PEMBUKA
Sebuah cerita rakyat (tutur) dari Bali memberi gambaran kepada kita mengenai adanya nama seorang raja Bali yang konon pernah berkuasa atas wilayah yang sangat luas.
Dari Gowa di Sulawesi Selatan hingga ke Pasuruan di Jawa Timur, dimana Balambangan termasuk di dalamnya.
Perhatikan kutipan Cerita Rakyat Bali berikut ini;
“Dalem Waturenggong menggantikan kedudukan ayahnya di Bali, mengemudikan sebuah kerajaan besar, yang wilayah kekuasaannya meliputi dari barat Puger, Pasuruhan, Belambangan (Balambangan), hampir seluruh Jawa Timur dan sebelah timur yaitu Sasak, Sumbawa, Gurun, dan Gowa.”
Cerita Tutur Bali
Menurut Penulis, cerita jaman kejayaan Dalem Watu Renggong ini harus dikritisi. Apa lagi, sumber-sumber Bali juga sering membesar-besarkan wilayah jangkauan kekuasaan mereka itu.
SOSOK DALEM WATU RENGGONG
Mengutip Babad Dalem karya Tjokorda Raka Putra, Adipati Bali keempat ini bernama Dalem Watu Renggong.
Dia berkuasa sebagai adipati antara tahun 1459-1478 dan sesudah itu memimpin Bali sebagai serang raja antara tahun 1478-1550. Dengan demikian, dia berkuasa selama lebih dari seratus tahun.
Mengingat Dalem Watu Renggong adalah putra sulung dari Dalem Smara Kepakisan alias Dewa Ketut Ngulesir, adipati Bali ketiga yang hidup di jaman Majapahit akhir, maka ketika menjadi raja tidak mungkin dia masih balita.
Sebagai anak sulung, tentu usianya saat itu sudah sangat dewasa.
Masih bisa dimaklumi jika manusia di masa itu usianya cukup panjang, namun tetap tidak wajar jika berkuasa terlalu lama.
Bayangkan jika dia menjabat sejak balita saja berarti sudah lebih dari seratus tahun sebagai adipati dan raja. Tidak tanggung-tanggung, konon dia hidup dari jaman Majapahit akhir hingga Mataram awal.
Apapun itu, menurut Adrian Vickers dalam Bali, a Paradise Created, Dalem Watu Renggong dalam historiografi Bali mewakili visi epik kerajaan dan berfungsi sebagai model untuk penguasa berikutnya di pulau itu.
VERSI BABAD DALEM
Cerita jaman kejayaan Dalem Watu Renggong itu memang harus dikritisi. Apa lagi, sumber-sumber Bali juga sering membesar-besarkan wilayah jangkauan kekuasaan mereka.
Perhatikan pula keterangan dari Babad Dalem;
“Bali menguasai Nusa Penida, Sumbawa, Brangbangan (Balambangan), Puger, Pasuruhan (Pasuruan).”
Babad Dalem
“…Blambangan di bawah naungan Kerajaan Bali. Disebutkan pula kemudian daerah lain sebagai kekuasaan Kerajaan Bali, adalah Kerajaan Bone, Madura, dan Pasuruan… Setelah kejatuhan dominasi Kerajaan Majapahit di Nusantara, maka Kerajaan Bali di bawah raja Ida Dalem Waturenggong terlepas dari pengaruh Jawa dan menuju puncak kejayaannya…”
Umumnya kekuasaan Dalem Watu Renggong atas Balambangan disebutkan sejak tahun 1512.
Dalam Cerita Sejarah Bali Selatan yang dikutip oleh H.J. De Graaf disebutkan bahwa Raja (Batu Renggong) itu telah memerangi raja Blambangan yang menggunakan gelar Juru.
Sang Juru ini konon gugur dalam perang tanding melawan seorang perwira pasukan Bali. Itu sebenarnya tidak dimaksudkan raja Gelgel, karena dia dan Sang Juru masih mempunyai hubungan keluarga.
Berita di atas umumnya disusun pada abad 18 atau sesudahnya. Jadi, sudah sangat jauh dari kejadian sesungguhnya di tahun 1512.
Bandingkan dengan Suma Oriental yang ditulis tahun 1513 dan menceritakan keadaan di Balambangan saat itu juga.
VERSI SUMA ORIENTAL
Penulis meragukan adanya serangan Gelgel-Bali pada masa Bali dipimpin oleh Dalem Watu Renggong yang katanya terjadi sekitar tahun 1512.
Hal ini karena saat itu Balambangan justru sedang menapaki puncak kejayaannya yang pertama di bawah pimpinan Menak Pentor.
Sebuah sumber primer karya Tome Pires yang berjudul Suma Oriental seolah membantah klaim cerita rakyat tersebut.
Perhatikan kutipan Suma Oriental berikut ini;
“Raja Bulambuam saat itu adalah Pate Pimtor, seorang raja besar, ksatria yang ditakuti dan sangat dihormati di Jawa. Penguasa Bulambuam ini amat dimuliakan karena dia menguasai Negeri Cantjam (Keniten/Pasuruan), Pajarakan (di Probolinggo), Panarukan (di Situbondo), dan Chande/Chandy (Sadeng di Puger).”
Suma Oriental
“…pate-pate dari ketiga wilayah ini dibunuh dan wilayah mereka direbut oleh tuan Negeri Bulambuam (yakni Pate Pimtor). Akibatnya ketiga tempat ini kini tidak lagi memiliki pate mereka sendiri, melainkan berada di bawah kekuasaan Bulambuam.”
Jadi, menurut keterangan otentik ini, justru Ujung Timur Jawa saat itu sedang menapaki kejayaannya di bawah raja Balambangan, Pate Pimtor. Nama ini dalam Babad Sembar dikenal dengan Menak Pentor, raja ketiga Balambangan.
