Melihat Masa Lalu Bondowoso dari Desa Alas Sumur

Temuan Di Alas Sumur

BATU bata itu kini kembali menampakkan wujudnya, memberi tahu manusia masa kini bahwa ada dia dimasa lalu. Setelah sekian lama terkubur, abad berganti abad, di sudut suatu desa, ia kini kembali menyapa dunia dengan membawa keindahan kenangan wilwatikta, serta sejuta tanda tanya yang mengiringi kemunculannya.

Adalah desa di lereng barat daya Gunung raung, di sudut wilayah terpencil yang memiliki keindahan alam yang cukup eksotis, desa yang telah dikembangkan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alamnya menjadi desa wisata. Desa itu bernama Alas Sumur.

Desa Alas Sumur merupakan satu dari sebelas desa yang masuk dalam administrasi wilayah kecamatan Pujer kabupaten Bondowoso. Alas Sumur banyak dikenal oleh masyarakat karena keberadaan tempat wisata di desa tersebut yakni wisata taman rekreasi air Rawa Indah atau yang umum dikenal dengan sebutan Almor.

Namun siapa sangka dibalik keindahan alamnya, desa ini juga menyimpan memorabilia kehidupan masa lalu yang masih bisa kita lihat hingga saat ini. Berdasarkan banyaknya informasi temuan benda-benda kekunoan di wilayah ini, sudah cukup memberikan gambaran bahwasannya desa ini kaya akan jejek-jejak kepurbakalaan. Seperti yang tengah viral baru-baru ini mengenai temuan struktur batu bata kuno yang terkubur sedalam 5 meter di dalam tanah.

Abdul Ghani (45) seorang warga dusun Alas Sumur Selatan sudah sejak beberapa waktu belakangan berinisiatif menggali sumur, sembari mengisi waktu luang dikala dia tidak bekerja, lantas sumur itu pun ia gali sedikit demi sedikit, musim kemarau seperti saat ini memang merupakan waktu yang tepat untuk menggali sumur.

Isteri abdul Ghani menyarankan agar ia menggali tepat disamping soko guru ruang tengah rumahnya, hal itu berdasarkan petunjuk dalam mimpinya beberapa waktu lalu. Lantas dipilihlah titik galian tepat disamping kanan rumah abdul ghani yang menghadap selatan.

Pada awal penggalian, struktur tanah yang tedapat pada sumur tersebut berupa tanah padas yang cukup padat, karena memang jenis tanah yang ada di sekitar lingkungan rumah abdul ghani kebanyakan permukaannya berjenis tanah dengan tekstur keras seperti tanah berparas.

Lalu setelah kedalaman sumur mencapai sekitar 4 meter, terjadi perubahan tekstur jenis tanah, kali ini tanah yang dijumpai Andul Ghani adalah tanah dengan tekstur agak kasar dan berwarna abu-abu, yang bercampur dengan batu seukuran kepalan tangan, sepertinya ini merupakan jenis batu dan tanah yang dihasilkan akibat adanya aktivitas vulkanis gunung berapi.

Karena hanya berniat untuk mencari air, Abdul ghani terus menggali, setelah melewati tanah berwarna abu yang bercampur batu yang mirip material vulkanis tersebut, kali ini yang ia temui adalah sesuatu yang agak berbeda, tekstur tanahnya agak padat dan warnanya merah, dan dari sinilah cerita gambaran masa lalu dimulai.

Ternyata ada batu bata di lubang sumur yang digali Abdul ghani. Semakin dalam ia menggali, struktur tatanan batu bata semakin jalas terlihat, abdul ghani heran karena ukuran batu bata yang ia temukan tidak seperti ukuran batu bata pada umumnya.

Struktur batu bata kuno pada galian sumur milik Abdul Ghani

Batu bata tersebut memiliki ukuran masing-masing sebagai berikut:

Panjang : 25 cm
Lebar : 15 cm
Tebal : 7 cm

Bentuk motif goresan pada batu bata tersebut cukup bervariatif, seperti berbentuk setengah lingkaran, ada pula yang melintang dari pojok kiri ke kanan pojok kanan bawah maupun sebaliknya, ada pula yang berbentuk elips serta berbagai macam bentuk lainnya.

