By. Aji Ramawidi
Pengantar Perkenalan
Kerajaan Balambangan adalah bekas salah satu Kadipaten milik Kerajaan Majapahit. Setelah kerajaan itu sirna, maka Balambangan menjadi Kerajaan merdeka, kira-kira sejak tahun 1478/1479.
Mpu Prapanca tahun 1359 menulis nama daerah ini sebagai Kadipaten Balumbungan, Bujangga Manik pada abad 15 menulisnya Balungbungan, sedangkan Tome Pires abad 16 menulisnya Negeri Bulambuam.
Sebenarnya masih ada satu sumber lagi yang biasanya oleh para penulis sejarah dikaitkan dengan Balambangan, yakni Prasasti dari tembaga, tanpa tahun, yang diperkirakan adalah peninggalan Prabu Jayanegara (sekitar tahun 1316) menyebutnya Malambangan.
Berstatus tahun setelah kerajaan ini runtuh, para penulis sejarah kemudian membuat karya dengan mengikuti pola nama-nama di atas.
Namun saat ini masyarakat menyebutnya dengan nama Balambangan atau yang kemudian berubah menjadi Blambangan (dalam bahasa Indonesia dan Jawa) atau Belambangan (dalam bahasa lokal/Using).
Jika dilihat dari Prasasti Jayanegara maka awalnya daerah ini adalah sekumpulan Desa-desa (Watek) yang karena jasa penduduknya terhadap kerajaan, kemudian dianugerahi status Simha/Perdikan.
Kemudian menurut Babad Dalem dan Suluk Balumbung, pada masa Prabhu Hayam Wuruk tahun 1352, Watek ini naik status lagi menjadi sebuah Kadipaten setelah Sang Raja mengangkat Sri Bima Chili Kepakisan sebagai adipati pertamanya.
Menjadi Kerajaan Merdeka
Pararaton dan Prasasti Pethak mengabarkan bahwa setelah pemberontakan Sang Muggwing Jinggan dari daerah Kediri tahun 1478, Kerajaan Majapahit runtuh sehingga banyak wilayahnya yang memilih merdeka.
Para Adipati daerah itu tidak mau mengakui kekuasaan para pemberontak yang kini mendirikan Kerajaan Keling di Kediri, termasuk diantara yang memilih merdeka ini adalah Demak, Bali, Surabaya, dan Balambangan.
J.W. De Stoppelaar mengatakan bahwa; “Penguasa dari Balambangan berstatus Raja” hal ini menegaskan kalau Balambangan telah merdeka.
Sementara itu dalam Babad Sembar disebutkan bahwa Kerajaan Balambangan merdeka ini didirikan oleh Mas Sembar dengan ibukota awal diperkirakan berada di Sembara (kini Semboro Jember) yang dulunya merupakan Kadipaten Sadeng atau Puger.
Wilayah Kerajaan Balambangan pada masa pemerintahan cucu Menak Sembar yang bernama Menak Pentor atau Pate Pimtor, sebagaimana dijelaskan oleh Tome Pires, mencakup Cantjam (Keniten), Pajarakan, Panarukan, dan Chande (Sadeng, Puger di Jember).
Setelah Demak dan Pajang runtuh, dari empat belas negeri di Jawa, menurut Rycklof van Goen, hanya ada dua wilayah yang bukan milik Mataram yakni Banten di ujung barat dan Balambangan di ujung timur.
Tome Pires juga menulis bahwa Balambangan memiliki banyak penduduk yang suka berperang. Sedangkan C. Lekkerkerker menyebutkan ciri fisik dan karakter penduduk Balambangan yakni berkulit putih, bersifat sederhana, dan sangat menaati rajanya. Mereka memiliki harga diri tinggi, jujur, kokoh pendirian, tidak mau menjadi budak.
