Oleh: Aji Ramawidi (Penulis buku Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi)
Meskipun demikian di Ujung Timur Jawa ini telah lama menerima agama-agama lain, baik itu Buddha, Islam, Katholik, dan sebagainya.
Agama Hindu diperkirakan datang pertama kali ke Ujung Timur Jawa dibawa oleh Maharshi Markandya pada abad ke-8. disusul kemudian Buddha.
Islam tiba pada abad ke-15 dengan tokohnya yang terkenal Syaikh Maulana Ishaq dan Syaikh Lemah Abang.
Karesian tiba pada abad ke-15 dengan tokohnya Bujangga Manik. Katholik tiba pada abad ke-16 (tahun 1579) dengan tokohnya adalah Benardino Ferrari SJ.
Adapun yang terakhir, Kong Hu Chu dengan tokohnya Tan Hu Cin Jin pada abad ke-18.
Namun dalam tulisan ini, akan sedikit mengulas tentang Hindu-Buddha di Balambangan abad ke-15 s/d ke-18.
Kedatangan Hindu ke Ujung Timur Jawa
Telah jamak diketahui, bahwa bukti peradaban pra-sejarah di Banyuwangi banyak ditemukan di Kecamatan Glenmore, Kalibaru, Pesanggaran, dan Wongsorejo.
Tentang Penghuni Pertama Ujung Timur Jawa dapat dibaca di sini: https://ajisangkala.id/penghuni-pertama-ujung-timur-jawa/
Adapun, bukti ‘sejarah tertua’, menurut Aji Ramawidi sejauh ini ada di Dusun Sumberejo, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu. Di sana, ditemukan sebuah batu berulis yang menurut dugaan sementara ini berasal dari abad pertama Masehi.
Menurut filolog Ageng Gumelar, aksara pada batu yang kini telah ‘diamankan’ di Pura Ngesti Dharma Jambewangi tersebut adalah angka 2 dan 1 dalam aksara Kawi.
Dengan demikian muncul dugaan bahwa itu menunjukkan angka tahun 21 Saka atau 99 Masehi (Ageng: 02-07-2022).
Selanjutnya pada abad ke-8 M, datanglah ke Ujung Timur Jawa ini, seorang Maha Rshi dari Asram Markandya di India.
Menurut Samsubur, mula-mula dia datang ke Gunung Merbabu, namun karena di sana Hindu sudah mapan, kemudian diutus oleh Raja Sanjaya dari Kerajaan Mdang I Bhumi Mataram untuk menyebarkannya ke timur di sekitar Gunung Raung (Hardi Rawang) dan di sekitar Gunung Agung (Tolangkir) Bali (Samsubur, 2021: 129).
Maka tidak salah jika di kecamatan Glenmore dan Kalibaru banyak kita temukan jejak-jejak hinduisme kuna seperti Candi Agung Gumuk Kancil dan Candi Gubuk di Gumuk Payung.
Saat ini, kemuncak Candi Gubuk Gumuk Payung disimpan di Pura Bukit Amerta Blokagung, Karangdoro, adapun beberapa bagian candi lainnya seperti Lingga dan lain-lain kini disimpan di Pura Sandya Dharma dan Pura Ngesti Dharma (sebelumnya di rumah bpk. Supoyo) Jambewangi.
Hindu era Kediri-Singasari
Setelah Kerajaan Mdang I Bhumi Mataram berpindah ke Jawa Timur dilanjutkan dengan berdirinya Kerajaan Kahirupan, terdapat kisah perjalanan Mpu Barada ke Bali yang melintasi Ujung Timur Jawa ini.
Kisah tersebut kemudian melahirkan mitos yang mengaitkan Mpu Barada dengan keberadaan Situs Kawitan di Taman Nasional Alas Purwo.
Tentang Situs Kawitan dapat dibaca di sini: https://ajisangkala.id/situs-kawitan-peninggalan-siapa/
Sementara menurut Hadi Sidomulyo, Mpu Barada melintasi Banyuwangi Utara di daerah Andelan. Jadi bukan di Alas Purwo.
Tentang Andelan dapat dibaca di sini: https://ajisangkala.id/adakah-kadipaten-andelan/
Adapun jejak purbakala yang tidak jauh dari sana, menurut Aji Ramawidi, tentu adalah Situs Anengpatih di Dusun Selogiri, Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro.
