Benarkah Perang Bayu adalah Perang Etnis dan Perang Agama?

By. Aji Ramawidi

Beberapa waktu lalu (tahun 2020), Penulis menemukan sebuah artikel bebas yang beredar di media sosial yang membahas tentang Perang Bayu, yakni perang tahun 1771 di Balambangan menghadapi VOC.

Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa Perang Bayu ini adalah Perang antara orang-orang Islam yang dibantu VOC-Belanda melawan orang-orang Hindu Balambangan.

Hal senada juga Penulis dapati dari cerita-cerita (asumsi masyarakat) bahwa Perang Bayu itu terjadi antara VOC-Belanda yang dibantu Mataram (Jawa) melawan Balambangan (Using).

Pendapat C. Lekkerkerker

Dua argumen di atas cukup menggelikan. Bagaimana tidak, C. Lekkerkerker saja mengatakan bahwa gerakan ini adalah sebuah gerakan penolakan atas ditempatkannya bupati-bupati dari Surabaya; Kartanegara dan Jaksanagara.

Hanya mereka yang kering literasi saja yang akan mengatakan bahwa Perang Bayu adalah perang antar agama; Islam vs Hindu, dan atau perang antara Suku; Jawa vs Using. Mari kita bahas satu persatu;

Perang Bayu bukan Perang Agama

Beberapa orang memang mengidentifikasi bahwa Perang Bayu adalah perang yang ‘dibumbui’ faktor agama. Namun Penulis tidak menemukan bukti akan itu.

Sri Margana dalam Perebutan Hegemoni Blambangan mengatakan bahwa perang;

“Ini bukan karena alasan keagamaan… Rakyat Blambagan tidak memiliki persoalan khusus dalam mengadaptasikan dirinya dengan Islam maupun Hinduisme…”

Sri Margana

Sementara itu, C. Lekkerkerker mengatakan bahwa;

“Dalam Gerakan (Pseudo Wilis) itu tidak ada terdapat semangat anti Islam. Sebahagian dari pengikut-pengikut “Pseudo Wilis” itu jelas beragama Islam dan pemimpin-pemimpinnya mengucapkan nama Allah.”

C. Lekkerkerker

Pendapat I Made Sudjana

Bahkan yang jauh lebih berani lagi adalah pernyataan, I Made Sudjana. Sejarawan Hindu dari Bali ini justru mengatakan bahwa Mas Rempeg adalah seorang Muslim;

“Untuk menambah kepercayaan wadwa alit, Pengeran Pakis menyatakan bahwa Gusti Allah akan menganugerahkan meriam.”

I Made Sudjana

Demikianlah, tidak ada sentimen anti agama ini dan itu di Balambangan sehingga dengan demikian, tidak mungkin terjadi Perang Bayu jika yang digelorakan adalah perang Agama. Ini murni faktor Politik dan kekuasaan.

Perang Bayu bukan Perang Etnis

Yang dimaksud perang etnis pada bagian ini adalah antara Suku Jawa (Mataram) dengan Suku Using dimana istilah Jawa dan Using yang dimaksud adalah istilah yang kita pahami hari ini (tahun 2021), bukan istilah ketika tahun 1771 saat peristiwa itu terjadi.

Pertama-tama kita harus memahami bahwa pada saat Perang Bayu terjadi tahun 1771-1772 tidak ada istilah Using. Pada masa itu semua orang masih menyebut mereka sebagai Wong Balambangan.

Wong Balambangan

Mengenai Wong Balambangan, perhatikan contoh-contoh kalimat berikut ini;

  1. “…kinandha Wong Bêlambangan, tan kawarna ing margi…” (Babad Majapahit)
  2. “Wong Blambangan wiranti ngajurit, Patih Cluring kang mngka manggala…” (Babad Demak)
  3. “…ampun tekaning masa geger Wong Blangbangan rusak atri…” (Babad Sembar)
  4. “Gusti Murah nabda aris: “Yén mengkono Wong Balambangan, nora ikem maring sarira mami”…” (Babad Tawangalun)
  5. “Tawang Alun nèng kanan, Wiranagara nèng wuri, Wong Balambangan, ingkang dadya têtindhih…” (Babad Mataram)
  6. “Lan Wong Balambangan, sampun ayun-ayunan Wong Mataram…” (Babad Tanah Jawi, BP)
  7. “…tangèh lamun cinôndra Wong Bêlambangan datan kawarnèng margi… (Serat Damarwulan)
  8. “Zef noemen ze zich “echte Javanen”. Het best zijn ze aan te duiden met Blambangers.” (Gandroeng van Banjoewangi, Verslag van het Congres van het Java Instituut)

Dan masih banyak lagi sumber-sumber lainnya yang menyebut orang Balambangan dengan istilah Wong Balambangan.

Bahkan dalam Gandroeng van Banjoewangi, Joh. Scholte dan T. Ottolander sangat jelas sekali menuliskan;

“Nama Oesingers adalah kelompok di Jawa Timur yang diberikan oleh para pendatang (abad 19), setelah mendapatkan kata negatif “Oesing” atau “Sing” yang artinya “Tidak” atau “Bukan”. Mereka sendiri menyebut dirinya Orang Jawa Asli. Lebih tepatnya adalah menyebut mereka sebagai Blambanger (Orang Blambangan).”

Joh. Scholte dan T. Ottolander

Kesimpulan

Jika dilihat dari sisi ini, maka baik pihak yang diserang maupun yang menyerang adalah sama-sama Orang Jawa.

Pihak yang diserang yakni Orang Balambangan menyebut diri mereka sendiri sebagai “Orang Jawa Asli”, sedangkan pihak penyerang yakni orang-orang Surabaya, Gresik, Bangil, Pasuruan, dan Semarang yang terlibat di pihak VOC-Belanda saat itu, juga Orang Jawa.

Maka tidak benar jika telah terjadi sebuah perang antar suku. Sekali lagi ini soal Kekuasaan dan Politik semata.

Sebuah pesan sederhana untuk kita para pegiat literasi sejarah; “Jangan sembarangan membuat konten dengan mengorbankan persatuan dan kesatuan NKRI yang ujungnya hanya demi viral dan tepuk tangan.”

Bahan Bacaan:

  • A Short Histori of Blambangan,
  • Perebutan Hegemoni Blambangan,
  • Babad Blambangan Winarsih,
  • Opkomst,
  • Babad Majapahit,
  • Babad Demak,
  • Babad Sembar,
  • Babad Tawangalun,
  • Babad Mataram,
  • Babad Tanah Jawi BP,
  • Serat Damarwulan, dan
  • Gandroeng van Banjoewangi, Verslag van het Congres van het Java Instituut.

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like
Selanjutnya

Asal-usul Desa Benelan Lor

DAFTAR ISI Hide Kisah “Raden Jaka Pekik”Kisah “Ki Tompo Wijoyo”Kesejarahan Raden Jaka PekikKesejarahan Ki Tompo WijoyoKesimpulan Ada setitik…