Ada banyak bangunan di kota Banyuwangi yang merupakan bagian dari kota tua, yakni bangunan-bangunan yang dibangun pada era kolonial Belanda. Di antara yang terkenal dan dapat dikembangkan sebagai tujuan wisata Sejarah Banjoewangi Tempo Doeloe adalah:
Pantai Boom (1774)
Tempat ini adalah lokasi berlabuh robongan Mas Alit ketika boyongan dari Benculuk melalui Pelabuhan Ulu Pangpang ke Banyuwangi.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pantai Boom pernah menjadi; Embarkasi pemberangkatan JCH Banyuwangi, seperti yang terlihat dalam foto.
Pelabuhan Boom juga pernah menjadi pusat eksport Pisang ke Australia. Kantor Doeane atau Djawatan Bea dan Cukai (1950an) berada di sini.
Kesibukan Pantai Boom bertambah dengan adanya Pabrik Minyak Kepala N.V Mixolie (1930) dan Gudang PT. Djakarta Lloyd.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, B.C. de Jonge pada April 1935, juga berlabuh di Boom.
Pada 21 Juli 1947 di selat Bali pernah terjadi perang antara tentara RI yang dipimpin Letnan Laut Sulaiman melawan tentara Belanda. Tentara RI yang gugur dan dimakamkan di TMP “Satria Laut 0032” Banyuwangi. Pemakaman ini diresmikan oleh Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.
Benteng Utrecht (1774)
Lokasi bersejarah kedua adalah Benteng Utrecht. Lokasi Benteng Banyuwangi atau Fort Utrecht kini menjadi markas KODIM 0825 dan Gedung Wanita Banyuwangi.
Benteng ini Mulai dibangun pada bulan Agustus 1774 di bawah pengawasan Insinyur Baas d’Exter, dan mulai ditempati pada 20 Nopember 1774.
Dalem Bupati/Pendopo (1774) dan Sumur Sri Tanjung (1912-1920)
Rumah tinggal Bupati ini dibangun tahun 1774 oleh Tumenggung Wiraguna dengan dana ditanggung oleh otoritas VOC-Belanda. Mulai ditempati pada 21 Nopember 1774.
Pada masa pemerintahan Bupati ke-10, Tumenggung Notodiningrat (1912-1920, sumber lain 1913-1918) ditemukan (dibangun) sebuah sumur yang kini dikenal sebagai Sumur Sri Tanjung.
Bangunannya direnovasi pertama kali pada masa Bupati ke-23, Harwin Wasisto (1988-1991). Renovasi kedua dilakukan pada masa Bupati ke-27, Abdullah Azwar Anas (2016-2021).
Tegal Loji dan Tegal Masjid (1774)
Banyuwangi adalah satu di antara kota yang memiliki dua alin-alun: Taman Sritanjung dan Taman Blambangan.
Taman Blambangan alias Gesibu Blambangan sebelumnya bernama Tegal Loji yaitu tanah lapang di halaman depan Loji Belanda (Fort Utrecht).
Sedangkan Taman Sri Tanjung sebelumnya adalah Tegal Masjid yaitu Tanah Lapang di halaman Masjid Jami’.
Masjid Jami’ dan Makam Bupati (1774)
Masjid Jami’ Baiturrahman dibangun pada masa Bupati Tumenggung Wiraguna (Mas Alit) dan direhab pertama kali pada tahun 1869 masa pemerintahan bupati ke-5, Tumenggung Pringgokusumo (1867-1880).
Di sebelah barat masjid ini terdapat makam para bupati Banyuwangi, yakni: Bupati ke-2 Mas Sanget/Tumenggung Wiraguna II (1782-1818); Bupati ke-3 Tumenggung Suranegara/Surengrana (1818-1832); Bupati ke-4 Tumenggung Wiryadanu Adiningrat/Wiraadinegara (1832-1867); Bupati ke-5 Tumenggung Pringgakusuma (1867-1880); dan Bupati ke-7 Tumenggung Astra Kusuma (1888-1889).
Klenteng Ho Tong Bio (1764-1784)
Sejarah Klenteng Ho Tong Bio ada dua versi. Versi pertama menyebutkan bahwa Kelenteng ini dibangun di Banyuwangi oleh Tan Hu Cin Jin pada tahun 1784 (era Tumenggung Wiraguna II).
Versi kedua menyebutnya lebih tua lagi. Dia dibangun di Kota Lateng (Rogojampi) oleh Tan Hu Cin Jin tahun 1764 (era Walinagara IGNK Dewa Kabakaba).
Untuk sementara Penulis menduga bahwa Klenteng Ho Tong Bio dibangun pertama kali di Lateng oleh Tan Hu Cin Jin tahun 1764, kemudian setelah era penjajahan dan ibukota dipindah ke Kota Banyuwangi, Kelenteng juga ikut dipindah ke Kota Banyuwangi pada tahun 1784.
