Artikel karya M. Dwi Cahyono ini memiliki judul asli “Ungkapan Makna Toponimi “Semboro”, Tinggalan Arkeologis, dan Babad Sembar Bagi Kesejarahan Balambangan.” dan ditulis untuk diseminarkan di Desa Sidomekar, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember pada hari Minggu, 9 Desember 2018 dalam acara seminar yang berjudul : “Sejarah Benteng Majapahit”.
Untuk kepentingan dimuat pada ajisangkala.id, editor hanya memperbaiki beberapa typo yang ada kemudian membaginya dalam 6 (enam) bagian untuk 6 kali penerbitan, yaitu:
- (1/6) Sejarah Asal-usul Nama Semboro
- (2/6) Jejak Arkeologis Situs Beteng dan Candi Deres
- (3/6) Kandungan Data Historis dalam “Babad Sembar”
- (4/6) Pemerintahan Mas Sembar hingga Menak Lampor
- (5/6) Penyatuan Kerajaan Balambangan-Kedawung di Sembara
- (6/6) Kemungkinan Asal-Usul Nama “Jember”
Pengantar
Salah satu sumber data tekstual yang berkait erat dengan kesejarahan Sembar-Kedawung adalah “Babad Sembar”, yang naskahnya diedisikan oleh Winarsih Partaningrat Arifin (1995).
Susastra berbentuk “babad” ini disurat oleh Patih Kertajaya, yakni Patih Prabalingga pada tahun 1800-an. Sebelum disuratkan (literalisasi), kisah yang terdapat di dalamnya hinga kurun waktu dua hingga tiga abad berada dalam bentuk tradisi lisan (oral tradition).
Pada telaah ini data tekstual pada Babad Sembar dijadikan sebagai bahan eksplorasi, khususnya Pupuh Dandhang Gulo, yang terdiri atas 11 bait.
Lembu Miruda dan Mas Sembar
Nama “Sembar” sebagai sebutan bagi susastra ini diambil dari sebutan salah seorang tokoh yang dikisahkan di dalamnya, yaitu “Mas Sembar“, yakni salah seorang anak dari Lembu Miruda. Adiknya yang cantik bernama “Mas Ayu Singasari” (bait ke-3). Adapun Lembu Miruda adalah putra Brawijaya (?) dari Majapahit.
Setelah Majapahit mengalami kehancuran (rusake Majalengka), dia mengungsi ke timur, masuk hutan, mendaki gunung, hingga sampailah di hutan dalan wilayah Balambangan (bait ke-1). Kemudian tiba di Batu Putih (Watu Putih) dan mendirikan asrama.
Di sana, dia memohon kepada Hyang Agung agar dikaruniai keturunan yang kelak diharapkan bakal menjadi raja dan menurunkan raja-raja di Jawi Wetan (bait ke-2) –tepatnya Jawi Wetan bagian wetan (timur), yakni di kawasan yang kini lazim disebut “Daerah Tapal Kuda (DTK)”.
Pada teks tersebut, meski tokoh yang disebut pertama adalah Lembu Miruda, namun yang dijadikan sebagai judul naskah justru “Mas Sembar”, yang di dalam baris terakhir bait ke-3 dinyatakan sebagai “…menjadi raja di Balambangan (ditulis “Blangbangan”), berkuasa di timur (nyakrawati ing wetan).”
Mas Sembar, Vamsakara Balambangan
Tergambar bahwa yang diposisikan sebagai cikal-bakal atau vamsakreta (vamsakara) bagi raja-raja di Balambangan adalah Mas Sembar, bukan ayahnya (Lembu Miruda). Dalam teks ini, Lembu Miruda lebih digambarkan sebagai seorang rohaniawan yang tinggal di srama (asrama) Batu Putih.
Kerajaan pada masa Mas Sembar mengawali kekuasaannya dinamai dengan “Kerajaan Balambangan” yang terletak di sebelah timur lokasi srama Lembu Miruda, yang amat boleh jadi berada di lereng gunung Tengger-Semeru.
Nama “Batu Putih” mengingatkan kita kepada nama “Rabut Macan Petak (Bukit “suci’ Macan Putih)” yang disebut dalam salah satu prasasti pendek (short inscription) di Pasrujambe dalam wiilayah Kabupaaten Lumajang pada lereng selatan Semeru.
