PENGANTAR
Nirlekha atau Prasejarah secara harfiah berarti “sebelum sejarah” yaitu masa ketika perilaku manusia pertama kali muncul. Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan berdirinya Kerajaan Kutai (abad ke-5) dengan bukti prasasti yupa di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Secara umum, masa prasejarah Indonesia terdiri dari dua zaman; (a) Zaman Batu dan (b) Zaman Besi. Saat itu manusia hidup dengan cara (a) Berburu & Mengumpulkan Makanan, (b) Bercocok Tanam, dan (c) Perundagian.
ZAMAN BATU
Zaman Batu terjadi saat alat-alat kebudayaan manusia masih dibuat dari batu di samping kayu dan tulang.
Masa ini terdiri dari empat zaman; (1) Zaman Batu Tua (Palaeolithikum), (2) Zaman Batu Tengah (Mesolithikum), (3) Zaman Batu Muda (Neolitikum), Peradaban Megalitikum, dan (4) Zaman Logam.
- Paleolithikum
Paleolithikum atau Zaman Batu Tua (antara 3,3 juta hingga 11.650 tahun yang lalu) adalah masa ketika manusia (Meganthropus Paleojavanicus dan Pithecanthropus Erectus) masih berburu (hewan) dan mengumpulkan makanan (buah-buahan & umbi-umbian). Mereka sudah mengenal api dan hidup dalam kelompok-kelompok nomaden di tempat-tempat yang dekat sumber air.
- Mesolithikum
Mesolithikum adalah Zaman yang lebih maju dari Paleolitikum. Mesolithikum disebut juga Zaman Batu Tengah (10.000 tahun yang lalu) yaitu zaman ketika manusia (Melanosoid) di Jawa sudah mulai tingggal menetap (untuk sementara waktu) di tepi-tepi pantai dan membuat timbunan kulit siput & kerang (Kebudayaan Kjokkenmoddinger) seperti yang ada di Grajagan dan Rajegwesi.
Selain itu juga mulai menetap di gua-gua (Kebudayaan Abris Sous Roche) seperti yang ada di Gunung Watangan (Goa Sodong, Goa Macan, Goa Marjan) di Lojejer, Wuluhan-Jember.
- Neolitikum
Selanjutnya ketika manusia di Jawa sudah mulai menetap secara permanen, bercocok tanam (Labu Air, Keladi, Padi Gaga, Ubi Rambat, Pisang, Sukun, Kelapa, dll), dan menjinakkan binatang (Ayam dan Anjing). Saat itu sudah memasuki Zaman Batu Muda (Neolitikum), tahun 1.500 SM.
MEMANFAATKAN BATU
Manusia (Melayu Austronesia) mulai mengenal cara mengasah peralatan batu mereka (Kapak persegi/beliung, cangkul, dan torah) sehingga lebih halus dan indah. Mereka juga mulai membuat perhiasan manik-manik sederhana (gelang dan kalung dari batu) dan membuat Tembikar, juga Pakaian dari kulit kayu.
Kebudayaan yang berkembang saat itu adalah kebudayaan Megalith (2.500-100 SM), yaitu kebudayaan manusia (Mongoloid dan Australomelannesid) yang ahli dalam menggunakan batu-batu besar sebagai alat kehidupan sehari-hari.
Hasil kebudayaan Megalith, antara lain; (1) Menhir (tugu batu untuk pemujaan gramadewata), (2) Dolmen (meja batu tempat meletakkan sesaji), (3) Sarchopagus (peti mati batu), (4) Punden berundak (tempat pemujaan bertingkat), (5) Waruga (Kubur batu yang dapat dibuka-tutup), (6) Arca (patung batu leluhur/Gramadewata), dan lain-lain.
Peradaban Neolitikum ini pusatnya ada di Kendeng Lembu, Glenmore-Banyuwangi.
ZAMAN LOGAM
Perundangan (Zaman Logam) adalah zaman ketika manusia (Proto dan Deutro-Melayu) di Jawa sudah dapat membuat alat-alat dari logam di samping tetap menggunakan alat-alat dari batu. Zaman Logam ini terdiri dari dua peradaban, yakni;
- Zaman Perunggu
Zaman Perunggu (3.000-2.000 SM), saat manusia sudah dapat mencampur tembaga dengan timah menjadi; (a) Kapak Corong, (b) Nekara/Dandang, (c) Bejana, (d) Arca seperti yang pernah ditemukan di Perkebunan Kotablatter Jember dan di Lamajang.
