Kisah ini bermula ketika Pangeran Mas Purba berhasil merebut kembali tahta dari tangan pamannya, Pangeran Pati I Mas Macanpura tahun 1697, dia menganggap istana Macanputih tersebut telah leteh karena pernah diduduki musuh.
Karena itu Pangeran Mas Purba yang saat itu telah menjadi raja bergelar Prabu Danureja kemudian memerintahkan untuk mencari tempat baru yang layak sebagai ibukota Balambangan. Sementara itu dia akan bertempat di Puri Wijenan.
Ngabehi Sutanaga, mengusulkan agar ibukota baru dibangun di alas Kebrukan, yang lebih dekat dengan pantai timur sehingga lebih mudah aksesnya ke Lautan Supitan Balambangan selaku jalur ekonomi internasional saat itu. Dengan demikian, sebagaimana disebutkan dalam Babad Tawangalun, masa pemerintahan Prabu Danureja dikenal makmur dan sejahtera.
Analisis Letak Alas Kebrukan
Mengenai dimana letak Hutan Kebrukan? Beberapa Sejarawan berbeda pendapat. Pertama, menurut C. Lekkerkerker (1923) dalam bukunya De Indische Gids, dia mengatakan bahwa Hutan Kebrukan ini terletak di Lateng, yang dekat dengan Ulu Pangpang.
“…membuat Kuta baru dalam hutan Kebrukan di Lateng dekat Ulu Pangpang, di teluk Pangpangbaai. Barangkali Arja Blambangan sisa-sisa dari tembok Veener Kuta panjangnya 1.800 meter dan lebar 1.000 meter, sisa-sisa reruntuhan Kuta Lateng (Lihat Korm, Inleideing II, 412).”
(C. LekkerkerkerC. Lekkerkerker)
Pendapat ini didukung oleh I Made Sudjana dalam bukunya Nagari Tawon Madu dan Sri Margana dalam bukunya Perebutan Hegemoni Blambangan. Namun faktanya, Dusun Lateng saat ini berada di Desa Gladag, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, jauh dari Ulu Pangpang atau Teluk Pangpang.
Keterangan yang janggal ini kemudian dibantah oleh pendapat kedua yang disampaikan oleh Winarsih P.A. (1995) dalam bukunya Babad Blambangan. Walaupun dia tidak dengan tegas menyebut dimana letak Hutan Kebrukan, namun dia menyebut bahwa yang bertahta di (sekitar) Lateng, Rogojampi adalah Dewa Kabakaba.
Kemudian mari kita lihat pendapat ketiga yang dikemukakan oleh Samsubur, dalam bukunya Sejarah Kerajaan Blambangan. Beliau mengatakan bahwa Ibukota Kebrukan terletak di Muncar dengan jejaknya berupa Situs Umpak Songo.
Dalam buku tersebut, Samsubur mengatakan bahwa Desa Blambangan dan Desa Tembokrejo di Kecamatan Muncar yang kita lihat saat ini, itulah yang dimaksud dalam Babad Tawangalun sebagai rimba Kebrukan pada zaman Prabu Danureja dahulu.
Selain dari buku-buku di atas, Penulis kemudian memperbandingkannya dengan beberapa peta era kolonial yang ada pada penulis.
Hipotesis Penulis
Setelah membaca masing-masing argumen dari para sejarawan dan memperbandingkan dengan peta-peta Kolonial sebagaimana disebutkan di atas, penulis lebih cenderung pada pendapat Samsubur yang menyatakan bahwa Arja Balambangan adalah Desa Blambangan di Kecamatan Muncar saat ini.
Itulah ibukota baru yang didirikan oleh Pangeran Putra alias Prabu Danureja tahun 1697-1705 dan mulai ditempati tahun 1705. Sementara itu, Kutha Lateng adalah ibukota-nya Dewa Kabakaba mulai tahun 1764-1767. Kutha Lateng inilah yang ditaklukkan oleh VOC-Belanda tahun 1767.
Adapun Ardja Balambangan atau yang sekarang dikenal sebagai Desa Blambangan di Kecamatan Muncar, selain didukung bukti-bukti dari peta Kolonial dan keterangan tertulis lainnya juga masih banyak ditemukan jejak-jejak peradaban kuno.
Selain di Situs Umpak Songo, Stinggil, beberapa Gumuk, Bale Kambang, juga ada di beberapa tempat lainnya. Dalam kunjungan terakhir Penulis pada Oktober 2021, masih bisa dilihat Benteng Utara sepanjang Kali Moro hingga mencapai Bastion sisi Barat Laut. Dari sana benteng berbelok ke selatan melalui jalan desa di tengah sawah (wilayah Desa Blambangan).
