Haritage di Kota Banyuwangi (bag. 1)

Banyuwangi adalah salah satu kota buatan Belanda yang kala itu tingkat keurgensinya sangat penting untuk segera dibuat. Kota yang terletak di sebelah timur Pegunungan Ijen itu bersebelahan dengan selat Bali di sisi timurnya.

Secara administrasi kota Banyuwangi terletak di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, pada titik astronomis 113053’-114038’ BT dan 7043’-8046’ LS.

Rencana Pindah Ibukota Kabupaten

Ketika pasukan VOC-Belanda tiba untuk menundukkan Kerajaan Balambangan pada bulan Maret 1767, saat itu ibukota Kerajaan Balambangan ada di Kota Lateng (dekat Rogojampi).

Sementara keluarga kerajaan bertempat tinggal di Ardja Balambangan (desa Blambangan dan Tembokrejo, Muncar). Dua tempat inilah yang ditundukkan oleh VOC-Belanda.

Selanjutnya otoritas VOC-Belanda mendirikan pusat kegiatan pemerintahan sementara di Ulu Pangpang (sekitar Pelabuhan Muncar) yang juga menjadi Ibukota Kabupaten Kasepuhan/Blambangan Timur.

Residen Hendrik Schophoff (1771-1774) mencari lokasi baru yang aman dan sehat untuk dijadikan ibukota.

Dua tempat yang diusulkan adalah Kota Ketapang (di Kecamatan Kalipuro) dan Moko (Mojo?), namun sebelum rencana itu terlaksana, meletuslah Perang Bayu 1771-1773 sehingga rencana tersebut tertunda.

Perpindahan Ibukota Kabupaten

Barulah seusai para Pejuang Bayu dapat ditundukkan, otoritas VOC-Belanda melanjutkan rencana pemindahan ibukota, namun kali ini desa Tirta Gandha yang menjadi pilihannya.

Sebagai sebuah kota, Banyuwangi baru dibangun pada tahun 1774. Namun, sebelum itu Banyuwangi adalah sebuah desa.

Namanya disebutkan dalam beberapa sumber dengan berbagai versi seperti; Tirtarum (dalam Babad Buleleng); Banyuwangi (dalam Babad Sembar: 1773-1805); Sungai Toyawangi (dalam Serat Centhini: 1814-1823); Banyu Arum (dalam Lontar Sri Tanjung: 1897/1898).

Selain itu, bahkan pada abad 15 pernah ada nama tokoh Ki Gede Banyuwangi sebagai pemimpin di Banyuwangi. Semua itu menunjukkan bahwa nama Banyuwangi sebenarnya bukan nama yang baru.

Forth Utrecht

Mas Alit/Tumenggung Wiraguna, dilantik sebagai Bupati di Kabupaten Blambangan Timur pada tanggal 1 Pebruari 1774 di Benteng Ulu Pangpang (Muncar) kemudian menetap di Dalem Bupati di Benculuk selama 8 bulan 21 hari (antara 1 Pebruari 1774 s/d 21 Nopember 1774).

Di saat Mas Alit masih bertempat di Benculuk itu, tepatnya pada bulan Agustus 1774, otoritas VOC-Belanda mulai merintis pembangunan Fort Utrecht di bawah pengawasan Baas d’Exter.

Fort Utrecht atau Fort Banjoewangi, adalah sebuah Benteng baru pengganti Benteng Ulu Pangpang dan Banyualit yang berfungsi untuk mengamankan Ujung Timur Jawa. Lokasinya tak jauh dari pos Tanjung Pakem.

Perpindahan Dalem Kabupaten

Ketika pembangunan Benteng tersebut sudah mulai dapat ditempati (meskipun belum selesai sempurna), relokasi dari Ulu Pangpang ke sana segera dilaksanakan.

Saat itu Gezaghebber Pieter Luzac juga memerintahkan kepada Bupati untuk memindahkan pula Dalem Kabupaten dari Benculuk ke tempat lain yang tidak jauh dari Fort Utrecht.

Akhirnya Bupati Tumenggung Wiraguna memilih lokasi di sekitar Fort Utrecht sehingga Dalem Kabupaten-pun dibangun di Kota itu pula dengan ongkos dari VOC-Belanda pada suatu jarak yang cukup jauh (dari benteng Utrecht), namun masih dalam jangkauan jarak tembak meriam.

Pada 20 Nopember 1774, sore hari, Residen Schophoff, dan seluruh pejabat Belanda meninggalkan Ulu Pangpang dan secara resmi bertempat tinggal di Benteng Banyuwangi.

Keesokan harinya, Tumenggung Wiraguna dan keluarganya juga boyongan dari Benculuk ke Kota Banyuwangi.

Mereka berangkat dari Pelabuhan Ulu Pangpang dan berlabuh di Boom. Dengan demikian, ibukota baru di Banyuwangi secara resmi ditinggali dan mulai menjalankan fungsinya dalam pemerintahan pada 21 Nopember 1774.

Bersambung ke Bagian 2: https://ajisangkala.id/haritage-di-kota-banyuwangi-bag-2/

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like