Salah satu bentuk motif bata yang berhasil di angkat.

Tidak berhenti sampai disitu, setelah digali lebih rapih lagi mengikuti relung susunan batu bata, ternyata terdapat semacam rongga yang didalamnya terdapat sebuah cawan atau mangkuk yang terbuat dari bahan porselen. Menurut keterangan Abdul ghani, sewaktu ditemukan cawan tersebut berisikan semacam bunga-bunga sesajen yang telah mengering.

Selain itu, dibagian sudut lainnya ditemukan pula pecahan keramik beserta potongan tulang belulang yang sudah agak rapuh. Tentunya rentetan temuan semacam ini menjadi menarik untuk dijadikan sebagai bahan kajian, guna menganalisis dan mendapatkan kesimpulan serta mendapatkan jawaban mengenai ada cerita apa sebenarnya yang ada dibalik temuan ini dimasa lalu.

Perbandingan Dengan di Ledokombo

Berkaca pada temuan ditempat lain di sekitar lereng barat Raung Gunung Raung, situs-situs tersebut berkecendrungan lebih mengarah kepada situs yang dugunakan sebagai tempat pemujaan yang bercorak Hindu Siwa. Misalnya temuan beberapa waktu yang lalu sempat viral di Ledokombo Jember.

Temuan di Ledokombo, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan candi Toh Sapeh merupakan susunan batu bata yang terpendam sedalam kurang lebih 2 meter, hampir mirip dengan yang di Alas Sumur dimana susunan batu bata berada di bawah lapisan tanah yang terbentuk dari adanya aktivitas vulkanik gunung berapi.

Selain itu, di candi Toh Sapeh Ledokombo dahulunya juga terdapat arca Lembu Nandi yang saat ini keberadaannya sudah hilang. Nandi merupakan wahana Dewa Siwa sehingga kuat kemungkinan bahwa dahulunya situs candi Toh Sapeh di Ledokombo merupakan situs tempat pemujaan/candi bercorak Hindu aliran Siwa.

Perbandingan Dengan di Pocangsari

Demikian pula hal nya yang terdapat di situs Pocangsari desa Pocangan Sukowono-Jember, Pocangan terletak sekitar 4 Km arah selatan desa alas Sumur. Disana terdapat 2 buah Yoni tanpa Lingga yang terletak di tengah Areal persawahan warga, ditemukan pula beberapa pecahan batu bata kuno serta sepasang arca yang kini telah hilang.

Kuat kemungkinan situs Pocangsari tersebut dahulunya merupakan tempat pemujaan dewa Siwa dengan pasangannya yaitu Dewi Parwati, mengingat Lingga-Yoni merupakan lambang perwujudan an-iconic dewa Siwa dan dewi Parwati yang dimanifestasikan sebagai perlambang kesuburan.

Melihat kecendrungan kedua situs diatas, kiranya patut diduga jika dahulunya lereng barat raung merupakan wilayah basis pemuja Dewa Siwa, sehingga besar kemungkinan struktur bangunan yang terpendam di desa Alas Sumur juga merupakan tempat pemujaan bercorak Hindu Siwa.

Selain itu, dugaan bahwa situs tersebut adalah tempat pemujaan diperkuat oleh adanya temuan cawan yang berisi bunga-bunga sesajen, serta potongan tulang belulang yang kemungkinan besar itu semua merupakan media manusia pada waktu itu didalam melakukan ritual sebagai bentuk persembahan terhadap Dewa yang di pujanya.

Atas dasar itulah, penulis untuk sementara menyimpulkan bahwa temuan benda-benda kuno di lubang galian sumur milik Abdul Ghani tersebut dahulunya merupakan tempat pemujaan dewa siwa, lalu terkubur oleh adanya muntahan material vulkanis gunung Raung seperti kebanyakan temuan situs lainnya di lereng barat Raung.

