NARARYA WANING HYUN, Perempuan atau Laki-laki

Sebuah Pengantar Berfikir

Sekitar 23 tahun yang lalu saya membaca buku “Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya” karya Prof. Slamet Muljana (terbit pada 1979). Buku inilah yang menggugah semangat saya untuk belajar sejarah dari berbagai sumber yang kemudian dianalisis; bukan dari sumber tunggal yang sudah matang dan siap pakai.

Dalam buku itu terdapat ringkasan prasasti Mūla-Malurung tahun 1255. Berikut saya kutip bagian yang menyebut tentang Narārya Waning Hyun pada lempeng III-A:
“Ketika Bhatara Parameswara mangkat. Beliau adalah ayah Nararya Waning Hyun, permaisuri Sang Prabu Seminingrat. Dari perkawinan antara Sang Prabu Seminingrat dan Nararya Waning Hyun, lahir Sri Kertanagara. Oleh karena itu, Bhatara Parameswara adalah nenek Sri Kertanagara.”

Perlu kami informasikan bahwa Seminingrat adalah nama asli raja Tumapĕl yang bergelar Wiṣṇuwardhana (menurut Nāgarakṛtāgama memerintah pada 1248 – 1268). Terbukti dalam prasasti Maribong 1264 namanya tertulis lengkap: Śrī Jayawiṣṇuwardhana Sang Mapañji Smining Rāt.

Nama istri Wiṣṇuwardhana dapat kita temukan dalam prasasti Wurare 1289, yaitu Jayawardhanī. Menurut Prof. Slamet Muljana, nama asli Jayawardhanī adalah Narārya Waning Hyun. Pendapat ini sangat populer di kalangan sejarawan karena yang menyebut demikian bukan hanya Prof. Slamet Muljana seorang. Misalnya, Prof. Boechari pada 1980 juga menafsirkan bahwa Narārya Waning Hyun adalah istri Wiṣṇuwardhana.

Akan tetapi, Hadi Sidomulyo dalam bukunya yang berjudul “Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapañca” (terbit 2007) membantah bahwa Narārya Waning Hyun adalah nama asli Jayawardhanī. Menurut tafsirannya, Waning Hyun adalah nama laki-laki, bukan nama perempuan. Dasar pertimbangannya ialah nama ini kelak muncul lagi pada zaman Majapahit, yaitu dalam prasasti yang ditemukan di Bali bertahun 1383. Pada prasasti itu tertulis nama Pāduka Parameśwara Śrī Wijayarājasa Nāmadewābhiṣeka Sang Apañji Waning Hyun. Artinya, Waning Hyun pada zaman Majapahit adalah nama laki-laki, maka pada zaman Tumapĕl tentunya juga nama laki-laki.

Menelisik Prasasti Mula-Malurung

Saya penasaran dan mencoba mencari teks prasasti Mūla-Malurung yang berbahasa Jawa Kuno, bukan terjemahan bahasa Indonesia. Teks tersebut saya temukan dalam disertasi Dr. Titi Surti Nastiti (2009) yang berjudul “Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII – XV Masehi)”. Berikut adalah kutipannya yang menyebut Narārya Waning Hyun: “mwang ri kāla ni kapratiṣṭha nira pamanirātĕhĕr pinaka rāmātuha nira. sira sang lineng kubwan agĕng. rāma nira narārya waning hyun. kaki nira rānakira. sira śrī kṛtānagara.”

Saya terkejut karena arti teks di atas berbeda dengan yang ditulis dalam buku Prof. Slamet Muljana. Tidak ada Bhatara Parameswara dalam teks, karena nama ini adanya pada lempeng yang lain. Rupanya Prof. Slamet Muljana telah menyamakan tokoh “yang meninggal di kebun agung” dengan Bhatara Parameswara. Yang kedua, tidak ada kalimat dalam teks yang menyebut bahwa Narārya Waning Hyun adalah istri Narārya Smining Rāt.

Dengan demikian, kalimat “Beliau adalah ayah Nararya Waning Hyun, permaisuri Sang Prabu Seminingrat. Dari perkawinan antara Sang Prabu Seminingrat dan Nararya Waning Hyun, lahir Sri Kertanagara” bukan terjemahan orisinal prasasti Mūla-Malurung, melainkan tafsir Prof. Slamet Muljana belaka. Adapun terjemahan yang orisinal atas kutipan teks prasasti di atas ialah: “serta pada saat pembangunan [candi untuk] paman beliau sekaligus menjadi mertua beliau. Yaitu yang meninggal di kebun agung. Ayahnya Narārya Waning Hyun. Kakeknya anak beliau. Yaitu Śrī Kṛtānagara.”

Kata “beliau” dalam kalimat di atas merujuk kepada Narārya Smining Rāt, yaitu raja yang mengeluarkan prasasti Mūla-Malurung. Artinya, tokoh yang meninggal di kebun agung adalah paman sekaligus mertua Narārya Smining Rāt, serta kakek dari anak Narārya Smining Rāt yang bernama Śrī Kṛtānagara. Sementara itu, Narārya Waning Hyun hanya disebut sebagai anak tokoh yang meninggal di kebun agung, tanpa menyebut hubungannya dengan Narārya Smining Rāt.

