PERANG BAYU 1771, Benarkah sebuah Perang Puputan?

PERANG BAYU PUPUTAN

By. Aji Ramawidi

HARJABA atau Hari Jadi (kabupaten) Banyuwangi, sebentar lagi akan diperingati dalam usianya yang ke seperempat milenium alias 2,5 abad atau 250 tahun tepat pada 18 Desember ini.

Untuk itu, Penulis tergerak menyumbangkan dua tulisan sebagai pepeling (pengingat) agar tidak Kepaten Obor.

Beberapa Gelombang

Jarang dipahami publik bahwa yang selama ini disebut dengan istilah Perang Bayu itu ternyata tidak hanya terjadi satu kali dan tidak cuma di Bayu.

Selidik punya selidik, ternyata terjadi beberapa kali dan merata di hampir seluruh wilayah Balambangan.

Hanya saja karena peritiwa besar dan pusat episentrum nya memang berada di sekitar Gunung Bayu/Raung, maka Perang di Bayu lah yang dianggap cukup mewakili untuk menyebut seluruh peristiwa peperangan tersebut.

Perang Bayu I terjadi antara bulan Agustus-Desember tahun 1771 dengan tokohnya Pangeran Pakis atau Mas Rempeg/Jagapati;

Perang Bayu II terjadi antara bulan Pebruari-Juni 1772 dengan tokohnya Jagalara atau Rempeg II dan Mas Ayu Wiwit;

Sedangkan Perang Bayu III terjadi antara bulan Juli-Oktober 1772 dengan tokohnya antara lain adalah Bapa Ajar Keboundha.

Ketidaksepakatan Para Sejarawan

Istilah Perang Bayu I dan II ini penulis adopsi dari Samsubur dalam bukunya Sejarah Kerajaan Blambangan. Sedangkan Perang Bayu III adalah istilah dari Penulis sendiri untuk membedakan perlawanan yang dilakukan Ki Keboundha dengan dua peristiwa sebelumnya.

Seorang sejarawan senior Banyuwangi, Samsubur, dalam bukunya Sejarah Kerajaan Blambangan mengatakan bahwa istilah Puputan Bayu itu adalah istilah yang dibuat belakangan oleh sejawatnya yang juga sejarawan Banyuwangi, Hasan Ali, tahun 1995.

Istilah tersebut kemudian dipopulerkan dalam karya ilmiah berupa Skripsi oleh Tiburtius Catur Wibawa pada Maret 1996.

Sebagaimana Samsubur, Suhalik dalam bukunya Lingkar Waktu juga menunjukkan kekurangsetujuannya dengan istilah Perang Puputan Bayu.

Hal itu wajar, karena Suhalik adalah anggota Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) yang pada 31 Januari 2005 pernah ikut mengoreksi Hari Jadi Banyuwangi.

Dimana, salah satu garis besar pendapat tim tersebut menyatakan bahwa;

“Perang Bayu direkayasa menjadi “Perang Puputan Bayu” merupakan perang habis-habisan, ternyata faktanya tidak benar karena orang Bayu masih sekitar antara 3.000 sampai 5.000 yang melarikan (diri) ke hutan-hutan…”

Pendapat Penulis

Penulis sendiri sepakat dengan pandangan-pandangan mereka mengenai ketidakcocokan dalam penggunaan istilah Perang Puputan.

Layak untuk dipertanyakan penggunaan istilah Puputan atau ‘perang habis-habisan’ jika kenyataannya sesudah itu Tidak benar-benar habis dan masih ada sebagian rakyat Balambangan yang kemudian menyerah kepada VOC-Belanda.

Bagaimana bisa perang itu disebut habis-habisan jika para pemimpin Balambangan masih terus mengobarkan perang-perang lain sesudahnya hingga tahun 1777, bahkan hingga 1815?

Pusat Episentrum Peristiwa

Selain itu juga telah terjadi kesalahpahaman di masyarakat yang menganggap bahwa Perang Bayu hanya terjadi di Bayu.

Perang ini disebut Perang Bayu karena terjadi di lereng Gunung Bayu alias Gunung Raung yang meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember, dan Bondowoso saat ini. Lokasinya tidak hanya di desa Bayu atau di Wana Wisata Rawa Bayu, kecamatan Songgon, Banyuwangi.

