1. Kerajaan Keling
Pararaton (1613) menyebutkan bahwa Bhre Panḍansalas (Dyah Suraprabhawa) adalah raja terakhir Majapahit yang meninggal di istana pada tahun 1478 dengan sengkalan berbunyi “sunya nora yuganing wong”, yang menurut Prasasti Pethak dan Jiyu akibat pemberontakan Sang Muggwing Jinggan dan adik-adiknya Dyah Wijayakarana, Dyah Wijayakusuma, dan Dyah Ranawijaya.
Setelah mangkatnya Maharaja Majapahit terakhir itu maka para pemberontak yakni Sang Muggwing Jinggan cs., mendirikan kerajaan baru di Keling (sekitar Pare-Kediri sekarang). Mereka tetap memakai klaim sebagai penerus sah Majapahit. Misalnya dalam prasasti Jiyu, disebut menyandang gelar Sri Maharja Wilwatiktapura Janggala Kaḍiri.
Menurut Nia Kurnia dan Siwi Sang, tiga orang itu; Dyah Wijayakarana, Dyah Wijayakusuma, dan Dyah Ranawijaya secara berturut-turut menjadi Sri Maharaja Bhatara Keling, selain juga menyandang gelar Sri Maharja Wilwatiktapura Janggala Kaḍiri. Sang Muggwing Jinggan sendiri, diduga tewas dalam perang tersebut, namun ada dugaan lain yang dipopulerkan oleh Heri Purwanto bahwa Sang Muggwing Jinggan menyepi dan tidak mau menjadi raja dengan menetap di Jinggan.
Adapun nama-nama raja di Keling tersebut adalah;
- Dyah Wijayakarana (1478-1486)
Pendiri Kerajaan di Keling, Śrī Mahāraja Bhaṭāre Kling Śrī Girīndrawardhana Dyah Wijayakarana (1478-1486) setelah mangkat berjuluk Sang Mokta ring Amertawisesalaya.
Dia adalah mantan Bhre Mataram V era Majapahit yang berkuasa di Mataram antara tahun 1451-1478.
Sumber; Prasasti Waringinpitu (1448), Pararatwan (1613), Prasasti Petak (1486), Prasasti Jiyu (1486), Kakawin Banawa Sĕkar, dan Suma Oriental (1513)
- Dyah Wijayakusuma (1486)
Dyah Wijayakarana digantikan oleh adiknya, Śrī Mahāraja Bhaṭāre Kling Śrī Girīndrawardhana, yang berjuluk Śrī Singhawardhana, yang memiliki nama asli Dyah Wijayakusuma (1486), setelah mangkat berjuluk Sang Mokta ring Mahalayabhawana.
Dia adalah mantan Bhre Pamwatan III atau Sang Nrpati Pamwatan pada jaman Majapahit dan berkuasa di Pamwatan antara tahun 1451-1478.
Sumber; Pararatwan (1613); Prasasti Petak (1486), Prasasti Jiyu (1486), dan Kakawin Banawa Sĕkar.
- Dyah Ranawijaya (1486-1498)
Dyah Wijayakusuma digantikan oleh adiknya, Bhre Kertabhumi atau Sri Natheng Kretabhumi Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (1486-1498). Pada tahun 1486, dia mengeluarkan prasasti Petak dan Jiyu. Sementara ini Mas Aji Wirabhumi mengikuti pendapat bahwa raja ketiga ini memerintah di Keling sampai tahun 1498.
Sumber; Pararatwan (1613), Prasasti Petak (1486), Prasasti Jiyu (1486), dan Kakawin Banawa Sĕkar.
2. Kerajaan Daha
Suma Oriental mengatakan bahwa ketika Tome Pires berkunjung ke Jawa tahun 1513 itu, yang berkuasa saat itu adalah Batara Vigiaya putra Batara Mataram. Dalam kendali Guste Pate Amdura.
Batara Vigiaya ini dalam Sastra Jawa Baru ditulis sebagai Bra Wijaya atau Brawijaya. Kemudian sebagian dari pemerhati sejarah masa akhir Majapahit menduga bahwa Bhaṭara Vigiaya/Brawijaya ini adalah orang yang sama dengan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Namun masalahnya Dyah Ranawijaya adalah adik Batara Mataram dan bukan anaknya. Padahal Suma Oriental yang ditulis saat Batara Vigiaya ini masih hidup, menyebutnya sebagai anak Batara Mataram.
Mungkin pendapat seperti itu bermula dari nama Prabu Brawijaya Kertabhumi dalam Purwaka Caruban Nagari. Apa yang tertulis dalam Purwaka Caruban Nagari itulah mungkin yang mempengaruhi anggapan bahwa Brawijaya sama dengan Bhre Kertabhumi yaitu Dyah Ranawijaya. Sekali lagi masalahnya, Bhre Kertabhumi Dyah Ranawijaya adalah adik Batara Mataram, bukan anaknya.