Di sebelah timur dari situs Umpak Sangha ada Situs Gumuk Sepur. Posisinya agak kurang meyakinkan jika merupakan bagian dari Benteng Luar, namun susunan bahan pembuatannya yang sama dengan Benteng Utara yakni Batu Padas, membuat penulis ragu, bagian dari tembok apakah itu?
Umpak Songo Peninggalan Menak Jinggo?
Setelah memahami uraian di atas, lantas kita akan mempertanyakan memori kolektif masyarakat, apa benar Umpak Songo adalah peninggalan Minak Jinggo?
Pada sebagian masyarakat saat ini, ada cerita rakyat yang sudah diyakini kebenarannya secara turun-temurun bahwa Situs Umpak Songo di Muncar itu adalah jejak peninggalan Minak Jinggo.
Cerita Rakyat ini mungkin berangkat dari sebuah pemahaman akan informasi yang serba terbatas di masanya dan hanya disandarkan pada keterangan dari Mangkubhumi IX dari Solo (Surakarta).
Dalam bukunya, Sejarah Kerajaan Blambangan, Samsubur menjelaskan panjang lebar dari halaman 199-208 berdasarkan keterangan dari juru kunci Situs Umpak Sangha yang bernama Soimin (tahun 1995) dari ayahnya bernama Sanen (tahun 1989) dari kakeknya bernama Nadi Gede (1971). Nadi Gede adalah seorang transmigran asal Bantul, Jogjakarta yang pertama bertempat di lokasi Umpak Songo.
Peran Mangkubumi IX dari Solo
Pada zaman Hindia Belanda, tepatnya tahun 1916, Nadi Gedhe pindah ke Banyuwangi dan mendapat bagian lahan rabasan dari pemerintah Kolonial Belanda, berupa hutan belantara di daerah Muncar. Ketika hutan belantara ini dibabat, ternyata di lahannya itu ditemukan batu-batu besar sebanyak 49 buah yang kemudian dikumpulkan di satu tempat.
Selain itu terdapat bekas benteng setebal 1 meter dengan panjang keliling beberapa kilo meter yang mengelilingi lahan sekitar 500 ha.
Pada tahun 1973, tempat dikumpulkannya batu-batu besar itu dibuatkan tembok keliling, agar lebih terawat. Tahun 1982 sisa-sisa batu bata merah yang berserakan ditata membentuk lantai berundak seperti yang dapat kita lihat sekarang. Jadi bentuk yang kita lihat saat ini adalah hasil tata ulang tahun 1982, bukan bentuk aslinya.
Samsubur juga mengaku bahwa pada tahun 1972, oleh Soimin dia disodori sebuah keterangan tertulis yang isinya menyebutkan;
“Bahwa yang memberi nama Umpak Sangha pada petilasan itu adalah Mangkubhumi IX dari Solo pada tahun 1928 M. kala berkunjung ke situ, katanya. Juga disebut bahwa Umpak Sangha adalah petilasan dari Kerajaan Blambangan pada masa raja Dedhaliputih, Jatasura, Sedhah Mirah, dan Minak Jinggo.”
(Samsubur, Sejarah Kerajaan Balambangan)
Kesimpulan
Berpegang pada penjelasan tersebut, rupanya ada peran dari Mangkubhumi IX Solo dalam penamaan Situs Umpak Sangha di Muncar tersebut. Mangkubhumi IX-lah yang memberi nama pada peninggalan sejarah Balambangan itu sebagai Umpak Sangha. Mangkubhumi IX pula yang mengatakan bahwa Umpak Sangha itu ada kaitannya dengan Menak Jinggo.
Dari keterangan itu maka orang yang cukup melek sejarah akan mudah memahami bahwa Situs Umpak Sangha adalah peninggalan Pangeran Jingga alias Prabu Agung Danuningrat (1736-1763) putra Prabu Danureja (1697-1736) dimana Prabu Danureja adalah pendiri ibukota baru di Hutan Kebrukan.
Sementara bagi kalangan awam sejarah, yang tidak mengenal adanya raja Balambangan yang bernama Pangeran Jingga alias Prabu Agung Danuningrat (1736-1763) justru akan menghubungkan Situs Umpak Sangha dengan Minak Jinggo, tokoh dari dalam dongeng Serat Damarwulan. Lantas, goresan pada batu di Stinggil Muncar disebut sebagai bekas telapak kaki Minak Jinggo.
Bahan Bacaan
C. Lekkerkerker, De Indische Gids, Blambangan; I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu; Sri Margana, Ujung Timur Jawa; Winarsih, Babad Blambangan; Samsubur, Sejarah Kerajaan Blambangan; J.K.J. De Jonge & van Deventer, Belanda di Bumi Blambangan; Aji Ramawidi, Suluh Blambangan 2; Suhalik, Sejarah Terbentuknya Pluralisme di Banyuwangi.