Daftar raja-raja Majapahit di bawah ini adalah lanjutan dari postingan sebelumnya (Bag. 1) dan dapat dibaca pada link berikut ini; https://balambangan.id/majapahit-universe-1-daftar-raja-raja-majapahit-versi-sejarah-bag-1/
Daftar ini disusun oleh Mpu Heri Purwanto berdasarkan sumber Kakawin Nāgarakṛtāgama dan Sĕrat Pararaton, yang telah dikroscek dengan sumber prasasti (jika ada). Untuk angka tahun telah diseragamkan memakai kalender Masehi.
Sang Sinagara (1451 – 1453)
Menurut Pararaton (1613), Śrī Kṛtawijaya digantikan oleh Śrī Rājasawardhana, yang ketika meninggal di tahun 1453 disebut dengan nama Sang Sinagara. Pararaton tidak menyebutkan asal-usul raja ini.
Nama Rājasawardhana dijumpai dalam prasasti Waringinpitu (1448) yang dikeluarkan oleh Śrī Kṛtawijaya. Dalam prasasti itu, namanya disebut sebagai laki-laki pertama sesudah raja. Rājasawardhana ketika itu menjabat sebagai Bhaṭṭāra ring Kahuripan yang memiliki nama asli Dyah Wijayakumāra.
Keterangan ini sesuai dengan berita dalam Pararaton, bahwa Rājasawardhana awalnya adalah Bhre Pamotan yang kemudian menjadi raja di Kĕling dan Kahuripan.
Pada tahun 1513 seorang apoteker Portugis bernama Tomé Pires mengunjungi Jawa dan mencatat kala itu raja bernama Batara Vojyaya yang merupakan cucu Batara Sinagara. Menurut keterangan yang diperoleh Tomé Pires, konon Batara Sinagara menderita sakit jiwa.
Disebutkan bahwa Batara Sinagara adalah anak Batara Matara. Mungkin itu adalah ejaan Portugis untuk Bhaṭāra ing Mataram.
Ketika Nāgarakṛtāgama ditulis, yang menjabat sebagai raja di Mataram adalah Wikramawardhana. Jika dipadukan dengan catatan Tomé Pires, maka Rājasawardhana adalah anak Wikramawardhana. Itu berarti, Rājasawardhana adalah adik Śrī Kṛtawijaya.
Namun, hal ini bertentangan dengan Pararaton yang menyebut Śrī Kṛtawijaya adalah anak bungsu Wikramawardhana (Bhra Hyang Wiśeṣa), sehingga tidak mungkin memiliki adik.
Maka, kemungkinan kedua Tomé Pires salah mendapatkan info, yaitu Batara Sinagara bukan anak Batara Matara, tetapi cucunya. Itu berarti Rājasawardhana bukan adik Śrī Kṛtawijaya, melainkan putranya.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa nama Rājasawardhana di tahun 1448 disebut sebagai laki-laki nomor dua sesudah raja, karena ia adalah putra mahkota yang kelak menggantikan Śrī Kṛtawijaya memimpin Majapahit.
Kemungkinan ketiga, info yang diperoleh Tomé Pires sudah benar, yaitu Sang Sinagara adalah anak Bhre Mataram. Maksudnya ialah, Śrī Kṛtawijaya sebelum menjadi Bhre Tumapĕl lebih dulu pernah menjadi Bhre Mataram menggantikan ibunya.
Telung Taun Tan Hana Prabhu
Pararaton (1613) menyebutkan sesudah Sang Sinagara meninggal di tahun 1453, Kerajaan Majapahit mengalami kekosongan takhta selama tiga tahun.
Bhra Hyang Pūrwawiśeṣa (1456 – 1466)
Menurut Pararaton (1613), pada tahun 1456 Bhre Wĕngkĕr putra Bhre Tumapĕl naik takhta setelah tiga tahun kosong. Raja baru ini bergelar Bhra Hyang Pūrwawiśeṣa yang akhirnya meninggal di tahun 1466.
Jika meninjau prasasti Waringinpitu (1448), saat itu yang menjabat sebagai Bhaṭṭāra ring Wĕngkĕr adalah Girīśawardhana yang memiliki nama asli Dyah Sūryawikrama. Namanya disebut sebagai laki-laki nomor tiga sesudah Śrī Kṛtawijaya dan Rājasawardhana.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sesudah Rājasawardhana meninggal, Girīśawardhana naik takhta untuk mengisi kekosongan yang terjadi selama tiga tahun, di mana ia bergelar Bhra Hyang Pūrwawiśeṣa.
Lalu siapakah Bhre Tumapĕl ayah Bhra Hyang Pūrwawiśeṣa? Menurut Pararaton, ada dua anak Wikramawardhana yang menjadi raja bawahan di Tumapĕl, yaitu Bhre Tumapĕl kakak Suhitā, dan Bhre Tumapĕl Śrī Kṛtawijaya adik Suhitā.
Karena di atas disimpulkan bahwa Rājasawardhana adalah anak Śrī Kṛtawijaya, maka kiranya Bhra Hyang Pūrwawiśeṣa juga dapat disimpulkan sebagai anak Bhre Tumapĕl Śrī Kṛtawijaya.
Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhāwa (1466 – 1478)
Pararaton (1613) menyebutkan setelah Bhra Hyang Pūrwawiśeṣa meninggal, yang menjadi raja adalah Bhre Paṇḍansalas. Setelah dua tahun ia bertakhta, terjadi peristiwa anak-anak Sang Sinagara pergi meninggalkan istana, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kṛtabhumi. Bhre Paṇḍansalas terhitung sebagai paman mereka yang meninggal di istana pada tahun 1478.