- Zaman Besi
Zaman Besi (12-3 SM) saat manusia sudah dapat melebur besi dari bijinya menjadi; (a) Mata Kapak bertungkai kayu, (b) Mata Pisau, (c) Mata Sabit, (d) Mata Pedang, dan (e) Cangkul, seperti yang pernah ditemukan di Besuki (Situbondo).
TERSINGKIRNYA RAS MELANOSOID
Manusia-manusia Melayu Austronesia (Proto-Melayu dan Deutro-Melayu) yang datang ke Ujung Timur Jawa, pada zaman Neolitikum dan zaman Logam sedikit banyak telah menggeser manusia Melanosoid yang sebelumnya tinggal di daerah pantai (Grajagan, Rajegwesi, dan Gunung Watangan) ke daerah pedalaman untuk selanjutnya menyeberang ke Kepulauan Nusa Tenggara.
Sejarawan senior Banyuwangi, Suhalik, dalam makalahnya Banyuwangi Refleksi Tamansari Nusantara (2018) mengatakan bahwa kedatangan ras Austronesia di Kendeng Lembu telah menggeser keberadaan ras Austro-Melanosoid yang sudah lebih dahulu mendiami pesisir selatan ujung timur Jawa ini.
Jejak ras Austro-Melanosoid dapat diketemukan di daerah Grajagan dan Rajegwesi (Banyuwangi) serta di Gunung Watangan (Jember) berupa Bukit Kerang/Sampah Dapur (Kjokkenmoddinger).
TERSINGKIRNYA RAS NEGRITO
Sebelumnya, kedatangan ras Austro-Melanosoid sendiri juga telah menggeser orang-orang Veddid dari ras Negrito, imigran pertama yang sempat berinteraksi dengan penduduk primitive asli Jawa/Java Man (Meganthropus Paleojavanicus dan Pithecanthropus Erectus).
Perkampungan-perkampungan mereka berserak di sekeliling Gunung Rahong (Raung) hingga ke kaki sebelah timur-utara Gunung Hyang (Iyang). Daerah sebaran mereka sekarang meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Bondowoso, dan Situbondo.
Dari semua itu, yang tertua menurut para ahli adalah yang berada di daerah perkebunan Kendeng Lembu desa Karangharjo (Glenmore, Banyuwangi) dari sekitar 3.500-1.500 SM.
Pendapat ini karena sampai sejauh ini baru ada dua situs Neolitikum tertua di Nusantara yang telah ditemukan. Yang pertama ada di Kalumpang, Mamuju-Sulawesi Barat. Dan yang kedua ada di Kendeng Lembu, Glenmore-Banyuwangi.
SUPERIORITAS RAS MELAYU
Ras Melayu Austronesia di Kendeng Lembu adalah manusia Zaman Neolitikum atau Zaman Batu Muda yang sudah mulai menetap pada suatu kampung (yang mereka bangun secara tidak beraturan) dengan rumah berbentuk bulatan beratap dedaunan.
Di sana mereka mulai bercocok tanam, menjinakkan binatang juga membuat peralatan rumah tangga dan peralatan bercocok tanam dari batu dan logam. Mereka juga membangun peradaban Megalith.
Denys Lombard mengatakan bahwa budidaya padi bukanlah sumbangan dari Indianisasi.
Di antara tanaman yang dibudidayakan oleh Ras Melayu Austronesia adalah; (1) Bira/Sinthe (Alocasia macrorrhizos), (2) Gadung (Dioscorea hispida Dennst),(3) Ganyong (Canna discolor L. syn. C. edulis), (4) Garut (Maranta arundinacea), (5) Gembili (Dioscorea esculenta L.), (6) Gembolo (Dioscorea bulbifera), (7) Iles-iles/Porang (Amorphophallus muelleri Bl.), (7) Lumbu/Talas (Colocasia esculenta L.), (8) Uwi/Ubi (Dioscorea alata), dan (9) Walur/Suweg (Amorphophallus campanulatus).
PENELITIAN DI UJUNG TIMUR JAWA
Arif Firmansyah dan M. Iqbal Fardian, dalam buku Glenmore, sepetak Eropa di Tanah Jawa sedikit membahas tentang ini.
