Raden Wangsakarya dan Perannya Sebagai Seorang Guru

25 Nopember diperingati sebagai Hari Guru Nasional, sebagai pengingat akan peran dan pengaruh/jasa seorang guru kepada setiap derap langkah pembangunan karakter generasi penerus bangsa.

Tanpa jasa seorang Guru, maka generasi penerus tidak akan bisa disiapkan ke arah yang lebih baik.

Dalam sejarah Klasik, sebagaimana disebutkan dalam Epos Mahabarata, jasa Rshi Dorna sangat besar dalam membentuk karakter para Kurawa dan Pandawa.

Demikian pula peran Kadewaguruan dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, yang telah melahirkan raja-raja besar seperti Airlangga (Prasasti Pucangan) hingga era Majapahit.

Kadewaguruan di Balambangan

Petilasan di Lemahbang

Masyarakat Jawa klasik mengenal berbagai sarana pendidikan. Pertama, pendidikan keluarga, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Sangguran, di mana pendidikan diajarkan turun temurun dalam sebuah keluarga.

Kedua, Nyantrik atau belajar langsung kepada para ahli (Mpu). Misalnya dalam Pararaton disebutkan bahwa Ken Arok pernah belajar baca-tulis kepada seorang pujangga.

Ketiga, melalui sarana Lembaga Pendidikan baik di dalam lingkungan istana untuk kalangan bangsawan, maupun di luar lingkungan istana yang bisa diakses oleh khalayak umum seperti; Kadewaguruan, Mandala, ataupun Karesian.

Di Balambangan, tempat-tempat pendidikan semacam ini ada banyak. Suluk Balumbung menyebutkan suatu Mandala yang disebut Kandang Lembu di kaki Gunung Lumbu.

Nagarakretagama juga menyebutkan suatu tempat sebagai pusat pendidikan Buddha yakni di Karesian Kajar (Kajarharjo di Glenmore) dan Kasogatan Bharu (Barurejo di Siliragung) di selatan Gunung Raung, dimana Bujangga Manik pernah mengunjunginya.

Bahkan, Desa Lemahbang diduga juga merupakan Pasantrian peninggalan Syaikh Siti Jenar, yakni bentuk Kadewaguruan era Islam di Balambangan yang diasuh oleh Ki Gede Banyuwangi.

Mengenai petilasan di Lemahbang dapat dibaca di sini: https://ajisangkala.id/legenda-syeh-lemah-abang-dan-ki-gede-banyuwangi/

Babad Tanah Jawi (BP) kemudian juga mengisahkan tentang seorang Ajar bernama Salokantara yang menolong keluarga istana Balambangan ketika digempur oleh Sultan Agung Mataram tahun 1639. Tokoh ini tentu adalah bagian dari Kadewaguruan yang selama ini dinaungi oleh negara Balambangan.

Teladan dari Raden Wangsakarya

Gapura Makam Buyut Cungking Banyuwangi

Kemudian muncul tokoh Radén Wangsakarya yang dalam Babad Tawangalun disebut sebagai Guru dari Pangéran Tawangalun dan anak-anaknya. Dalam tradisi lisan, tokoh ini kerap disamakan dengan Buyut Cungking.

Diceritakanlah bahwa Pangeran Kadilangu, guru dari Sunan Mangkurat Agung, menganggap Radén Wangsakarya sebagai saudara tua dari Macanputih. Pangeran Kadilangu yang merasa dahaga lalu meminta keris milik Radén Wangsakarya untuk diminumnya.

Di timangnyanya keris tersebut (seperti kendi) lalu bilah keris itu dimasukkan ke mulutnya dan berubah menjadi air hingga menyisakan gagangnya saja.

Dengan takabur, gagang keris bersama warangkanya dikembalikan pada Radén Wangsakarya.