Jika Bhre Paṇḍansalas adalah paman anak-anak Sang Sinagara, itu artinya ia adalah adik Rājasawardhana. Dalam prasasti Waringinpitu (1448) dapat dilihat, nama laki-laki yang disebutkan sesudah Śrī Kṛtawijaya, Rājasawardhana, dan Girīśawardhana adalah Singhawikramawardhana yang memiliki nama asli Suraprabhāwa.
Prasasti Trawulan III yang dikeluarkan Śrī Kṛtawijaya juga menyebutkan nama Dyah Suraprabhāwa Śrī Singhawikramawardhana yang saat itu menjabat sebagai Bhaṭāre Tumapĕl. Disebutkan bahwa ia adalah anak bungsu raja yang telah menikah dengan Bhaṭāre Singhapura, yang memiliki nama asli Dyah Śrīpurā alias Śrī Rājasawardhanadewī.
Pararaton menyebutkan istri Bhre Paṇḍansalas adalah Bhre Singapura. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Bhre Paṇḍansalas adik Sang Sinagara adalah sama dengan Bhaṭāre Tumapĕl Dyah Suraprabhāwa alias Singhawikramawardhana.
Setelah menjadi raja Majapahit, Dyah Suraprabhāwa memakai gelar Śrī Giripatiprasūtabhūpati Ketubhūta. Nama ini tercatat dalam prasasti Pamintihan tahun 1473.
Dyah Wijayakusuma dan Dyah Ranawijaya
Pararaton (1613) menyebutkan bahwa Bhre Paṇḍansalas adalah raja terakhir Majapahit yang meninggal di istana pada tahun 1478, dengan sengkalan berbunyi “sunya nora yuganing wong”. Tidak dijelaskan bagaimana nasib Majapahit selanjutnya.
Menurut naskah Sĕrat Kaṇḍa yang berasal dari era Jawa Baru, dikisahkan bahwa Kerajaan Majapahit berakhir di tahun 1478 dengan sengkalan “sirna ilang kĕrtaning bumi”. Dalam naskah itu disebutkan raja terakhir Majapahit yang bernama Prabu Brawijaya dikalahkan oleh anaknya sendiri, bernama Raden Patah adipati Dĕmak.
Akan tetapi, menurut prasasti Pĕṭak (1486) bukan Raden Patah yang mengalahkan Majapahit. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Bhaṭāra Prabhu Girīndrawardhana yang memiliki nama asli Dyah Raṇawijaya, di mana ia menetapkan anugerah dari raja sebelumnya kepada Śrī Brahmārāja Ganggādhara yang telah berjasa membantu Sang Munggwing Jinggan sehingga bisa menang melawan Majapahit.
Kemudian dalam prasasti Jiyu I disebutkan bahwa Girīndrawardhana Dyah Raṇawijaya adalah raja yang berkuasa atas Wilwatiktapura (nama lain Majapahit) – Janggala – Kaḍiri.
Nama raja yang memerintah sebelum Dyah Raṇawijaya ditemukan dalam prasasti Jiyu III yaitu Śrī Mahāraja Bhaṭāre Kling Śrī Girīndrawardhana, yang berjuluk Śrī Singhawardhana, yang memiliki nama asli Dyah Wijayakusuma.
Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Dyah Wijayakusuma telah mempersiapkan anugerah untuk Śrī Brahmārāja Ganggādhara, namun ia keburu meninggal. Maka, Brahmārāja Ganggādhara pun meminta kepada raja yang baru, yaitu Dyah Raṇawijaya untuk meneguhkan anugerah tersebut.
Pada tahun 1513 Tomé Pires dari Portugal mengunjungi Jawa dan mencatat nama raja saat itu adalah Batara Vojyaya atau Batara Vigiaja yang istananya terletak di Dayo. Mungkin itu adalah ejaan Portugis untuk Bhaṭāra Wijaya yang bertakhta di Daha (Kediri).
Dilihat dari kemiripan nama, mungkin Bhaṭāra Wijaya yang dicatat Tomé Pires di tahun 1513 sama dengan Bhaṭāra Prabhu Dyah Raṇawijaya yang mengeluarkan prasasti Pĕṭak dan Jiyu di tahun 1486.
Tomé Pires menyebutkan Batara Vojyaya adalah anak Batara Mataram, sedangkan Batara Mataram adalah anak Batara Sinagara. Mungkin yang dimaksud dengan Batara Mataram adalah Dyah Wijayakusuma yang memerintah sebelum Dyah Raṇawijaya. Jadi, menurut naskah tersebut, Dyah Raṇawijaya adalah cucu Sang Sinagara.
Dalam Pararaton disebutkan, Sang Sinagara memiliki empat anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kṛtabhumi. Mereka berempat meninggalkan istana di tahun 1468 saat paman mereka, yaitu Bhre Paṇḍansalas baru berkuasa dua tahun.
Sumber Referensi :
– Kakawin Nāgarakṛtāgama karya Prapañca yang diterbitkan Ketut Riana (2009).
– Pararaton yang diterbitkan J.L.A. Brandes (1897).
– Tatanegara Majapahit parwa I dan II karya Muhammad Yamin (1962).
– Suma Oriental karya Tomé Pires terjemahan Indonesia (2015).
– Masa Akhir Majapahit karya Hasan Djafar (1978).
– Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa karya H.J. de Graaf (1974).
– Artikel berjudul Pararaton Revisited karya Nia Kurnia Sholihat Irfan (2008). – Kalangwan Sastra Jawa Kuno karya P.J. Zoetmulder (1974).
1 comment