Bisa jadi, srama Watu Petak itu berada di dalam hutan (wanasrama) Pasrujambe, yang di dalam babad ini dinyatakan sebagai “wana Balambangan”.
Adapun lokasi dari Kerajaan Balambangan yang didirikan kali pertama oleh Mas Sembar berada di sebelah timur dari srama Watu Putih, yang berarti di selah timur Lumajang. Jika demikian, dimana lokasi ibukota Kerajaan “Balambangan Mula” itu?
Dari Sambara Menjadi Semboro
Indikator pelokasiannya adalah unsur nama “Sembar” dan “Mas Sembar”. Nama di belakang honirifix prefix “Mas” itu bakanlah nana diri, melainkan nama tempat yang menjadi daerah lungguh (apanage)-nya.
Jadi, Sembar adalah nama tempat apanage –seperti juga unsur nama “Singosari” dari sebutan “Mas Ayu Singosari”, yakni adik Mas Sembar.
Menilik kedekatan namanya, sangatlah mungkin tanah lungguh Sembar itu berada di wilayah Semboro sekarang, yakni nama kuno (archaic name) dari apa yang kini dinamai dengan “Semboro” .
Nama “Sambara” ataupun “Sambhara”, mengalami gejala bahasa yang berupa pengantian vokal “a” dan istilah Jawa Kuna atau Jawa Tengahan menjadi vokal “o” dalam bahasa Jawa Baru, yaitu dari nama “SambArA” atau “SambhArA” menjadi “SambOrO”.
Gejala bahasa yang berikut adalah pelesapan vokal “a” diujung kata, yakni dari “SambarA” menjadi “Sambar (tanpa vokal “a”). Terakhir gejala bahasa berupa penggantian vokal “a” menjadi “e”, yaitu dari “SAmbar” menjadi “SEmbar”.
Kadatwan Balambangan Mula di Sambara
Demikianlah, Mas Sembar sebagai vamsakreta (vamsakara) para raja Balambangan lah yang mendirikan kadatwan (kedaton) Balambangan (diistilahi dengan “Balambangan Mula”) di daerah Sambara (Sembhara), yang kini dinamai “Semboro”.
Bila benar demikian, maka ibukota (kadatwan, kedaton) dari kerajaan Balambangan di era pemerintahan raja Mas Sembar adalah di daerah Semboro, bukan di Puger sebagaimana pendapat yang sejauh ini dilansir. Atau dengan perkataan lain, Semboro adalah lokasi “Balambangan Mula”.
Tinggalan arkeoligis di Situs Beteng pada Desa Sidomekar (sebelum tahun 1989 masuk dalam wilayah Desa Semboro lama) amat mungkin sebagian berasal dari kerajaan Balambangan Mula pada era pemerintahan Mas Sembar.
Sesuai dengan Berita dalam Babad Sembar
Hal ini sesuai dengan pemberitaan “Babad Sembar”, yang menyatakan bahwa putra sulung Lembu Miruda yang bernama Mas Sembar nendirikan kerajaan Balambangan di sebelah timur wanasrama Watu Putih pada lereng selatan Semeru di Pasrijambe dalam wilayah Lumajang.
Semboro berada di wilayah Jember bagian barat, yang nota benene terletak di sebelah timur daerah Lumajang. Bersama dengan Kecamatan Tanggul, Kecamatan Semboro adalah sub-area di Kabupaten Jember yang terdekat jaraknya dengan Kabupaten Lumajang. Diantaranya terkoneksi dengan jalan poros yang menghubungkan Lumajang-Jember-Banyuwangi.
Pilihan lokasi kadatwan Balambangan Mula di daerah Semboro (Sambara, Sambhara) dengan demikian adalah:
- kedekatan jaraknya dengan Lamajang (kini “Lumajang”),
- bertanah subur –lantaran berada di lembah sisi selatan Argopuro (Hyang) yang konon merupakan gunung berapi dan berkekupan air, sehingga potensial untuk pilar perekonomian agraris,
- topografinya berada di dataran rendah (25 mdpl) dan relatif rata (flat),
- telah terdapat sistem sosial-budaya yang rekatif teratur, sebab Semboro telah menjadi hunian manusia sejak Masa Bercocok Tanam di Zaman Prasejarah, terbukti dengan adanya temuan beberapa kapak batu dari tradisi Neolitik.
(Bersambung ke Bagian 4 : https://balambangan.id/pemerintahan-mas-sembar-hingga-menak-lampor/)
1 comment