Arya Bunut
Sebagaimana diketahui bahwa sejarah Kabupaten Banyuwangi (dimana desa Purwoharjo ini berada), tidak akan pernah bisa dilepaskan dari Sejarah Kerajaan Balambangan.
Dengan demikian wajar jika buku Sejarah Desa ini akan kami awali dengan satu bab khusus yang membahas Sejarah Kerajaan Balambangan.
Dalam sejarahnya, Balambangan pernah mencapai tiga kali zaman keemasan, dan yang terakhir itu adalah ketika di bawah pimpinan Kangjeng Suhunan Prabu Tawangalun (1649-1691).
Saat itu terdapat seorang Senapati Andulanduling Negara salah satu dari Saptamanggala bernama Arya Bunut. Makam/Petilasan-nya berada di dusun Krajan Purwoharjo dan masih lestari hingga saat ini, menjadi bukti nyata bahwa pada pertengahan abad-17, daerah ini sudah dihuni dan sudah memiliki peradaban.
Selain itu, ketika Balambangan kemudian dibumihanguskan oleh penjajahan VOC-Belanda antara tahun 1767-1768 dan 1771-1773, maka banyak desa yang lenyap.
Desa Bunut adalah salah satunya. Penduduk yang tersisa mengungsi sehingga daerah ini kembali kosong menjadi hutan belantara yang disebut Alas Pekotekan dan Alas Djoedang.
Marto Sentono
Sejak tahun 1774, Pemerintah Batavia berusaha mengisi Bumi Balambangan yang sepi penduduk pasca-Perang Bayu dengan mendatangkan penduduk dari daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat seperti Madiun, Ponorogo, Kediri, Blitar, dan sekitarnya.
Salah satu dari warga itu bernama Marto Sentono asal Blitar. Pendatang ini pada tahun 1890 ditunjuk sebagai Kepala Kampung di selatan desa Kradenan di usia yang sangat belia (diperkirakan berusia 20an tahun).
Dari sana Sejarah Desa Purwoharjo modern dimulai, dari yang semua merupakan bagian dari rimba raya Alas Purwo, lambat laun menjadi semakin raharja dan dikenal sebagai Purwoharjo.
Kami sangat menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, tetapi sebagai langkah awal, kami berharap dapat memberikan kontribusi dan manfaat untuk masyarakat luas, dan sebagai kontribusi untuk sejarah Banyuwangi khususnya Desa Purwoharjo.