Oleh karena itu, istilah Perang Bayu apalagi Perang Puputan Bayu layak dipertanyakan karena menjadi kurang cukup mewakili untuk seluruh kejadian perang tahun 1771-1773 tersebut.

Bahkan dalam Babad Tawangalun disebutkan bahwa lokasi tepat terjadinya Perang Bayu itu sendiri adalah di sebuah hutan yang waktu itu (tahun 1771) masuk desa Bedewang.

Setelah peristiwa itu hutan tersebut dikenal dengan Hutan Perangan, tepatnya Tegalperangan (saat ini masuk desa Parangharjo di kecamatan Songgon, Banyuwangi).

Perhatikan kutipan Babad Tawangalun berikut ini:

“Nulya sira mapak bala, wahu Pangeran Jagapati miwah Patih Jagalara, pepek sagunging prajurit, bala pan sampun prapti, anulya abudhal sampun, prapta ing Wana Perangan, ing Bedhewang pernahneki, ing Tegal Perangan genira abanda yuda.”

(Babad Tawangalun)

Tidak Hanya di Bayu

Perlu diketahui bahwa dalam peristiwa perang yang dikomandoi oleh Mas Rempeg ini, ternyata tidak hanya terjadi di Bayu. Daerah-daerah lain seperti Gambiran, Genteng, Banjar, Lateng, Grajagan, dan Purwa juga larut dalam suasana perjuangan yang sama.

Bahkan peperangan juga terjadi di Balambangan barat di bawah Mas Surawijaya dan Mas Ayu Wiwit. Rangkaian peperangan tersebut terjadi di Senthong, Adiraga/Jember, Sabrang, Puger, Nusa Barong, dan lain-lain.

Oleh karena itu, menyebut semua peperangan itu hanya sebagai ‘Perang Bayu’ saja, justru akan mengerdilkan dan bahkan menghapus sejarah perjuangan rakyat Balambangan di tempat-tempat itu.

Dengan demikian, usaha mengenang dan memperingatinya dapat dilakukan di berbagai titik tersebut, mungkin dengan kegiatan inti tetap di Bayu.

Sebuah Alternatif

Sejak 2016 yang lalu, Penulis mempopulerkan penggunaan istilah Perang Semesta Balambangan atau Perang Balambangan III untuk menyebut peristiwa tahun 1771 tersebut.

Perang Semesta Balambangan adalah istilah untuk menyebut keseluruhan perang antara Kerajaan Balambangan melawan VOC selama sepuluh tahun, dari 1767 hingga 1777.

Dimulai dari Perang Balambangan I atau Perang Kabakaba tahun 1767, disusul Perang Balambangan II atau Perang Wilis tahun 1767-1768.

Kemudian Perang Balambangan III atau Perang Rempeg, dan Perang Nusabarong 1777, bahkan hingga Perang tahun 1815 di Puger.

Adapun Perang yang dipimpin oleh Mas Rempeg tahun 1771 ini sangat layak disebut sebagai Perang Semesta Balambangan III karena memang meluas ke berbagai daerah (delapan titik lokasi perang).

Delapan titik itu menyebar di seantero Balambangan (Barat dan Timur) sebagaimana disebutkan oleh berbagai sumber yang Penulis dapati.

Perjuangan rakyat ini bukan Puputan karena bukan yang terakhir dan tidak sampai habis. Bukan hanya di Bayu karena memang menyebar di berbagai titik lokasi, bahkan pusat episentrumnya berada di Wana Perangan atau Tegalperangan, bukan di Gunung Bayu.

Sumber:

  • J.K.J. de Jonge, Opkomst,
  • M.H. Aji Ramawidi, A Short Histori of Blambangan,
  • M.H. Aji Ramawidi, Dari Balambangan menjadi Banyuwangi,
  • M.H. Aji Ramawidi, Babad Jagapati,
  • Samsubur, Sejarah Kerajaan Blambangan,
  • Sri Margana, Perebutan Hegemoni Blambangan,
  • Suhalik, Lingkar Waktu,
  • Winarsih, Babad Blambangan, dll.
0 Shares:
1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like
Selanjutnya

Sejarah Desa Kradenan

DAFTAR ISI Hide Asal Usul Raden PurawijayaPangeran Agung Wilis Menuntut KeadilanRaden PurawijayaMbah PriyanganKi JalasutraMbah Jajang Bongkar Kradenan adalah sebuah…