Pemerintahan Mas Sembar hingga Menak Lampor (4/6)

Artikel karya M. Dwi Cahyono ini memiliki judul asli “Ungkapan Makna Toponimi “Semboro”, Tinggalan Arkeologis, dan Babad Sembar Bagi Kesejarahan Balambangan.” dan ditulis untuk diseminarkan di Desa Sidomekar, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember pada hari Minggu, 9 Desember 2018 dalam acara seminar yang berjudul : “Sejarah Benteng Majapahit”.

Untuk kepentingan dimuat pada ajisangkala.id, editor hanya memperbaiki beberapa typo yang ada kemudian membaginya dalam 6 (enam) bagian untuk 6 kali penerbitan, yaitu:

  1. (1/6) Sejarah Asal-usul Nama Semboro
  2. (2/6) Jejak Arkeologis Situs Beteng dan Candi Deres
  3. (3/6) Kandungan Data Historis dalam “Babad Sembar”
  4. (4/6) Pemerintahan Mas Sembar hingga Menak Lampor
  5. (5/6) Penyatuan Kerajaan Balambangan-Kedawung di Sembara
  6. (6/6) Kemungkinan Asal-Usul Nama “Jember”

Pengantar

Ada kemungkinan pada masa pemerintahan putra bungsu Mas Sembar, yang menurut “Babad Sembar” (bait ke-4) bernama Bima Koncar (sumber data lain menyebut “Minak Koncar”), kadatwan Balambangan direlokasi ke Lamajang.

Era Pemerintahan Mas Sembar hingga Menak Lampor

Dalam sumber sejarah tradisional, Menak Koncar disebut berkedudukan di Lumajang, meski sesungguhnya kata “Koncar” lebih dekat (serupa) dengan “Muncar” di Banyuwangi, yakni “ka+uncar = koncar”, yang dekat dengan “ma+uncar (muncar)”. Keduanya sama-sama berkata dasar (lingga) “uncar”.

Boleh jadi, pada mulanya Bima Koncar merelokasi kadatwan Balambangan ke timur, yaitu di Uncar (kini “Muncar”). Oleh karena suatu sebab, lantas direlokasikan lagi ke barat, yakni di Lamajang.

Apabila benar terjadi relokasi, entah ke Muncar atau ke Lumajang, ada kemukinan semenjak itu di Sembara hanya ditempati oleh saudara Bima Koncar, yaitu Gede Punir Cinde Amoh atau mungkin Bimanabrang Wijaya sebagai penguasa vasal (nagari, kerjaan bawahan) dari Balambangan.

Demikian pula, tatkala Balambangan diperintah oleh putra sulung dari Bima Koncar, yakni Menak Pentor”, kadatwan Balambangan bisa jadi masih di Lamajang dan Sambara hanya sebagai vasalnya.

Ketika masa perintahan Menak Pentor inilah Kerajaan Balambangan tengah mencapai “Masa Keemasan (Golden Periode)”.

Menak Pentor dalam Suma Oriental

Menurut catatan Tome Pires dalam “The Suma Orental” (1528 Masehi), Balambangan di era pemerintahan “Pate Pintor (translit dalam bahasa Portugis untuk “Menak Pentor” dalam sebutan “Babad Sembar”) berhasil merebut Gamda.

SO. Robson menyatakan sebagai penulisan yang salah atas “Garuda”, dilokasikan di daerah Pasuruan sekarang (bisa jadi antara Rembang-Bangil), Pajarakan, hingga Panarukan di Pantura Jawa, yang dikuasainya kisaran ahun 1505-1513 Masehi.

Selain itu, Balambangan juga berkuasa di Prabalingga, Canjtam (?) dan tentu Lamajang sendiri.

Kekuasaan Balambangan juga mecakup Prasada (mungkin sama dengan Depresada yang tertera pada peta Kompeni tahun 1600-an, dekat Baluran) dan daerah Babadan (?), yang dikuasakan buat adiknya, yaitu Menak Gadru.

Selain itu, kekuasaan Balambangan juga meliputi Candi Bang, yang diperintah oleh adiknya yang lain, yaitu Menak Cucu.