Inggrisan dan Kantor Pos (1800)
Gedung Cagar Budaya Inggrisan (Kabelhuis, 1800) dan Kantor Pos dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Inggrisan pernah digunakan sebagai Stasiun Kabel Telegraf oleh perusahaan Ingris Brotosh-Australian Telegraph Company tahun 1870 yang menghubungkan antara Singapura dan Darwin di Australia.
Menurut Munawir (Ketua BTD) pemasangan kabel menuju daratan Banyuwangi selesai pada tanggal 20 Nopember 1871.
Pada 1912an, stasiun kabel ini dioperasikan oleh Eastern Extension Australasia and China Telegraph Company Ltd.
Titik Nol Kilometer (1815-1856)
Titik nol Banyuwangi menurut arsip Belanda tentang pembangunan Jalan Daendels (Jalan Raya Pos) tahun 1811, yang dimulai dari TITIK NOL di Anjer (di Serang, Banten) ke Panaroekan (di Situbondo Jatim).
Kemudian dalam Peta Residentie Bezoeki Afdeling Banjoewangi tahun 1815-1856 yang menunjukkan bahwa Jalan Raya Pos bukan berakhir di Panaroekan tetapi berakhir di kota Banjoewangi, tepatnya di sebuah tugu kecil di depan Toko Edison (Jl. PB. Sudirman). Maka kemudian disepakati oleh sebagian orang, bahwa di sanalah TITIK NOL BANYUWANGI.
Sementara yang lain (entah dari sumber yang mana) mengatakan bahwa titik nol Banyuwangi menggunakan acuan pengukuran jalan dari Jember menuju dan berakhir di Banyuwangi di Simpang Lima. Maka oleh sebagian kalangan lainnya diyakini bahwa titik di Proliman tersebut adalah TITIK NOL BANYUWANGI.
Gedung Juang 45
Pada masa Hindia-Belanda gedung ini berfungsi sebagai Kamar Bola atau Bar.
Kemudian pada masa Perjuangan Kemerdekaan berhasil direbut oleh Barisan Hizbullah Banyuwangi yang dipimpin oleh H. M. Arifin dari tentara Jepang dan sejak itu dijadikan markas pejuang.
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) gedung ini dijadikan kantor Perwira Distrik Militer (PDM) Banyuwangi.
Pasa NKRI, gedung ini dikelola oleh Pemda Banyuwangi dan disebut dengan Gedung Nasional Indonesia (GNI). Sekitar tahun 1960-1982, GNI pernah menjadi gedung perkuliahan Universitas Tawangalun (sekarang UNEJ Jember) serta untuk kegiatan olah raga dan seni budaya.
Pada tahun 1963, GNI direhap oleh Bupati Joko Supaat Slamet, dan ditetapkan menjadi Gedung Juang 45.
Pada masa Bupati Abdullah Azwar Anas, direhap lagi secara total benjadi bangunan modern yang dapat kita lihat saat ini.
Bahan Bacaan:
- J.K.J. De Jonge & van Deventer. 2018. Belanda di Bumi Blambangan. Banyuwangi: Sengker Kuwung Belambangan;
- Maulana Ainul Yaqin, Kota Banyuwangi 1901: Kajian Awal Arkeologi Perkotaan. (Makalah, tidak diterbitkan);
- M. Hidayat Aji Ramawidi. 2022. Dari Balambangan menjadi Banyuwangi. Banyuwangi: MH Publisher;
- Munawir. 2016. Kliping Ekspedisi Banjoewangi Tempo Doeloe & Radar Banyuwangi, Peninggalan Kolonial di Banyuwangi. Banyuwangi: BTD;
- Nancy K. Florida. 2020. Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang. Yogyakarta: Mata Bangsa.
- Rosdi Bahtiar Martadi. 2013. Banyuwangi Nol Kilometer Bukan di Perliman, dalam Banyuwangi Dalam Mozaik. Banyuwangi: www.nulisbuku.com;
- Samsubur. 2021. Wiracarita Praja Balambangan. Banyuwangi: Lintang Banyuwangi;
- Sri Margana. 2012. Perebutan Hegemoni Blambangan. Yogyakarta: Pustaka Ifada;
- Suhalik. 2018. Lingkar Waktu. Ttp: Lareka;
- Tim PSBB. 2005. Hari Jadi Banyuwangi, 24 Oktober 1774: Tumbuh Kembangnya Kota Modern dan Dinamis. (Makalah);
- Winarsih. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Bentang;
- Yeti Chotimah. 2020. Sejarah, Seni, dan Budaya Banyuwangi. Yogyakarta: Sulur Pustaka.
Catatan: Ditulis atas permintaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi untuk disampaikan dalam rangka Pembekalan Pemandu Wisata Budaya Museum di Hotel Santika Banyuwangi tanggal 9-11 Agustus 2022.
1 comment