Sebuah tempat ibadah warga keturunan China di Banyuwangi yang bernama Hoo Tong Bio, menyimpan sejarah panjang dari Geger Pacina di Batavia tahun 1740 hingga Runtuhnya Kerajaan Balambangan tahun 1767/1768. Berikut ini ulasannya.
Geger Pacina
Pada Februari 1740, terjadi Geger Pacina di Batavia. VOC-Belanda melakukan genosida terhadap 10.000 orang etnis China sehingga membuat banyak orang China eksodus meninggalkan Batavia.
Sunan Pakubuwana II awalnya mendukung mereka namun kemudian berbalik mendukung VOC-Belanda.
Sunan Kuning vs Pakubuwana II
Hal ini membuat pengikutnya kecewa dan bersama-sama para pemberontak China mengangkat Raden Mas Garendi/Sunan Kuning[1] sebagai pemimpin mereka dan segera melakukan pemberontakan pada Sunan Pakubuwana II.
30 Juni 1742, Sunan Pakubuwana II bersama Baron von Hohendorff melarikan diri ke Pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari (Ponorogo) dalam lindungan Kyai Ageng Kasan Besari. 1 Juli 1742, Sunan Kuning menduduki tahta Kartasura dan mulai menyandang gelar Sunan Mangkurat V.
Peran Keturunan Surapati
Sementara itu para pejuang China dan Jawa di Jawa Timur akhirnya bergabung dengan sisa-sisa kekuatan Surapati yang kini dipimpin putranya, Bupati Malang Mas Brahim/Raden Suradilaga (1708-1742) di Malang.
Juni 1743, Kapiten Sepanjang mengusulkan agar pasukan Sunan Kuning ikut ke Pasuruan untuk merekrut orang Tionghoa menjadi laskarnya. Saat itulah Raden Mas Said/Samber Nyawa memilih berpisah dan berjuang sendiri di daerah Sukowati.
Pada tanggal 2 Desember 1743: Sunan Kuning menyerah kepada Residen De Klerk di Surabaya, kemudian raja yang penah duduk di atas tahta Kartasura selama enam bulan itu dibuang ke Srilanka.
Perjanjian Ponorogo, 1743
Setelah berhasil menduduki tahta Kartasura kembali dengan bantuan VOC, Sunan Pakubuwana II memberikan daerah kekuasaannya di Pasuruan dan Malang kepada VOC.
Anehnya dalam perjanjian tersebut Balambangan menjadi salah satu yang ikut diserahkan secara sepihak tanpa sepengetahuan pemerintah dan rakyat Balambangan.
Sejak saat itu VOC merasa memiliki tanah Balambangan berdasarkan perjanjian Ponorogo tersebut sehingga ketika kelak pada 1766 EIC-Inggris membuka kantor cabang di Balambangan, maka pihak VOC tidak terima.
Kapiten Sepanjang ke Balambangan
Kembali ke Kapiten Sepanjang. Pemimpin China itu melanjutkan perjuangannya ke timur sambil menghancurkan pos-pos VOC antara Pasuruan-Pajarakan. Setelah memasuki wilayah Balambangan, mereka tidak lagi menemukan adanya pos VOC untuk dihancurkan.
“Akhir 1743: Kapiten Sepanjang dan sisa pasukan bergerak ke arah Blambangan ujung timur Pulau Jawa sambil menyerang pos-pos VOC.”[2]
Jejak Geger Pacina di Balambangan
Jadi antara 1744-1750an dia berada di Balambangan. Ketiadaan catatan tentang Kapiten Sepanjang di Balambangan membuat munculnya dugaan dia telah berganti nama dan menjadi warga Balambangan atau justru masuk dalam keprajuritan Balambangan.
Jika benar bahwa di daerah-daerah yang penah disinggahinya seperti di Semarang, Sidoarjo, dan Malang saat ini menyisakan nama daerah Sepanjang, maka di Banyuwangi juga terdapat nama Desa Sepanjang di Kecamatan Glenmore.
Salah satu orang yang bersamanya ikut mengungsi ke Balambangan adalah seorang bernama Tan Hu Cin Jin yang kelak menjadi perintis Klenteng Hoo Tong Bio di Banyuwangi.
Tan Hu Cin Jin
Ada cerita rakyat di Banyubiru, Jembrana, bahwa Pangeran Agung Wilis dan Prabhu Agung Danuningrat sempat menetap di Banyubiru dan membangun perkampungan di sana yang menjadi perkampungan muslim sampai sekarang. Desa Banyubiru sekarang masuk Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana.
Saat membangun perkampungan itu, salah seorang China yang berbakat bernama Tan Hu Cin Jin akhirnya menjadi sahabat Pangeran Agung Wilis dan ikut menyertai kepergiannya nanti.
Klenteng Hoo Tong Bio
Mengenai temuan panel kayu berangka tahun 1784 yang menjadi acuan berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio di Banyuwangi. Penulis menduga tokoh Tan Hu Cin Jin (yang menurut cerita tutur masyarakat Tionghoa Banyuwangi adalah pendiri Klenteng pertama di Banyuwangi) mungkin awalnya mendirikan Klenteng di Kutha Lateng (1764) era I Gusti Ngurah Ketut Dewa Kabakaba. Setelah ibukota pindah ke Banyuwangi (1774) maka mereka iut pindah pula (1784) ke kota baru tersebut. Hal ini perlu kajian yang lebih mendalam lagi.
[1]RM. Garendhi/Susuhunan Kuning adalah cucu Sunan Mangkurat II/Mangkurat Mas (anak Pangeran Tepasana). Sejak kecil hidup di luar istana dan pada usia 15 tahun didaulat oleh para pemberontak China menjadi Sunan yang baru bergelar Sunan Mangkurat V.
[2]Daradjadi, Geger Pecinan 1740-1743, hlm. xlii.