Menurut Mas Aji Wirabhumi, jika Batara Vigiaya adalah ejaan Portugal untuk Batara Wijaya atau Brawijaya, kemungkinan benarnya cukup besar. Namun jika Batara Vigiaya dianggap sama dengan Dyah Ranawijaya, belum tentu. Perhatikan daftar urutan silsilah raja-raja menurut Suma Oriental berikut ini;
“Batara Caripana Cuda berputra Batara Matara berputra Batara Sinagara berputra Batara Mataram berputra Batara Vigiaya…” Artinya; “Batara Kahuripan V (Wikramawardhana: 1388-1389) berputra Batara Mataram IV (Kertawijaya: 1415-1429) berputra Batara Sinagara (Dyah Wijayakumara, Raja: 1451-1453) berputra Batara Mataram V (Dyah Wijayakarana: 1451-1478) berputra Batara Vigiaya/Brawijaya (1498-1527) yang berkuasa saat ini (1513)…”
Jelas, bahwa Batara Vigiaya adalah anak Batara Mataram Girindrawardhana Dyah Wijayakarana, bukan adiknya. Dengan kata lain Batara Vigiaya adalah keponakan dari Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Karena Dyah Ranawijaya adalah adik Dyah Wijayakarana.
Ketika Tome Pires ke Jawa tahun 1513 yang berkuasa adalah Batara Vigiaya/Brawijaya, bukan Bhre Kertabhumi Dyah Ranawijaya. Lalu kapan pergantian kepemimpinan diantara mereka? Belum jelas.
Santoso dan Dasuki Noer menduga telah terjadi kudeta pada Girindrawardhana Dyah Ranawijaya tahun 1498 oleh Patih Udhara/Guste Pate Amdura. Mungkin Patih Udhara ini kemudian mengangkat Bhatara Vigiaya, putra mantan Batara Mataram ke-V (1451-1478) atau swargi Śrī Mahāraja Bhaṭāre Kling ke-I Girindrawardhana Dyah Wijayakarana (1478-1486), menjadi raja baru di Dayo (yang diidentifikasi sebagai Daha). Lagi pula Tome Pires menyebut Batara Vigiaya adalah menantu Guste Pate Amdura/Mahidara.
3. Brawijaya
Meskipun sangat populer, ternyata nama Brawijaya tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton, Nāgarakṛtāgama, ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Mungkin karena memang dia bukan raja Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Sejauh ini memang hanya Suma Oriental (1513) yang menjadi satu-satunya sumber, yang ditulis saat tokoh Batara Vigiaya itu sendiri masih hidup dan memerintah dari Dayo, sehingga sangat layak untuk dipercaya. Dan dialah satu-satunya raja Jawa yang bernama Brawijaya, tanpa tambahan angka romawi di belakang namanya.
Menurut Heri Purwanto, Babad Tanah Jawi mencatat nama lain dari Brawijaya adalah Raden Alit putra Prabu Bratanjung. Berbeda lagi dengan Serat Kandha yang menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah gelar dari Damarwulan. Sedangkan nama Brawijaya V (dengan tambahan angka romawi ‘V’ di belakangnya), berasal dari karya Sastra Jawa Baru seperti; Serat Pustakaraja, Serat Pranitiradya, dan sebagainya. Sementara sebutan Prabu Brawijaya Kertabhumi hanya terdapat dalam Purwaka Caruban Nagari.
Lantas, baru pada zaman Surakarta (abad ke-19), muncullah gagasan untuk menulis sejarah ataupun silsilah raja-raja Surakarta dengan menautkannya pada raja-raja Jawa di masa lampau. Namun karena para penulis babad di Surakarta belum tahu nama-nama raja Jawa jaman kuna karena prasasti belum banyak yang ditemukan seperti saat ini.
Demikian pula Suma Oriental belum dikenal saat itu, sehingga kemudian raja-raja Jawa jaman kuna dari Dayo, Keling, dan Majapahit semuanya di-Brawijaya-kan, dan semua digebyah-uyah sebagai raja Majapahit.
Mereka mencatut nama Brawijaya yang merupakan satu-satunya nama raja Jawa jaman kuna yang masih diingat oleh masyarakat luas. Sedangkan, angka-angka Romawi di belakang nama Brawijaya itu muncul untuk memudahkan mengingat. Tentu ini akibat pengaruh keadaan di Kartasura saat cerita itu ditulis, yaitu Amangkurat II, Amangkurat III, Pakubuwana I, Amangkurat IV, Pakubuwana II dan seterusnya, sehingga kemudian muncullah ide pemberian angka pada nama-nama raja Jawa pra-Islam sebagai; Brawijaya I, Brawijaya II, Brawijaya III, Brawijaya IV, dan Brawijaya V seperti yang kita kenal saat ini.
Bahan Bacaan:
Tome Pires, Suma Oriental
Agung Kriswanto, Pararaton
Siwi Sang, Girindra Pararaja Tumapel Majapahit
Babad Sembar
W.L. Olthof, Babad Tanah Jawi
Dan lain-lain
1 comment