Kejadian itu telah membuat Radén Wangsakarya merasa dipermalukan di hadapan segenap bupati yang hadir di paseban. Merah padam wajahnya menahan malu dan amarah. Segera dia memohon kepada Sunan Mataram agar diijinkan membalas.

Segera setelah dia mendapatkan izin Sunan Mataram, Radén Wangsakarya berdiri, menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya, seolah memanggil-manggil kerisnya kembali.

Maka keluarlah ganja keris dari dada Pangeran Kadilangu, sementara ujung keris menembus punggungnya. Air di tubuh Kadilangu telah berubah kembali menjadi sebilah keris. Pangeran Kadilangu tewas bersimbah darah.

Seluruh yang hadir terkejut bukan kepalang. Para bupati Mataram berdiri serentak hendak menangkap Radén Wangsakarya. Dengan cepat Radén Wangsakarya bekelebat mencabut keris miliknya dari punggung jasad Kadilangu.

Kemerdekaan Balambangan

Patung Ilustrasi Kangjeng Suhunan Tawangalun di depan Kantor Desa Macanputih

Keberanian Radén Wangsakarya telah memotivasi anak-anak dari Pangeran Tawangalun.

Bersamaan itu mereka berdiri; Pangeran Dipati (Macan Pura), Pangeran Patih Sasranegara, Pangeran Gajah Binarong, dan Pangeran Kartanegara. Semuanya berdiri sambil berucap lantang dengan bahasa Bali;

“Eh mukejang jalmane Mutaram / mai ayu deduken mami / titiyang sing adhok takut / misi pra bupatinya / tiyang mati pisan pisan bapa sampun / ing samengko jenengira / Suhunan ing Macan Putih // Aku tan arsa seba / ing Mataram punang negari / damel punapa raganingsun / séba maring Mataram / bésuk wani saiki apa karepmu /”

(Babad Tawangalun)

Seusai berkata demikian, ketujuh orang panglima Macanputih mengamuk, mencabuti pohon-pohon kelapa dan mematah-matahkannya, bagaikan gajah mengamuk.

Kemudian bubarlah mereka semua orang-orang yang ada di balai paseban. Kanjeng Sunan Mataram pun meninggalkan tempat itu dengan diam-diam.

Pangeran Tawangalun dan Radén Wangsakarya serta empat orang putranya dengan ketujuh orang panglimanya pulang tanpa mohon diri. Setelah tiba di negeri Macanputih, Tawangalun diangkat oleh para pengikut, kerabat, maupun para punggawa, menjadi raja berdaulat penuh bergelar Kangjeng Suhunan Tawangalun Macanputih.

Menurut Samsubur yang telah melakukan perhitungan mundur untuk mencari tanggal kejadian Seba Mataram itu, hasilnya ditemukan tanggal 23 Pebruari 1652.

Penutup

Letak Balambangan di Ujung Timur Jawa

Demikianlah peran seorang guru bagi murid-muridnya. Teladan keberanian yang ditunjukkan oleh Raden Wangsakarya telah memotivasi murid-muridnya untuk bertindak berani.

Keberanian itu menjadi sebab kemerdekaan Balambangan barat yang kemudian bersatu lagi dengan Balambangan timur menjadi sebuah negara yang merdeka penuh.

Untuk itulah kita harus berterimakasih atas peran dan jasa para guru yang telah membentuk karakter dan mengisi akal-budi kita dengan wawasan dan pengetahuan selama ini. Semoga kebaikan dan jasa mereka dibalas dengan berjuta kebaikan oleh Tuhan semesta alam.

Sumber

Artikel ini ditulis dengan rujukan dari: Prasasti Pucangan, Prasasti Sanguran, Nagarakretagama, Pararaton, Naskah Bujangga Manik, Babad Tanah Jawi (BP), Babad Tawangalun, Babad Jaka Tingkir, Serat Centhini, Sorosilah Dalem, Suluk Balumbung, dan buku Babad Raja Balambangan serta YouTube Asisi Channel.

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like