Tergambar bahwa kala itu ada sejumlah daerah-daerah di Pantura Jawa yang berhasil dikuasai Balambangan.

Masa Keemasan Kerajaan Balambangan

Tahun 1505-1513 Masehi adalah suatu kurun waktu manakala Balambangan di bawah pemerintahan Menak Pentor (Pate Pintor).

Kala itu daerah Gamda, Pajarakan hingga Panarukan berhasil ditempatkan dalam naungan Balambangan. Atas dasar kurun waktu ini, dapat di diprakirakan masa pemerintahan Mas Sembar.

Antara Mas Sembar dan Menak Pentor berjarak dua generasi. Tentulah masa pemerintahannya terjadi setelah tahun 1478, mengingat ayahnya (Lembu Miruda) mengungsi ke timur setelah “rusake Majalengka (Majapahit)” pada sekitar tahun 1478.

Pada sisi lain, pastilah masa pemerintahan Mas Sembar sebelum tahun 1505-1513 –kurun waktu ini adalah masa pemerintan Menak Pentor. Berarti, musti dicari antara tahun 1478 dengan 1505-1513.

Dengan prakiraan rata-rata satu generasi pemerintahan antara 15-30 tahun, berarti era pemerintahan Mas Sembar di Sambara adalah sekitar tahun 1480-1490an Masehi, yang sezaman dengan masa permulaan dinasti Girindrawarddhna di Majapahit-Keling.

Menghadapi Demak

Raja Balambangan pengganti Menak Pentor adalah Menak Pengseng, yang boleh jadi kala itu kadatwan Balambangan masih di Lamajang.

Putra sulungnya, yang sekeligus putra mahkota, bernama Menak Pati –dalam certa Bali disebut “Sri Juru”, yang (dalam legenda Bali) ditewaskan oleh Dalem Watu Renggong di Kerajaan Gelgel.

Kesempatan adanya “vakum suksesi” pada pemerintahan pusat Balambangan di Lamajang dimanfaatkan oleh anak Menak Gadru bernama Menak Lampor untuk mengambil alih tahta pada Pemerintahan pusat Balambangan di Lamajang.

Hal ini dipicu oleh adanya ekspansi Demak di bawah pemerintahan Sultan Tranggono untuk mengusai daerah-daerah Pantura Jawa pada Daerah Tapal Kuda.

Pada tahun 1531 Panarukan jatuh dalam serangan Demak. Ada kemungkinan, pengambilalihan kekuasaan pada pemerintahan pusat di Lamajang oleh Menak Lampor itu berlangsung pada sekitar tahun 1531.

Demikianlah, semenjak itu pemerintahan pusat Balambangan di Lamajang beralih dari garis keturunan Menak Pentor ke keturunan Menak Gadru.

Nantinya, tahta dioperkan oleh Menak Lampor kepada putranya, yaitu Menak Lumpat (disebut juga dengan “Pangeran Singasari”).

(Bersambung ke Bagian 5 : Penyatuan Kerajaan Balambangan-Kedawung di Sembara)

0 Shares:
4 comments
  1. Om Swastyastu, Assalamualaikum, Namo Budha ya, Salam Sejahtera, Salam Kebajikan, Salam Rahayu, Salam saya Treh Shri Nararya Mas Willis dari Bali. Pertanyaan saya apakah Lembu Miruda masih punya kaitan dengan Prabhu Shri Aji Bhima Chili Kepakisan Adipati yang diutus Maharaja Majapahit di Blambangan? Terimakasih.

    1. Lebih tua Sri Bima Chili Kepakisan. Beliau tahun 1352 M, sementara Lembu Mirudha 1478 M.
      (1) Sri Bima Chili berputra (2) Aji Dharmasora berputra (3) Menak Dadali Putih/Menak Sembuyu berputra (4) Menak Sopal berputri Dewi Sedhah Merah. Sang Dewi menikah dengan Mas Sembar putra Lembu Miruda.
      Bisa dikatakan, Lembu Miruda sezaman dengan cicit Sri Bima Chili. Lebih tua Sri Bima Chili.
      Rahayu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like