Dalam buku Suluh Blambangan, Menak Pentor disebut berkuasa antara tahun 1500-1531. Sezaman dengan kekuasaan Sultan Trenggana di Demak (1508-1546).
Maka menjadi hal yang tidak masuk akal jika cerita rakyat Bali menyebutkan bahwa konon Dalem Watu Renggong menguasai Jawa Timur sampai Pasuruan karena di saat yang sama daerah-daerah itu sedang di bawah kekuasaan Balambangan.
Sementara itu De Graaf dalam Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa menjelaskan bahwa ada suatu yang aneh dalam uraian menarik tentang Blambangan dalam Suma Oriental, yakni tidak adanya pemberitaan macam apapun mengenai hubungan antara kerajaan-kerajaan Jawa Timur dan kerajaan Bali.
VERSI J.J. MEINSMA
Selanjutnya, penulis mengajak pambaca untuk membandingkan dengan keterangan menarik dari J.J. Meinsma yang justru membalik keterangan-keterangan dari Bali itu.
Sebagaimana dikutip oleh Ng. Kertapradja dalam Serat Babad Tanah Jawi, Meinsma mengatakan, kalau pada masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya (1549-1582) di Pajang, saat itu Kerajaan Balambangan sedang menguasai Panarukan, dan bahkan juga membawahi Bali dan Sumbawa.
Perhatikan kutipan berikut ini;
“Nalika Adiwijaya jumeneng ratu ing Pajang, Blambangan lan Panarukan kabawah ratu agama Syiwah ing Blambangan, kang uga mbawahake Bali lan Sumbawa.”
Serat Babad Tanah Jawi
Jika rasa fanatisme kedaerahan telah mengalahkan objektifitas dalam penulisan Sejarah, maka sumber dari Serat Babad Tanah Jawi yang mengatakan bahwa Blambangan mbawahake Bali ini dapat saja Penulis gunakan untuk membalik keadaan dan membantah berita dari Babad Dalem yang mengatakan bahwa Bali di masa Dalem Watu Renggong menguasai Brangbangan (Balambangan).
Namun hal itu buka tujuan dari dibuatnya tulisan ini. Tulisan ini hanya mengajak pembaca untuk berfikir objektif dengan melepas ego kedaerahan.
Dengan memperbandingkan sumber-sumber di atas, tentu keterangan-keterangan dari Bali itu sangat layak untuk diragukan.
Selain karena bertentangan dengan Suma Oriental yang lebih otentik, Balambangan saat itu memang merupakan sebuah Kerajaan yang sedang naik ke puncak kejayaannya di bawah pimpinan Pate Pimtor alias Menak Pentor.
Raja Balambangan ini justru telah berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya hingga menguasai Cantjam, Pajaracam, Panarucam, dan Chande.
Maka sangat tidak mungkin jika saat itu Balambangan berada di bawah Bali.
Sementara itu, Mendes Pinto (1509-1583), seorang penulis Potugal mengatakan dalam Paregrinacam bahwa Bali adalah sebuah pulau (yang) tergantung pada Kerajaan Demak Jawa, tetapi memberontak di sekitar tahun 1546 atau sesudah Sultan Trenggana mangkat di Panarukan.
PENUTUP
David Stuart-Fox dalam Pura Besakih: temple, region and society in Bali mengatakan bahwa nama raja Dalem Watu Renggong sebenarnya tidak dikenal sebelum abad-18.
Maka wajar jika terasa aneh dengan masa kekuasannya yang berlebihan sebagaimana umumnya dikisahkan.
Diantaranya termasuk berita tentang daerah kekuasaannya yang sangat luas mencapai Pasuruan, Balambangan (1512), Lombok (1520), Sumbawa, Madura, Bone, dan Gowa.
Jika memang sumber-sumber dari Bali mengenai kekuasaan raja Dalem Watu Renggong yang selama itu dan sebesar itu adalah benar, tentu ada catatan jelas sebelum abad 18.
Nyatanya menurut David Stuart-Fox, nama raja Dalem Watu Renggong itu belum dikenal, sebelum abad-18. Dengan demikian, terlalu memaksa jika kita ikut mengakui sesuatu yang masih dugaan-dugaan sebagai sebuah kebenaran.
Sebagai penutup, agar pembaca non-Balambanger tidak terlalu sakit hati jika harus mengakui pendapat Tome Pires, atau pendapat J.J. Meinsma, atau pendapat David Stuart-Fox, apalagi pendapat Mendes Pinto.
Maka, saran Penulis, terima saja dengan jujur pendapat H.J. De Graaf bahwa Balambangan dan Bali pada masa itu tidak ada hubungan apapun karena memang tidak ada pemberitaan macam apapun mengenai kerajaan-kerajaan Jawa Timur dan kerajaan Bali.
Hal ini karena Dinasti Kepakisan di Balambangan telah digantikan oleh Dinasti Rajasa dari Majapahit. Sehingga hubungan kekeluargaan antara Balambangan dengan Bali seolah terputus.
SUMBER
Adrian Vickers, Bali, a Paradise Created
Aji Ramawidi, Suluh Blambangan
David Stuart-Fox, Pura Besakih: temple, region and society in Bali
De Graaf & Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
cakepane.blogspot.com/dalem-waturenggong-caka-1382-1472-atau.html?m=1 (diakses pada 7 Juli 2020).
Ng. Kertapradja, Serat Babad Tanah Jawa
Mendes Pinto, Paregrinacam
Tjokorda Raka Putra, Babad Dalem
Tome Pires, Suma Oriental
Winarsih, Babad Blambangan
1 comment
Jaya selalu