PATOMAN, Bali van Java

Promo Patoman
Promo Patoman

Ngomong tentang pluralism, ya di Banyuwangi ini,” begitu yang pernah diucapkan oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) ketika Presiden RI ke 4 itu transit di rumah tinggal Bupati Banyuwangi, Ir Samsul Hadi, dalam sebuah kunjungannya beberapa tahun silam.

Apa yang dikatakan oleh Bapak Pluralisme tersebut memang tidak berlebihan, karena keberagaman yang ada di Banyuwangi benar-benar komplek. Betapa tidak, Kabupaten Banyuwangi yang luas wilayahnya mencapai 5.782,50 km2 dan terbagi dalam 25 wilayah kecamatan ini penduduknya terdiri dari beragam etnis dan agama dengan kultur budaya masing-masing.

Tamansari Nusantara

Beberapa kelompok etnis besar yang bermukim di Banyuwangi diantaranya; etnis Jawa, Mandar, Melayu, Madura, China, Bali, Arab, dan Osing sendiri.

Selain ada yang tinggalnya membaur dengan etnis-etnis lain, mereka bahkan secara ekstrim tinggal berkelompok dan membuat perkampungan sendiri-sendiri.

Itu bisa dilihat dari nama-nama wilayah tempat tinggal yang dinamai dengan nama masing-masing etnis, seperti; Kampung Mandar, Kampung Melayu, Kampung Arab, Kampung Bali, Pecinan, dan Kampung China Buyukan di wilayah kelurahann Kertosari, yang dihuni oleh orang-orang China kelas menengah ke bawah. 

Meskipun tinggal berkelompok-kelompok dengan pola hidup dan kultur budaya masing-masing, namun selama ini tidak pernah ada benturan antar etnis yang terjadi di Banyuwangi. Malah sebaliknya, yang ada justru saling melengkapi satu sama lainnya.

Simbol Pluralisme

Maka benarlah apa yang diucap oleh Gus Dur, bahwa gambaran tentang pluralisme benar-benar ada dan terjadi di Banyuwangi. Karena yang disebut Pluralisme, merupakan paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang berbeda tersebut untuk tetap menjaga keunikan budaya masing-masing.

Menelusuri awal kedatangan berbagai etnis ke wilayah Kabupaten yang berada di ujung timur Pulau Jawa ini memang tidak mudah. Namun masih bisa ditelusuri melalui jejak peninggalannya, baik berupa bangunan-bangunan kuna, artefak, ataupun kisah-kisah yang tertulis dalam berbagai Lontar dan Babad.

Masing-masing etnis tersebut berdatangan ke wilayah Banyuwangi – yang dahulu masih menjadi Kerajaan Balambangan, tentu dengan alasan dan kepentingan masing-masing.

Etnis Tionghoa

Salah satunya adalah Etnis China (Tionghoa). Sebagaimana tertulis didalam Babad Notodiningratan, etnis Tionghoa mulai menetap di Balambangan sekitar tahun 1631. Namun perpindahan massif ke Banyuwangi diduga kuat baru terjadi pada tahun 1740.

Menurut data sejarah berdirinya Kelenteng Hoo Tong Bio yang berlokasi di kelurahan Karangrejo, kota Banyuwangi itu awalnya dibangun di daerah Lateng, kecamatan Rogojampi.

Kala itu, bangunan kelenteng masih berupa rumah yang sederhana. Rumah penghormatan ini kemudian dipindahkan ke Banyuwangi setelah adanya perampasan tanah oleh VOC pada 1767 disusul perpindahan ibukota ke kota Banyuwangi.

Tidak ada tahun pasti kapan Kelenteng Hoo Tong Bio pertama kali dibangun. Namun para pengelola Kelenteng menyandarkan tahun berdirinya pada sebuah prasasti yang berupa papan kayu bertuliskan kaligrafi Tiongkok. Dalam prasasti tersebut tertulis nama Tan Hu Cin Jin dan bertanggal ‘Qianlongflacan’ yang bertepatan dengan tahun 1784.

Kelenteng tersebut didirikan sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa seorang Kapiten yang bernama; Tan Hu Cin Jin yang berasa; dari Chaozhou di Provinsi Guangdong.

Konon, ketika terjadi pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, mendorong orang-orang Tionghoa melarikan diri ke berbagai daerah. Kala itu, Tan Hu Cin Jin dan rombongannya mencapai Balambangan hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di sini.

Baca lebih lanjut di sini: https://balambangan.id/hoo-tong-bio-dari-geger-pacina-hingga-runtuhnya-balambangan/

Etnis Bugis

Selain etnis Tionghoa, yang masih bisa ditelusuri jejak kedatangannya di Bumi Balambangan (Banyuwangi) adalah Etnis Bugis.

Salah satu jejak peninggalannya adalah sebuah Makam Kuno yang ada di daerah Pakem Kramat, kelurahan Kertosari, kota Banyuwangi. Makam tersebut adalah makam Datuk Daeng Ruyung.

Menurut Juru Kunci makam, Winardi –sebagaimana dituturkan oleh para pendahulunya–Datuk Daeng Ruyung adalah seorang Panglima Perang dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan.

Konon Datuk Daeng Ruyung dan Datuk Pagersah adalah panglima perang Kerajaan Gowa yang ditugaskan untuk menaklukkan Balambangan dengan membawa 800 orang pasukan. Kala itu, Kerajaan Balambangan pada masa kepemimpinan Prabu Danuningrat (1736 – 1764).

Etnis Arab

Etnis lain yang juga bisa ditelusuri kedatangannya adalah etnis Arab. Adalah Datuk Abdurrahim Bauzir, penyebar Agama Islam yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Konon, keluarga Datuk datang pertama kali ke Nusantara pada tahun 1770 tepatnya di kampung Loloan, Jembrana, Bali.

Setelah sekitar 70 tahun keluarga Datuk berdakwah di Pulau Dewata, Datuk Abdurrahim Bauzir kemudian menyeberang ke Pulau Jawa. Ia menuju ke Banyuwangi yang hanya berjarak tidak lebih 10 KM dari tempat awalnya berdakwah, yang hanya dipisahkan oleh sebuah selat saja.

Sampai di Banyuwangi, Datuk kemudian tinggal di daerah yang sekarang dikenal sebagai kelurahan Lateng, kota Banyuwangi. Maklum, kawasan Lateng ini menjadi pemusatan imigran Arab yang merantau ke Bumi Balambangan pada masa Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, termasuk beberapa kerabat Datuk sendiri.

Syiar Islam yang dilakukan sang Datuk di Bumi Balambangan semakin tersiar tatkala kepemimpinan Bupati Pringgokusumo (1860-1884).

Etnis Bali

Tak kalah menariknya, salah satu kelompok etnis lain yang datang dan kemudian secara turun-temurun bermukim di wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah etnis Bali.

Sama dengan dengan kedatangan etnis-etnis lain di Bumi Balambangan ini, etnis Bali pun punya kisah dan catatan panjang tentang kedatangannya di Banyuwangi.

Buku sederhana ini secara khusus akan mengulas secara singkat, selayang pandang kedatangan orang-orang Bali ke Banyuwangi dan bagaimana kemudian mereka menetap di Patoman, Bali van Banyuwangi.

Selamat membaca!

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like
Selanjutnya

Sejarah Desa Gintangan

DAFTAR ISI Hide Antara Gintungan dan GelintinganBukti Kesejahteraan BalambanganSiapakah Sulung Agung?Kesimpulan Gintangan, nama sebuah desa di Kecamatan Blimbingsari,…