Artikel karya M. Dwi Cahyono ini memiliki judul asli “Ungkapan Makna Toponimi “Semboro”, Tinggalan Arkeologis, dan Babad Sembar Bagi Kesejarahan Balambangan.” dan ditulis untuk diseminarkan di Desa Sidomekar, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember pada hari Minggu, 9 Desember 2018 dalam acara seminar yang berjudul : “Sejarah Benteng Majapahit”.
Untuk kepentingan dimuat pada ajisangkala.id, editor hanya memperbaiki beberapa typo yang ada kemudian membaginya dalam 6 (enam) bagian untuk 6 kali penerbitan, yaitu:
- (1/6) Sejarah Asal-usul Nama Semboro
- (2/6) Jejak Arkeologis Situs Beteng dan Candi Deres
- (3/6) Kandungan Data Historis dalam “Babad Sembar”
- (4/6) Pemerintahan Mas Sembar hingga Menak Lampor
- (5/6) Penyatuan Kerajaan Balambangan-Kedawung di Sembara
- (6/6) Kemungkinan Asal-Usul Nama “Jember”
Pengantar
Dalam bahasa Jawa Baru, kata “Jember” berarti: kotor dan basah, becek. Kata ulang “jejember” berarti: kotoran, dan arti kata jadian “ajemberi“: mengotori (Mangunsuwito, 2013: 310).
Kata “Jember” acap pula dijadikan kata ungkap bagi perasaan, misalnya “jember aku’, yang berarti: rasa marah, jengjel, bosan. Istilah lain yang serupa dan sekaligus bersinonim arti adalah “jembek“.
Unsur kata “ber” dalam “Jember” bisa juga berkenaan dengan air, baik sumber ataupun genangan air.
Apakah nama “Jember” yang kini menjadi sebutan bagi salah satu kabupaten di Daerah Tapal Kuda ini benar mengandung arti yang “kurang mengenakkan” seperti itu? Ataukah artinya berkait dengan air, yang menjadi petunjuk bahwa konon ada areal luas dalam wilayah Jember yang berupa genangan air? Jika memang demikian, dimanakah areal genangan air itu berada?
Sambara menjadi Sambar dan Sembar berganti Jember
Tidak tertutup kemungkinan bahwa nama “Jember” berelasi dengan “Semboro”, yang istilah arkhaisnya adalah “sambar (sambara)” atau “sambhara”.
Kata kuno “sambar” ataupun “sambhar (vokal “a” di penghujung kata lesap)” dekat dengan toponimi “Jember”, dengan catatan terjadi gejala bahasa yang lazim dari bahasa Jawa Kuna/Tengahan ke bahasa Jawa Baru, yaitu penggantian (1) vokal “a” dengan “e”, dan (2) konsonan awal “s” dengan “j”.
Pertukaran “s” dengan “j” antara lain tergambar pada kata “sundul” menjadi “jundul“, kata “sumbul” menjadi ” jumbul“, kata “susul” menjadi “jujul“, kata “sumput” menjadi “jumput“, dsb. Jika benar demikian”, maka proses perubahannya adalah: sambar/sambhar –> sember –> jember.
Apabila topinimi “Jember” berasal dari kata “sambar” atau “sambhar”, yang merupakan topinimi arkhais dari apa yang kini dinamai “Semboro”, maka bisa jadi lokasi awal pusat wilayah Jember berada di daerah Semboro.
Jember Kaya Tinggalan Arkeologis
Daerah ini tak dapat disangkal merupakan daerah bersejarah sejak Masa Hindu-Buddha, bahkan ada indikasi telah menjadi areal permukiman sejak zaman Prasejarah pada Masa Bercocok Tanam (tradisi Neolitik).
Selain itu, Jember juga merupakan daerah subur, lantaran berada di lembah sisi selatan Gunung Argopuro dan memiliki potensi air yang besar
Jejak sejarah maupun arkeologis yang diketemukan di Desa Sidomekar –khususnya di Dusun Beteng dan pada dua desa tetangganya, yang mengarah pada artefak Masa Hindu-Buddha dan awal perkembangan Islam.
Hal ini menjadi petunjuk bahwasanya kesejarahan di Semboro dan sekitarnya berlanjut dari zaman Prasejarah ke Masa Hindu Buddha, utamanya kesejarahannya yang sezaman dengan Akhir Majapahit (XV-XVI Masehi).