Tanah dan batuan vulkanis yang menutupi struktur batu bata kuno Alas Sumur.

Namun tentunya hal ini masih merupakan dugaan semata, semoga kedepan ada penelitian lebih lanjut dari para pakar dan tim ahli arkeologi terhadap situs ini, sehingga dapat memberikan Hipotesa yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Perjalanan Hayam Wuruk 1359

Lalu bagaimanakah dengan perkiraan waktu eksistensi dari situs alas sumur ini?, penggunaan batu bata sebagai bahan utama konstruksi bangunan banyak digunakan semenjak era kemaharajaan Majapahit pada abad 12 -13 masehi.

Hal ini dapat dibuktikan sebagian besar bangunan monumental era majapahit seperti candi brahu, gapura bajang ratu, candi tikus yang berada di ibukota Majapahit Trowulan telah menggunakan batu bata merah sebagai bahan baku utama konstruksinya.

Bahkan, menurut keterangan sekretaris Laksamana cheng ho bernama Ma Huan dalam bukunya Ying Yai Sheng Lan, ketika ia mengunjungi ibukota Majapahit tahun 1416 memberikan keterangan jika istana Majapahit dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 3 chang atau sekitar kurang lebih 3,5 meter.

Demikian pula pada tinggalan bangunan era majapahit di luar daerah kutaraja Trowulan, semisal candi Jabung di Probolinggo, candi deres di Jember, candi Ngetos di Nganjuk, candi Tawang Alun di Sidoarjo dan masih banyak candi lainnya yang berbahan batu bata yang di buat pada era Kemaharajaan Majapahit.

Selain itu, agama yang berkembang pada masa Majapahit ialah agama Siwa dan Bodha, dan bahkan ada pejabat tinggi kerajaan yang dikhususkan mengurusi dan menjalankan fungsi yuridiksi kedua agama tersebut, yakni Dharmadyaksa ring Kasaiwan untuk agama Siwa, Dharmadyaksa ring Kasogatan untuk agama Budha, serta Mantri her haji untuk Karesian.

Sehingga berdasar kedua petunjuk tersebut, dimana temuan di lereng barat Raung kebanyakan berbahan material berupa batu bata merah sebagai bahan konstruksi bangunannya, serta benda ataupun artefak yang ditemukan mencirikan tempat pemujaan dewa siwa yang banyak dianut oleh masyarakat Majapahit, maka penulis menyimpulkan bahwa peninggalan kekunoan di Alas Sumur ini merupakan benda-benda peningglan klasik jaman kerajaan Majapahit.

Hal ini juga diperkuat oleh adanya lawatan raja Majapahit Sri Rajasanegara Dyah Hayam Wuruk pada tahun 1359 ke berbagai wilayah di jawa timur, termasuk sekitar lereng barat raung di wilayah Jember dan Bondowoso sekarang, seperti yang diwartakan Mpu Prapanca dalam karya sastranya yang fenomenal yakni kakawin Nagarakertagama.

Pada pupuh XXIII kakawin Negarakertagama disebutkan rombongan selepas dari Renes (Wirowongso-Ajung Jember) berjalan melewati Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang, terlintas Jati Gumelar, Silobango, ke utara ke Dewa Rame dan Dukun.

Lalu berangkat lagi ke Pakembangan, disitu bermalam; lalu keesokan harinya berangkat hingga sampai di hujung Lurah daya yang dituruni sampai Jurang.
Hal yang menarik disini adalah ketika rombongan raja melintas sekitar Jember Timur dan bondowoso selatan yang masih berada di sekitar lereng barat Gunung Raung, hampir semua nama-nama desa yang disebutkan dalam perjalanan raja itu saat ini sudah tidak ditemukan lagi alias berubah total.

Berbeda halnya ketika rombongan raja melintas ditempat lainnya, hampir sebagian besar nama nama desa yang dilalui masih bisa dijumpai sampai sekarang dan tidak mengalami perubahan yang terlalu signifikan, lantas apa sebenarnya yang terjadi di lereng barat raung??