Dengan memerhatikan kalimat teks di atas, maka Narārya Waning Hyun adalah sepupu Narārya Smining Rāt. Menurut tafsiran Hadi Sidomulyo (2007), Narārya Waning Hyun adalah nama asli Narasinghamūrti, kakek Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit), yang di dalam naskah Pararaton disebut Mahiṣa Campaka.

Makna Nararya

Saya masih penasaran dan mencoba menelusuri arti gelar “narārya”. Dalam kamus Jawa Kuno – Inggris yang disusun P.J. Zoetmulder (1982) dibantu S.O. Robson, tertulis arti kata “narārya” ialah “noble among men” (yang mulia di antara para laki-laki). Gelar “narārya” adalah gabungan dari kata “nara” dan “ārya”. Gelar ini memang bersifat maskulin, hanya dipakai oleh para laki-laki saja, antara lain:

  • Narārya Gunging Bhaya : paman Narārya Smining Rāt
  • Narārya Toh Jaya : paman Narārya Smining Rāt
  • Narārya Mūrdhaja : nama asli Śrī Kṛtanāgara
  • Narārya Kiraṇa : putra Narārya Smining Rāt
  • Narārya Sanggrāmawijaya : nama lengkap Raden Wijaya
    Itu artinya, tidak ada perempuan yang memakai gelar Narārya, juga tidak ada perempuan yang memakai gelar Arya.

Lalu bagaimana dengan Nararya Turukbali, nama istri Jayakatwang? Bukankah dia seorang perempuan yang bergelar Nararya? Nama tersebut adanya di buku Prof. Slamet Muljana, yaitu: “Nararya Turukbali, putri Sang Prabu, yang menjadi permaisuri Jayakatwang.”

Sekarang mari kita bandingkan dengan teks aslinya yang terdapat pada lempeng VII-A, yaitu: “sira turuk bali. putrī nira narārya smining rāt. pinaka parameśwarī nira śrī jayakatyěng.” (Terjemahan: beliau Turuk Bali. Putrinya Narārya Smining Rāt. Sebagai permaisurinya Śrī Jayakatyĕng).

Ternyata, pada teks prasasti tidak ada gelar “narārya” di depan nama Turuk Bali. Itu artinya, nama Nararya Turukbali adalah tafsir Prof. Slamet Muljana sendiri, bukan orisinal terjemahan prasasti.

Kesimpulan dan Penutup

Dari sini saya simpulkan bahwa Narārya Smining Rāt dan Narārya Waning Hyun adalah sepupu, bukan suami-istri, karena mereka berdua sama-sama laki-laki. Narārya Smining Rāt kelak bergelar Śrī Wiṣṇuwardhana, sedangkan Narārya Waning Hyun kelak bergelar Śrī Narasinghamūrti. Sementara itu menurut naskah Pararaton, nama asli Wiṣṇuwardhana adalah Rangga Wuni, sedangkan nama asli Narasinghamūrti adalah Mahiṣa Campaka. Kedua nama ini hanya ada di dalam Pararaton yang ditulis ratusan tahun setelah peristiwa berlalu. Ada kemungkinan bahwa Rangga Wuni dan Mahiṣa Campaka adalah nama karangan penulis Pararaton, sedangkan nama yang orisinal menurut prasasti ialah Smining Rāt dan Waning Hyun.

Sebagai penutup, mari kita kupas arti kedua nama di atas.

  • Narārya Smining Rāt = laki-laki mulia tumbuh-nya dunia.
  • Narārya Waning Hyun = laki-laki mulia bara-nya keinginan.

Melalui tulisan pendek ini saya memberanikan diri untuk mengoreksi buku Prof. Slamet Muljana yang dulu menjadi bacaan favorit saya. Saran saya untuk diri sendiri, apabila menerjemahkan suatu teks, sebaiknya diterjemahkan dengan menjaga orisinalitas teks aslinya. Jika dirasa perlu untuk menambah kata hasil tafsiran sendiri, maka sebaiknya dipisahkan dengan tanda kurung, agar tidak bercampur dengan terjemahan aslinya.

Demikian, terima kasih.

Daftar Pustaka:

Slamet Muljana (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Hadi Sidomulyo (2007). Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapañca. Cetakan pertama. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, bekerja sama dengan Yayasan Nandiswara Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Unesa, Surabaya.

Titi Surti Nastiti (2009). Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII – XV Masehi). Disertasi. Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Arkeologi.

Penulis: Heri Purwanto

4 September 2020.

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like
Selanjutnya

Penghuni Pertama Ujung Timur Jawa

DAFTAR ISI Hide PENGANTARZAMAN BATUMEMANFAATKAN BATUZAMAN LOGAMTERSINGKIRNYA RAS MELANOSOIDTERSINGKIRNYA RAS NEGRITOSUPERIORITAS RAS MELAYUPENELITIAN DI UJUNG TIMUR JAWAMENEBAK ASAL-USULGRAMADEWATA…