Menurut mereka, upaya penelitian jejak prasejarah di Kendeng Lembu dimulai oleh W. Van Wijland dan J. Brumun tahun 1936, namun ekskavasi baru dimulai oleh H.R. Van Heekeren (1941) dan terhenti karena Perang Dunia II.
Baru setelah Indonesia merdeka dimulai lagi oleh R.P. Soejono dari Prasejarah LPPN pada 1969. Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta melanjutkannya pada 2008 dan melakukan ekskavasi setahun berikutnya (2009). Pada 2019-2020 kembali diadakan ekskavasi oleh Balar Yogyakarta.
Semuanya memiliki kesimpulan yang sama yakni Kendeng Lembu adalah peradaban era Neolitikum.
MENEBAK ASAL-USUL
Dari segi bahasa yang digunakan, Robert Blust (1985) menduga bahwa ras Austronesia di Kendeng Lembu berasal dari Kalimantan Selatan yang bermigrasi menyeberangi laut Jawa ke selatan, kemudian melintasi Selat Bali dan masuk melalui Muara sungai Kalibaru ke arah hulu.
Akan tetapi jika dilihat dari peralatannya, peradaban Kendeng Lembu lebih menyerupai peradaban yang ada di Kalumpang, Mamuju-Sulawesi Barat.
GRAMADEWATA
J.W. De Stoppelaar dalam Blambangan Adatrecht, mengatakan bahwa kubur batu megalitik itu pertama kali dibahas oleh H.E. Steinmetz.
Sedangkan temuan-temuan dolmen di Banyuwangi Barat itu pertama kali dilaporkan kepada de Bataviaasch Genootochap (yayasan Kebudayaan Batavia) oleh Nisiyurn Kepala Perkeretaapian yaitu J.K. Kubenet, ketika pembangunan jalur kereta Kalisat-Banyuwangi tahun 1903.
Demikian pula C. Lekkerkerker dalam De Indische Gids melaporkan hal yang sama ketika pembangunan terowongan kereta api di Merawan tersebut.
H.R. Van Heekeren dalam The Stone Age of Indonesia mengatakan bahwa banyak terdapat batu kubur (sarkofagus) dan juga patung-patung nenek moyang yang dipahat dari batu.
Di desa-desa kuna peninggalan mereka ditemukan banyak tembikar, gerabah, fragmen beliung, batu kubur (sarkofagus), batu kenong, batu lesung, dolmen, menhir, dan sebagainya.
Termasuk juga patung-patung nenek moyang sebagai dewa lokal (Gramadewata) yang masih sangat sederhana, yang menunjukkan adanya peradaban pra-sejarah di tempat itu.
TUMPANG TINDIH PERADABAN
Diperkirakan daerah ini sudah menjadi peradaban sejak 3.500-1.500 SM.
Namun kemudian peradaban awal itu berkelanjutan karena di tempat yang sama juga ditemukan manik-manik, pecahan mangkuk, bejana, porselin, uang kepeng, cincin emas, dan pecahan batu bata yang menunjukkan di sana juga pernah menjadi pusat peradaban pada era kemudian (era sejarah) sekitar abad ke-6 sampai ke-9. Berarti kira-kira sezaman dengan Candi Borobudur.
Dan peradaban termuda berasal dari abad ke-13 atau sezaman dengan Kerajaan Majapahit.
PENUTUP
Jadi, Kendeng Lembu adalah satu diantara dua kompleks situs permukiman murni neolitik di Indonesia. Dia memiliki konteks keterkaitan dengan situs-situs permukiman neolitik lain di Asia Pasifik.
Nilai signifikansi situs Kendeng Lembu menunjukkan awal koloni penutur bahasa Austronesia di Pulau Jawa dan sebagai etnogenesis bangsa Indonesia pada umumnya.
Nah, kawin mawin dari manusia-manusia dari zaman kuna itulah yang menurut penulis kemudian melahirkan kelompok manusia asli ujung timur Jawa yang disebut Wwang Aga –dalam cerita Maharshi Markandya abad ke-2 s/d ke-7.
BAHAN BACAAN
Arif Firmansyah dan M. Iqbal Fardian, GLENMORE, sepetak Eropa di Tanah Jawa.
Hasan Basri, Banyuwangi dan Harmoni keragaman budaya.
H.R. Van Heekeren, The Stone Age of Indonesia.
J.W. De Stoppelaar, Blambangan Adatrecht.
Suhalik, Banyuwangi Refleksi Tamansari Nusantara.
1 comment