ODCB yang kini telah dibangun menjadi makam tersebut, dalam foto tahun 1976 masih berupa reruntuhan Candi lengkap dengan Lingga-Yoni, Arca Nandi, dan beberapa patahan Arca bentuk dewa-dewi lainnya.
Menurut Aji Ramawidi, jika benar Prasasti Ketapang adalah temuan dari Ketapang Banyuwangi, bisa jadi dia juga berasal dari Situs Selogiri ini.
Adanya Lingga-Yoni dan Arca Nandi, menunjukkan bahwa lokasi itu adalah jejak Hinduisme.
Tentang Anengpatih dapat dibaca di sini: https://ajisangkala.id/makam-aneng-patih-ketapang/
Hindu era Kerajaan Majapahit
Pada masa Kerajaan Majapahit, kita mengenal Prasasti Jayanagara I yang di dalamnya menyebutkan pemujaan kepada Hyang Iwak.
Ikan ini menurut Aji Ramawidi ada kaitannya dengan Ikan sakti Penjelmaan Wisnu. Wujud ikan tersebut dapat disamakan dengan ikan yang dikendarai oleh Sri Tanjung pada relief Candi Jabung, Bajang Ratu, Surawana, dan Panataran.
Di era Majapahit akhir, Naskah Bujangga Manik menyebutkan kedatangan sang Rshi ke Balungbungan. Di sini dia sempat mendirikan Lingga dan memuja.
Menurut Aji Ramawidi, temuan Lingga di Tanjung Sembulungan, Taman Nasional Alas Purwo adalah bukti dari kabar dalam naskah abad ke-15 tersebut (Aji, 2022: 112-113).
Dalam Naskah Bujangga Manik juga dapat kita temukan nama tempat “Katyagan Baru” yang merupakan pusat pendidikan agama Buddha.
Lokasi ini menurut Aji Ramawidi adalah Desa Barurejo di Kecamatan Siliragung, yang sampai saat ini masih kaya akan peninggalan purbakala lintas periode.
Jadi, jika Kalibaru adalah petilasan Maharshi Markandya yang Hindu, maka Barurejo adalah jejak sebuah Kategan atau Katyagan, tempat para Biarawan Buddha (Aji, 2020: 190).
Tentang Bujangga Manik dapat dibaca di sini: https://ajisangkala.id/bujangga-manik-jejak-perjalanan-di-bumi-balambangan/
Hindu era Kerajaan Balambangan
Pada era Kerajaan Balambangan, Hinduisme juga cukup kuat pengaruhnya. Menurut staf Museum Blambangan, Bayu, Candi Macanputih di Kabat juga bernuansa Hindu-Siwa (Bayu, 2020: 16).
Apa lagi sebagaimana taradisi Hindu pada masa itu, disebutkan bahwa setelah kematiannya tahun 1691, Prabu Tawangalun juga mengalami proses pengabenan (C. Lekkerkerker, 1923: 22 dan de Graaf, 1989 : 126).
Tentang Tawangalun dapat dibaca di sini: https://ajisangkala.id/prabu-tawangalun/
Jika kita perhatikan, pembukaan Babad Mas Sepuh yang ditulis di Bali menyebut nama Dewa Siwa Om nama Siwaya Swaha (Winarsih, 1990: ???). Ini menunjukkan bahwa penulisnya adalah penganut Hindu.
Demikian pula dengan temuan Lingga-Yoni di Pesanggaran –yang mungkin ada kaitannya dengan Pangeran Agung Wilis ketika menyepi di sana.
Satu lagi adalah temuan berupa benda-benda bernuansa agama Buddha di Situs Gumuk Klinting Muncar (termasuk kawasan Ardja Balambangan) pada saat ekskavasi tahun 1976 oleh Puslit Arkenas.
Temuan-temuan itu diantaranya dalah materai, manik-manik, dan pisau cukur, termasuk rangka manusia yang diperkirakan dari abad ke-14 sekarang disimpan di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo (Bayu, 2019: 19).
Sumber: Aji Ramawidi, 1478 Runtuhnya Majapahit dan Berdirinya Balambangan; Aji Ramawidi, Babad Raja Balambangan I; Ageng Gumelar Wicaksono, Wawancara, 2 Juli 2022; Bayu, Lingga-Yoni di Banyuwangi; Bayu, Situs Macan Putih di Blambangan; C. Lekkerkerker, De Indische Gids; De Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack; Samsubur, Wiracarita Praja Balambangan; Winarsih, Babad Blambangan.