Para Penguasa Balambangan
Para penguasa Balambangan dapat dibedakan dalam dua kategori tingkatan. Dalam Buku Suluh Blambangan, Aji Ramawidi telah merangkumnya dari berbagai sumber;
- Pertama Kadipaten Blambangan (Balumbung)-nya Majapahit yang memiliki lima orang Adipati, yakni; (1) Sri Bima Chili Kepakisan, (2) Sri Aji Dharmasora Kepakisan, (3) Menak Dadali Putih, (4) Menak Sembuyu, (5) Menak Sopal/Siung Laut.
- Setelah itu Balambangan menjadi sebuah kerajaan merdeka dengan lima belas orang raja sebagai berikut;
- (1) Mas Sembar, (2) Bima Koncar, (3) Menak Pentor/Pate Pimtor, (4) Menak Pangseng, (5) Menak Pati/Dalem Sri Juru, (6) Menak Lumpat/Rebut Payung, (7) Menak Seruyu, (8) Menak Kembar atau pemerintahan bersama; Mas Tawangalun dan Mas Wilabrata.
- Selanjutnya kekuasaan Prabu Wilabrata sendiri, (10) Pangeran Macanputih/Susuhunan Prabu Tawangalun II, (11) Pangeran Senapati/Mas Sasranegara, (12 & 13) Pangeran Macanagara dan Pangeran Mas Macanpura, (14) Pangeran Danureja/Mas Purba, (15) Pangeran Jingga Danuningrat/Mas Sepuh, dan (16) Pangeran Agung Wilis yang ditaklukkan VOC.
Sri Margana menyebutkan bahwa penguasa terakhir kerajaan Balambangan, Pangeran Agung Wilis, menentang ekspansi VOC Belanda pada tahun 1767-1768. Ini yang kemudian menjadi pemicu perlawanan Balambangan sepanjang tahun 1767-1777, yang juga meliputi peperangan terbesar di Bayu dipimpin Rempeg Jagapati dan Sayuwiwit.
Bahkan menurut VOC, sebagaimana dikutip De Jonge, perang ini menelan biaya setara 8 ton emas. Dan akhirnya menurut Aji Ramawidi peperangan selama 10 tahun tersebut berakhir dengan kekalahan pihak Balambangan di Puger yang dipimpin oleh Dalem Puger Mas Surawijaya, putra Pangeran Agung Wilis.
Balambangan di tangan VOC
Menurut De Jonge, sebenarnya sejak 1767 VOC telah memecah kerajaaan ini menjadi Keraton Kanoman Balambangan Barat dengan ibukota di Panarukan dan Keraton Kasepuhan Balambangan Timur dengan ibukota di Lopampang.
Kini bagian barat itu menjadi tiga kabupaten; (1) Situbondo, (2) Bondowoso, dan (3) Jember, sedangkan bagian timur tetap menjadi satu yakni kabupaten Banyuwangi.
Mobilisasi penduduk ke Balambangan Barat akhirnya menyebabkan tersisihnya sisa-sisa penduduk asli sehingga di sebelah barat ini semakin luntur identitas ke-Balambangan-annya, karena itu yang masih melekat identitas Balambangan-nya saat ini terkesan hanya tinggal Kabupaten Banyuwangi saja.
Bahan Bacaan:
- Negarakertagama dan Pararton
- Tome Pires, Suma Oriental
- C. Lekkerkerker, De Indische Gids
- J.W. de Stoppelaar, Blambangan Adatrecht
- Prasasti Jayanegara, Prasasti Jiyu, Prasasti Pethak
- Babad Dalem dan Babad Sembar
- Aji Ramawidi, Suluh Blambangan
- Sri Margana, Perebutan Hegemoni Blambangan
- De Jonge, De Opkomst
- Samsubur, Sejarah Kerajaan Blambangan
- Winarsih, Babad Blambangan
- Dll.
*) Ditulis atas permintaan Dewan Kesenian Blambangan (DKB) untuk acara Banyuwangi Etno Carnival (BEC) 2019.