Legenda Syeh Lemah Abang dan Ki Gede Banyuwangi

Dalam buku Suluh Blambangan, Aji Ramawidi menyebutkan bahwa pada masa akhir Majapahit, kira-kira tahun 1463 M, San Ali telah kembali dari pengembaraannya dengan menyandang nama baru, Syaikh Datuk Abdul Jalil.

Menurut Agus Sunyoto, San Ali adalah putra angkat dari Akuwu Caruban, Sri Mangana alias Raden Walangsungsang alias Pangeran Cakrabhuwana.

Sebelumnya, selama beberapa tahun, San Ali alias Syaikh Datuk Abdul Jalil telah melanglang buana sampai ke Palembang, Malaka, Hindustan, Baghdad, dan Makkah.

Kini dia kembali ke Caruban bersama sahabatnya, cucu Raja Sunda/Pajajaran yang bernama Pangeran Syarif Hidayatullah (1448-1568).

Sesampainya di Padepokan Giri Amparanjati Caruban, Syaikh Datuk Abdul Jalil langsung diminta mengajar oleh pamannya, Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nurjati).

Caturbhasa Mandala

Aji Ramawidi mengatakan bahwa, dua tahun kemudian (1465), Syaikh Datuk Abdul Jalil mulai berkeliling Nusa Jawa dari ujung barat ke ujung timur: dari Banten Girang-Pajajaran di barat hingga ke Balumbungan di timur.

Tujuannya adalah untuk membangun dusun-dusun bercitra Caturbhasa Mandala; Lemah Abang (atau Lemahbang), Lemah Ireng, Lemah Kuning (atau Siti Jenar), dan Lemah Putih.

Dusun-dusun itu digunakan sekaligus sebagai benteng ruhani, dan basis gerakan spiritual yang digagasnya.

Agus Sunyoto menambahkan bahwa, nama-nama Lemah Abang, Sitibrit, Siti Jenar, Lemah Putih, Lemah Ireng, Lemah Kuning, Kemuning, dan sebagainya yang menunjukkan empat warna itu adalah nama-nama yang menyiratkan makna pengorbanan rahasia anak manusia demi lahirnya zaman baru.

Sejak memiliki beberapa padepokan (pasantrian/pesantren) di berbagai desa Mandala itu, San Ali memiliki banyak gelar.

Selain gelar Syaikh Datuk Abdul Jalil, ketika tinggal dan mengajar di desa Kajenar, dia dikenal sebagai Susuhunan Kajenar alias Syaikh Siti Jenar.

Sedangkan ketika menetap di desa Lemah Abang, dia dikenal sebagai Syaikh Lemah Abang.

Kisah Ki Gede Banyuwangi

Dalam Suluh Blambangan, Aji Ramawidi menambahkan bahwa ketika perjalanan berkeliling Jawa itu, Syaikh Datuk Abdul Jalil akhirnya tiba di wilayah Kadipaten Balumbungan dan bertemu dengan Pangeran Karucil.

Pangeran Karucil adalah saudara dari Adipati Balumbungan saat itu, Menak Sopal/Siung Laut. Dia merupakan murid Syaikh Maulana Ishaq ketika dahulu datang ke Balumbungan.

Kemudian Syaikh Datuk Abdul Jalil diantarkan oleh Pangeran Karucil menemui Adipati Balumbungan, Menak Sopal/Siung Laut guna meminta ijin membuka beberapa desa bercitra Caturbhasa Mandala di wilayah Balumbungan.

Adapun desa-desa yang dimaksud menurut Aji Ramawidi adalah: Candibang (citra Lemah Abang), Banyuputih (citra Lemah Putih), Watuputih (citra Lemah Putih).

Yang lainnya adalah Lemahbang (citra Lemah Abang), Pulo Merah (citra Lemah Abang), Parang Ireng (citra Lemah Ireng), dan Pacemengan (citra Lemah Ireng), dll.

Lemahbang merupakan nama hutan dimana terdapat Ksetra tempat penganut ajaran Bhairawa Tantra melakukan ritual Ma Lima dengan memakan daging dan meminum darah manusia.

Tempat itu ditutup oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil dan diubah menjadi salah satu Mandala tempat padepokannya berdiri.

Atas jasanya itu, masyarakat menjadi tenang karena tidak ada yang akan menjadi korban baru di Ksetra tersebut.

Di bawah bimbingan Syaikh Datuk Abdul Jalil, kemudian Pangeran Karucil menjadi Mangkubumi di Samiddha Kawitan Banyuwangi bergelar Ki Gede Banyuwangi.

Selain itu juga ada dua orang rekan Ki Gede Banyuwangi yang juga berguru kepada Syaikh Datuk Abdul Jalil, yakni; Ki Balak, dan Ki Trembelang.

Nama-nama mereka dapat kita temukan dalam Babad Jaka Tingkir.

Lastono, Salah satu Mandala Lemahbang

Sekitar tahun 1490, Syaikh Siti Jenar yang sudah sepuh kembali berkunjung ke Balambangan tepatnya di Padepokan Lemahbang yang didirikannya.

Seiring dengan berjalannya waktu, di mandala-mandala yang dahulu didirikannya kini telah banyak datangi oleh murid-murid untuk menimba ilmu kepada syaikh.

Para santri dan pengikut Syekh Siti Jenar ini menetap dan disebut Kaum Lemah Abang.

Di Banyuwangi ini, yang mudah dikenali sebagai bekas Mandala Syaikh Datuk Abdul Jalil alias Syaikh Lemah Abang adalah suatu komplek makam yang dikenal sebaga Lastono di dusun Talangrejo, Desa Lemahbang Kulon, Kecamatan Singojuruh.

Di komplek malam ini terdapat banyak makam kuno, di antara yang utama adalah makam-makam yang berada di dalam cungkup.

Salah satu makam dalam cungkup itu dipercaya sebagai Makam Syaikh Datuk Abdul Jalil alias Syaikh Siti Jenar alias Syeh Lemah Abang itu sendiri.

Adapun makam yang satu lai, menurut Aji Ramawidi adalah makam Pangeran Karucil alias Ki Gede Banyuwangi, muridnya.

Aturan Untuk Penduduk Lemahbang

Khusus untuk penduduk Lemah Abang, menurut Agus Sunyoto, mereka akan melaksanakan syariat islam dengan ketat sebagaimana para wiku di mandala-mandala syiwa-boda, terutama dalam hal;

Berpakaian, Berpantang makan dan minuman, Berpantang dalam asusila, Bersikap hidup luhur, Selalu menjaga kesucian, dan Hamukti Palapa.

Siapapun yang melanggar itu akan diusir dari Mandala, dilarang diajak bicara, dan dikucilkan.

Sumber: Aji Ramawidi, Suluh Blambangan; Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Agus Sunyoto, Suluk Syaikh Siti Jenar; Babad Jaka Tingkir; Babad Demak Pasisiran; dll.

0 Shares:
1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like