasannya ialah Raden Gajah yang dulu memenggal Bhre Wīrabhūmi ganti dihukum mati pada tahun 1433.
Yang unik adalah Pararaton mengisahkan Bhre Daha menjadi raja Majapahit pada tahun 1437, kemudian pada tahun 1447 dikisahkan Bhra Prabhustrī meninggal dunia. Pada bab sebelumnya ditulis bahwa Bhra Prabhustrī adalah julukan Dewī Suhitā. Itu artinya, Bhre Daha yang naik takhta tahun 1437 adalah gelar lain Dewī Suhitā.
Bhre Daha (Indudewī) yang diboyong Bhra Hyang Wiśeṣa setelah Perang Parĕgrĕg dikisahkan meninggal pada tahun 1416. Ada kemungkinan jabatannya diwarisi oleh Dewī Suhitā. Yang menjadi pertanyaan, siapakah yang menjadi raja Majapahit setelah Bhra Hyang Wiśeṣa (Wikramawardhana) dan Bhra Prabhustrī (Kusumawardhanī) wafat pada tahun 1429?
Putra sulung Bhra Hyang Wiśeṣa, yaitu Bhra Hyang Wĕkasing Sukha sudah meninggal lebih dulu pada tahun 1399. Kemudian putra kedua, yaitu Bhre Tumapĕl yang dicatat dalam berita Cina sebagai Tu-ma-pan juga telah meninggal pada 1427. Adapun anak ketiga, yaitu Dewī Suhitā baru menjadi raja (Bhra Prabhustrī) pada tahun 1437.
Kemungkinan besar yang menjadi raja Majapahit antara tahun 1429 – 1437 adalah suami Dewī Suhitā yang bernama Aji Ratnapangkaja, bergelar Bhra Hyang Parameśwara. Pararaton mengisahkan Aji Ratnapangkaja adalah keponakan Bhra Hyang Wiśeṣa, yaitu putra dari adiknya yang bernama Bhre Kahuripan yang menikah dengan Raden Sumirat alias Bhre Paṇḍansalas.
Bhra Hyang Wiśeṣa dalam Nāgarakṛtāgama sama dengan Śrī Wikramawardhana yang memiliki adik bernama Śrī Surawardhanī. Saat Nāgarakṛtāgama ditulis, jabatan Surawardhanī adalah raja bawahan di Pawwanawwan. Sedangkan penulis Pararaton mengingat jabatan terakhirnya adalah Bhre Kahuripan.
Aji Ratnapangkaja juga bergelar Bhre Kahuripan. Mungkin ia menerima jabatan ini setelah ibunya (Surawardhanī) meninggal. Tahun kematian Aji Ratnapangkaja alias Bhra Hyang Parameśwara menurut Pararaton adalah 1446, sedangkan istrinya, yaitu Prabhustrī alias Dewī Suhitā meninggal tahun 1447.
Sekali lagi, kisah Aji Ratnapangkaja menjadi raja Majapahit baru sebatas dugaan dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Śrī Kṛtawijaya (1447 -1451)
Pararaton (1613) mengisahkan Dewī Suhitā tidak memiliki anak, sehingga ia digantikan adik bungsunya sebagai raja Majapahit, yang bernama Bhre Tumapĕl. Adapun yang dimaksud dengan Bhre Tumapĕl adalah Śrī Kṛtawijaya yang disebut sebagai putra bungsu Bhra Hyang Wiśeṣa. Ia mewarisi jabatan sebagai Bhre Tumapĕl setelah kakaknya yang nomor dua meninggal pada tahun 1427.
Menurut Pararaton, istri Śrī Kṛtawijaya adalah Bhre Daha, adik bungsu Aji Ratnapangkaja. Kematian Śrī Kṛtawijaya dicatat terjadi pada tahun 1451. Nama raja Dyah Kṛtawijaya juga ditemukan dalam prasasti Waringinpitu (1448) dengan gelar Wijayaparakramawardhana.
Adapun istrinya bernama Dyah Jayeśwarī menjabat sebagai Bhaṭṭāra ring Daha, bergelar Jayawardhanī. Prasasti ini sesuai dengan berita dalam Pararaton.
bersambung ke Bagian 2 : https://balambangan.id/majapahit-universe-1-daftar-raja-raja-majapahit-versi-sejarah-bag-2/
Referensi :
– Kakawin Nāgarakṛtāgama karya Prapañca yang diterbitkan Ketut Riana (2009).
– Pararaton yang diterbitkan J.L.A. Brandes (1897).
– Tatanegara Majapahit parwa I dan II karya Muhammad Yamin (1962).
– Suma Oriental karya Tomé Pires terjemahan Indonesia (2015).
– Masa Akhir Majapahit karya Hasan Djafar (1978).
– Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa karya H.J. de Graaf (1974).
– Artikel berjudul Pararaton Revisited karya Nia Kurnia Sholihat Irfan (2008). – Kalangwan Sastra Jawa Kuno karya P.J. Zoetmulder (1974).
2 comments