Tinggalan arkeologis tersebut dapat direlasikan dengan apa yang tersurat dalam sumber data teadisi (babad) tentang kerajaan Balambangan di periode awal (Balambangan Mula), yaitu pendirian kerajaan Balambangan oleh Mas Semar pada sekitar tahun 1478-1480an.
Jember Yang Subur
Sebagai daerah yang subur, yang pada masa Hindu-Buddha menjadi daerah produsen padi, dan sekaligus aglomerasi pemukiman agraris, hasil pajak dan iuaran wajib dari daerah ini dimanfaatkan untuk menopang kebutuhan bagi kegiatan keagamaan pada bagunan suci (candi) yang ada di sekitarnya.
Tanaman budidaya yang pada mulanya dominan padi-padian, dalam perkembangan berikutnya dibudidayakan pula tananan tebu, untuk dipasokkan ke Pabrik Gula (PG) Semboro, yang dibangun dan dioperasikan sejak tahun 1922.
Barulah pada waktu kemudian Semboro hadir sebagai produsen jeruk yang utama di Jawa. Produksi tananan yang surplus di Semboro dari waktu ke waktu adalah berkat kesuburan tanah dan kerja giat para petaninya.
Pertanian karenanya adalah kekayaan alam yang dijadikan sebagai pilar ekonomi kerajaan Kedawung dan juga Balambangan.
Menjadi Sima/Perdikan
Cukup alasan untuk menyatakan bahwa dalam kurun waktu amat pajang di masa lampau hingga kini Semboro dan sekitarnya telah menjadi daerah produsen pertanian, yang hasilnya bukan hanya untuk dikonsumsi sendiri (domistikasi), namun sebagian dijual serta didermakan (dhana-sambhara atau punya-sambhara).
Lantaran surplus pertanian itu, maka warganya memungkinkan untuk memenuhi iuran wajib (sambar, sambah) bagi pelaksaan upacara religis.
Pada Masa Hindu-Buddha, desa-desa surplus pertanian yang tiak jauh dari bangunan suci ditetapkan sebagai “desa sima (perdikan atau swatantra)” bagi bagunan suci bersangkutan.
Boleh jadi, konon Semboro memperoleh status “desa sima” untuk kepentingan upacara kegamaan. Sayang sekali prasasti yang memberitakan tentang kemungkinan itu masih belum diketemukan.
Peninjauan Ulang terhadap Peranda “Hari Jadi Jember”
Menilik peran dan kontribusi sejarah Semboro dan sekitarnya, serta adanya kemungkinan nama “Jember” bermuasal dari “Sembar (Sembara, Sambara)”, maka patut untuk menjadikan Semboro sebagai “asal-usul daerah Jember”.
Ada baiknya Hari Jadi Jember yang diperingati tiap tanggal 1 Januari, yang latar kesejarahannya “kolonial sentris (zenosentris)”, untuk ditinjau ulang, divalsifikasikan, dan diganti dengan Peranda (Peraturan Daerah) Hari Jadi baru yang lebih “nasional sentris”.
Dalam kaitan itu, kesejarahan Balambangan dan Kedawung di daerah Semboro dan sekitarnya layak diperimbangkan untuk dijadikan muasal daerah Jember.
Hari Jadi yang kini diperingati, mendasarkan pada penetapan Regent (Kaboepaten) Jember. Jika dari penenuan Hari Jadinya demikian, seakan kelahiran Jember dibidani dan ditetapkan legal-formalnya oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Apa Jember tidak punya momentum historis lain yang lebih layak untuk dijadikan penanda Hari Jadinya selain 1 Januari 1929? Tentulah jawab nya adalah, “PUNYA”.
(Tamat 6/6)
Penutup
Demikian tulisan bersahaja ini dibuat, sebagai bahan diskusi dalam seminar “Sejarah Benteng Majapahit” di Desa Sidomekar Kecamatan Semboro Kabupaten Jember pada hari Minggu, 9 Desember 2018.
Unsur kata “Benteng” dijadikan kalimat judul seminar, lantaran desa ini memiliki situs “Beteng Boto Mulyo” yang historis. Nuwun.
Semboro, 8-9 Desember 2018
Patembayan CITRAKEKHA
1 comment