Penulis menduga erupsi dahsyat gunung raung yang menyebabkan fenomena ini terjadi, bisa kita lihat berbagai temuan kekunoan di lereng barat raung yang kebanyakan terkubur material vulkanis termasuk dalam hal ini temuan di desa Alas Sumur.

Erupsi tersebut menyapu sebagian besar pemukiman dan memusnahkan peradaban disekitar lereng barat Raug, hingga akhirnya wilayah ini lambat laun menjadi hutan kembali, dan baru dihuni kembali semenjak kedatangan para migran dari Madura pada sekitar abad 19 yang didatangkan oleh pemerintah kolonial untuk membuka lahan di tempat ini.

Akibatnya, nama nama desa kuno itu menjadi hilang mengiringi musnahnya peradaban penghuninya, dan berganti menjadi nama-nama desa baru seperti saat ini mengukiti pemerian toponimi desa dari para penghuni barunya. Sehingga nama-nama desa Kuno di lereng barat Raung yang disebutkan dalam kakawin Negarakertama itu menjadi sulit diidentifikasi saat ini karema hampir keseluruhannya berubah total.

Penulis mencoba sedikit menafsirkan dari keterangan dalam kakawin negarakertagama tersebut, wilayah yang disebut sebagai Secang kemungkinan adalah desa Pocangan kecamatan sukowono-Jember sekarang, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya jika di desa pocangan ada situs Pocangsari, letaknya cukup dekat dengan desa Alas Sumur yang mungkin kedua wilayah ini dahulunya masih saling berkaitan.

Kemudian rombongan melintas Jati Gumelar dan menuju silobango, penulis menafsirkan jika Silobango sekarang adalah dusun Silowogo di desa Kemirian kecamatan Tamanan Bondowoso. Dusun silowogo terlatak disebalah barat dari desa Pocangan. Lalu rombongan dikatakan berbelok ke utara menju Dewa Rame.

Disebalah utara Silowogo saat ini merupakan wilayah kecamatan Grujugan, diwilayah ini banyak ditemukan benda-benda tinggalan zaman megalithikum seperti salah satunya yang berada di desa Pekauman.

Maka sangat dimungkinkan jika yang dimaksud wilayah Dewa Rame dalam kakawin Negarakertagama tersebut saat ini adalah wilayah sekitar kecamatan Grujugan, dimana disana terdapat banyak peninggalan meghalitik yang dijadikan sebagai media peribadatan untuk memuja sesemabahannya, maka pada masa majapahit wilayah ini disebut sebagai wilayah Dewa Rame, yakni wilayah yang banyak terdapat sesembahannya.

Lalu rombongan raja menuju desa Dukun dan bermalam di Pakembangan. Pakembangan sendiri kemungkinan besar sekarang adalah kelurahan Kembang kecamatan Kota Bondowoso.

Dari sini, bisa kita simpulkan bahwasannya diwilayah lereng barat raung yang saat ini termasuk dalam wilayah jember timur dan bondowoso selatan dijaman majapahit telah terdapat banyak pemukiman penduduk yang tentunya para penduduknya banyak menghasilkan kebudayaan yang sebagian tinggalannya bisa kita temukan saat ini.

Sekaligus hal ini menjadi dasar yang semakin dapat menguatkan hipotesis bahwasannya penemuan benda purbakala pada galian lubang sumur milik Abdul Ghani yang terletak di dusun Alas Sumur Selatan, desa Alas Sumur kecamatan Pujer-Bondowoso itu merupakan benda tinggalan jaman kerajaan Majapahit.

Demikianlah penulis mencoba menguraikan, semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan pencerahan, tentunya apa yang ada dalam tulisan ini sifatnya hanya sebatas tafsir dan masih perlu banyak perbaikan, termasuk saran dan kritik. Penulis hanya menginformasikan, sedangkan anda lah yang memutuskan.

Salam sejarah.

Shindu Brama.

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like