Oleh: Heri Purwanto
Senin Paing Tungle, 2 November 2020.
Sebuah Bantahan
ndan rakweki n atĕmwa ming tiga sirān wang sānak ārdhāparĕ,
Nāgarakṛtāgama (pupuh XLVI, bait 2)
āpan rakwa bhaṭāra wiṣṇu mamisan parṇah nira n tan madoh,
lāwan śrī narasinghamūrtyawĕka ri dyah lĕmbu tal suśrama,
sang wireng laga sang dhinarma ri mireng boddha pratiṣṭāpagĕh.
Terjemahan :
Begitu juga pernikahan sepupu tingkat tiga termasuk saudara sangat dekat,
Nāgarakṛtāgama (pupuh XLVI, bait 2)
karena juga Bhaṭāra Wiṣṇu[wardhana] sepupu tingkat pertama hubungannya tidak jauh, dengan Śrī Narasinghamūrti yang berputra Dyah Lĕmbu Tal gagah-tangguh, yang berani dalam pertempuran, didarmakan di Mireng dengan ditegakkan arca Buddha.
Dari kutipan di atas, jelas bahwa Dyah Lĕmbu Tal seorang laki-laki, karena:
- 1) Dia disebut sebagai seorang “su-śrama” yang bermakna: gagah, tangguh, penuh semangat, pekerja keras.
- 2) Dia disebut sebagai “wireng laga” yang bermakna: berani dalam pertempuran.
- 3) Setelah meninggal, dia diwujudkan dengan arca Buddha.
Gelar Dyah
Mengenai gelar DYAH pada zaman kuno tidak identik dengan perempuan, karena Raden Wijaya dalam Nāgarakṛtāgama juga ditulis Dyah Wijaya.
Sementara itu, Naskah Wangsakĕrta yang menyebut Dyah Lĕmbu Tal berkelamin perempuan masih bersifat polemik karena tidak sedikit sejarawan yang meragukan keaslian naskah ini. Akan tetapi, saya tidak ingin membahas persoalan itu di sini. Seandainya benar bahwa Naskah Wangsakĕrta disusun sekitar tahun 1677-1682 tetap saja kalah kuat dibanding Nāgarakṛtāgama yang ditulis pada 1365, yaitu hanya selisih 56 tahun setelah Raden Wijaya meninggal.
Meskipun demikian, ada pihak yang membantah Nāgarakṛtāgama dengan alasan naskah tersebut adalah sastra pujian belaka. Juga Mpu Prapañca selaku penulisnya tidak mengenal Dyah Lĕmbu Tal secara langsung, melainkan hanya mendengar dari kesaksian Ḍang Ācārya Ratnāngśa.
Menurut Prasasti Kudadu
Baiklah, untuk menjawab keraguan itu, maka saya hadirkan bukti primer berupa prasasti Kudadu. Prasasti ini diterbitkan pada 11 September 1294 oleh Raden Wijaya yang saat itu sudah menjadi raja pertama Majapahit, bergelar Śrī Kṛtarājasa Jayawardhana. Pada bagian akhir lempeng I dan bagian awal II tertulis kalimat (yang sudah saya pilah-pilah perkata) sebagai berikut:
narasinghamūrti-suta-ātmaja, kṛtanagara-duhitā-samāgama-sampanna, kṛtarājasa-jayawardhana-nāma-rāja-ābhiṣeka.
prasasti Kudadu
Terjemahan:
- narasinghamūrti-suta-ātmaja = putra dari putra Narasinghamūrti.
- kṛtanagara-duhitā-samāgama-sampanna = menjadi pasangan putri Kṛtanagara.
- kṛtarājasa-jayawardhana-nāma-rāja-ābhiṣeka = Kṛtarājasa Jayawardhana adalah nama penobatannya.
Jadi, Raden Wijaya dalam prasasti Kudadu disebut sebagai putra dari putra Narasinghamūrti.
Kata “suta” berasal dari bahasa Sanskerta, bermakna “anak laki-laki”.
Kata “ātmaja” juga bermakna “anak laki-laki”. (kalau anak perempuan ditulis “ātmajā”).
Sementara itu, putri Kṛtanagara yang dinikahi Raden Wijaya disebut dengan istilah “kṛtanagara-duhitā”. Kata “duhitā” juga berasal dari bahasa Sanskerta, bermakna “anak perempuan”.
Kesimpulan
Demikianlah, seandainya Dyah Lĕmbu Tal seorang perempuan, tentunya Raden Wijaya disebut sebagai “narasinghamūrti-duhitā-ātmaja” (anak laki-laki dari anak perempuan Narasinghamūrti). Akan tetapi, dalam prasasti Kudadu ternyata ditulis “narasinghamūrti-suta-ātmaja” (anak laki-laki dari anak laki-laki Narasinghamūrti).
Dari sini jelas sudah bahwa Dyah Lĕmbu Tal seorang laki-laki, karena prasasti Kudadu ditulis saat Raden Wijaya masih hidup dan juga merupakan dokumen resmi Kerajaan Majapahit. Tentunya tidak mungkin Raden Wijaya memalsukan jenis kelamin ayahnya sendiri.
Dengan demikian, isu bahwa Dyah Lĕmbu Tal adalah ibu Raden Wijaya tidak perlu dipertahankan lagi.
Sumber :
1) Teks prasasti Kudadu saya peroleh dari buku “Tatanegara Majapahit Parwa II” tulisan Muhammad Yamin (1962).
2) Teks Nāgarakṛtāgama saya peroleh dari buku “Kakawin Dēśa Warṇnana uthawi Nāgara Kṛtāgama” tulisan I Ketut Riana (2009).