Netralitas Dalam Membaca Sejarah Majapahit

Soal keruntuhan Majapahit masih menjadi tema seksi dalam sejarah kita.

Saya tidak ada urusan mau Raden Patah anak durhaka atau bukan. Prinsip saya, selama manusia masih punya nafsu, pasti bisa berbuat salah, tidak peduli agamanya apa. Yang saya cari adalah kebenaran, atau minimal tafsir yang mendekati kebenaran, bukan urusan ideologi.

Adapun poin-poin yang saya yakini terkait tema seksi ini adalah sebagaimana saya sebutkan di bawah ini.

Majapahit adalah nama ibukota Negara Jawa

Selama ini kita terlalu lama menikmati doktrin usang, bahwa Majapahit adalah nama negara yang beribukota di Trowulan.

Kemudian ada tandingannya yaitu Majapahit Timur yang beribukota di Lumajang. Lalu ada lagi Majapahit Akhir yang beribukota di Daha.

Itu semua tidak benar. Dalam prasasti Kudadu, Śrī Kṛtarājasa jelas disebut sebagai Raja Jawa, dalam prasasti Waringin Pitu juga Śrī Kṛtawijaya disebut Raja Jawa. Adapun Majapahit adalah ibukota pemerintahannya. Ibukota (Negara) Jawa.

Soal penulisan nama

Dalam prasasti Tuhañaru, prasasti Prapañcasarapura, prasasti Waringin Pitu, Nāgarakṛtāgama, tertulis Majhapahit.

Adapun pada prasasti Selamaṇḍi dan prasasti Pĕṭak tertulis Majapahit. Jadi, tidak perlu diperdebatkan yang benar pakai H atau tidak.

Raja Yang Meninggal di istana (1478 M)

Pararaton menyebut pada Śaka 1400 atau 1478 Masehi ada raja Majapahit meninggal di istana. Tidak dijelaskan penyebabnya apa.

Jawabannya ternyata ditemukan dalam prasasti Pĕṭak, yaitu diserang oleh Sang Munggwing Jinggan. Siapakah dia? Tidak dijelaskan dengan pasti.

Yang jelas dia masih satu “partai” dengan Girīndrawardhana Dyah Raṇawijaya, raja yang mengeluarkan prasasti tersebut.

Lemahnya Sumber Tentang Raden Patah

Berita bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Raden Patah sumbernya lemah, yaitu berasal dari naskah-naskah tradisional buatan era Jawa Baru yang ditulis ratusan tahun sesudah Majapahit runtuh.

Mungkinkah “Pujangga (Jawa Baru) sebanyak itu bohong berjamaah?”

Sejarah tidak ditentukan oleh suara terbanyak, tapi ditentukan oleh bukti yang paling valid.

Meskipun ada ratusan pujangga era Jawa Baru kompak menulis berita bahwa Majapahit runtuh oleh serangan Raden Patah dari Dĕmak, tetap saja kalah lawan satu sumber primer, yaitu prasasti Pĕṭak.

Dukungan Arsip Dinasti Ming dan Arsip Portugis

Sumber primer tidak hanya satu prasasti saja, ada beberapa sumber lainnya, yaitu arsip Dinasti Ming di Cina yang menyebut Bula Gedenamei adalah raja Jawa tahun 1495.

Padahal menurut naskah tradisional, Prabu Brawijaya Kertabumi sudah digulingkan Raden Patah pada 1478. Mana yang benar? Tentu saja arsip Dinasti Ming lebih kuat daripada naskah buatan era Jawa Baru.

Selain berita Cina juga ada berita Portugis yang ditulis Tomé Pires yang mencatat bahwa raja Jawa tahun 1513 bernama Bhaṭāra Wijaya (tertulis Batara Vojyaya) yang bertakhta di Daha (tertulis Dayo).

Dalam tradisi Jawa Pertengahan, nama Bhaṭāra Wijaya boleh disingkat Bhra Wijaya. Itu artinya, berita dalam naskah tradisional bahwa Brawijaya digulingkan Raden Patah pada 1478 jelas keliru, karena pada 1513 ia masih berkuasa.

Catatan Penjajah kok dipercaya?

Pada tahun 1513 Portugis tidak menjajah Jawa, tapi menganggap Jawa sebagai rekan bisnis. Itu sebabnya Tomé Pires mencatat semua hasil kunjungannya ke Jawa untuk bahan laporan ke Raja Portugal. Namanya laporan tentu tidak boleh ngawur.

Kemudian jika ada yang membantah dengan pertanyaan: “Kan ada tuh berita Eropa lainnya yang menyebut Majapahit dikuasai Pati Unus. Bukankah itu bukti bahwa Majapahit ditaklukkan Dĕmak???”

Iya benar. Berita itu ditulis oleh Antonio Pigaffeta tahun 1522. Tapi perlu diingat bahwa Majapahit adalah nama kota. Majapahit adalah bekas ibukota Jawa, sedangkan Daha adalah ibukota yang baru.

Tomé Pires di tahun 1513 sudah mencatat adanya persaingan antara Dĕmak dan Daha dalam memperebutkan kekuasaan atas Pulau Jawa. Wajar jika pada akhirnya Majapahit sebagai ibukota lama direbut Dêmak, mungkin untuk memperkuat tuah legitimasi.

Tapi yang jelas, Antonio Pigaffeta menyebut yang diduduki Pati Unus cuma Majapahit, sedangkan Daha adalah negeri yang merdeka.

Dua Versi Sejarah Jawa Kuno

Saya menyebut sejarah Jawa Kuno ada dua versi, atau istilah kerennya dua universe.

Universe pertama bersumber dari temuan purbakala, misalnya prasasti, rontal kuno, dan berita azing sezaman; sedangkan universe kedua bersumber dari naskah tradisional buatan para pujangga era Jawa Baru.

Maka, sangat lucu apabila kita meyakini raja terakhir Majapahit bernama Brawijaya V yang digulingkan Raden Patah, anaknya sendiri, sekaligus kita mempercayai bahwa raja pertama Majapahit bernama Raden Wijaya. Mereka beda universe, Bray!!!

Kesimpulan

Untuk saat ini saya setuju bahwa Majapahit runtuh oleh serangan Sang Munggwing Jinggan, bukan oleh Raden Patah. Kemudian Daha tampil sebagai ibukota Jawa yang baru, sedangkan Majapahit (ibukota lama) akhirnya berhasil direbut Pati Unus.

Namun, saya bukan golongan orang yang membela Dĕmak selalu benar, pokoknya tidak boleh salah.

Jika kelak pada masa depan ditemukan sumber primer bahwa Raden Patah ternyata benar-benar anak durhaka, ya tentunya saya ikut menerima dengan penuh keikhlasan. Rahayu!!!

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like
Selanjutnya

Prasasti Tuban I

Prasasti ini ditemukan di Astana Krebut Desa Bandungrejo, dan disebut Prasasti Bandungrejo atau Prasasti Tuban, berangka tahun 1277…