Prameswara Pendiri Malaka

Suma Oriental (1513)

Diantara raja bawahan Batara Tamarill dari Jawa adalah Sam Agy Palimbao, Sam Agy Singapura, dan Sam Agy Tamjompura. Ketika Sam Aji Palimbao mangkat, dia meninggalkan seorang putera bernama Paramjcura (Parameswara) yang menikah dengan keponakan Batara Tamarill bernama Paramjcure. Jadi dia menikahi wanita yang kedudukannya lebih tinggi dari dirinya. Setelah menyadari betapa mulia perkawinannya dan betapa besar pengaruhnya terhadap pulau-pulau tetangga yang berada di bawah kekuasaan kakak iparnya (Batara Tamarill), Paramjcura pun bangkit melawan kakak iparnya itu dan memilih menjadi raja yang merdeka.

Batara Tamarill dibantu raja Tanjung Puting (Tanjungpura) menyerang Palimbao, bermaksud membunuh dan menghancurkannya. Batara Tamaril menghancurkan Bangka dan membunuh semua penduduknya, kemudian menghadapi 6.000 tentara Palimbao. Dalam perang itu Paramjcura kalah dan melarikan diri bersama keluarganya, meminta perlindungan kepada Sam Agy Singapura yang juga bawahan Batara Tamarill.

Delapan hari kemudian Sam Agy Singapura terbunuh oleh orang-orangnya Paramjcura. Negara pulau itu kemudian dikuasai oleh Paramjcura (1389-1398). Dia hanya berkuasa di Singapura selama lima tahun, dan di masa itulah anak pertamanya dari Paramjcure lahir diberi nama Chaquem Daraxa (Megat Iskandar Shah).

Sam Agy Singapura menikah dengan anak selir Raja Siam. Selir raja Siam itu adalah anak bangsawan dari Patani. Dengan kematian Sam Agy Singapura, maka marahlah Raja Siam. Sang raja Siam kemudian menugaskan bangsawan dari Pathani itu untuk menghukum Paramjcura dan merebut Singapura. Belum sampai kedatangan pasukan Siam, Paramjcura yang ketakutan meninggalkan Singapura bersama 1.000 orang pengikutnya ke Sungai Muar.


Setelah tinggal di Sungai Muar selama enam tahun, datanglah 18 orang Celates Bugis yang menawarkan kerjasama untuk mendirikan kerajaan baru di Bretao. Disanalah kelak Paramjcura meninggal. Puteranya, Chaquem Daraxa/Megat Iskandar Shah naik tahta.

Sulatus Salatin (1612)

Dalam Sejarah Melayu, Sulatus Salatin, dikisahkan bahwa raja terakhir Singapura yakni Raja Iskandar Shah menuduh salah satu selirnya telah melakukan perzinaan sehingga dia dihukum-telanjangi di depan umum. Sang selir ini adalah putera dari Hakim Singapura, Sang Rajuna Tapa. Selanjutnya, karena marah kepada Iskandar Shah, diam-diam Sang Rajuna Tapa mengirim pesan kepada Maharaja Wikramawardhana di Majapahit untuk menyerang Singapura.

Pada tahun 1398, Majapahit mengirimkan armadanya yang terdiri dari 300 kapal perang utama dan ratusan kapal kecil, membawa tidak kurang dari 200.000 orang. Awalnya, tentara Jawa bertempur di luar benteng dengan penduduk Singapura. Sebelum akhirnya memaksa mereka untuk mundur ke belakang tembok. Kekuatan invasi Jawa terus melakukan pengepungan kota dan berulang kali mencoba untuk menyerang benteng, namun benteng tak dapat ditembus.

Setelah sekitar satu bulan, makanan di dalam benteng mulai habis dan Singapura berada di ambang kelaparan. Raja Iskandar Shah menugaskan kepada Sang Rajuna Tapa untuk mendistribusikan biji-bijian milik kerajaan kepada masyarakat. Namun dia berbohong kepada raja, dan mengatakan bahwa gudang kerajaan sedang kosong. Akhirnya orang-orang yang bertahan mengalami kelaparan. Serangan terakhir Majapahit terjadi setelah gerbang akhir dibuka atas perintah seorang menteri. Para prajurit Majapahit bergegas masuk ke benteng dan pembantaian yang mengerikan pun terjadi. Darah mengalir seperti sungai dan noda merah di tanah Singapura disebut-sebut berasal dari darah pembantaian itu. Mengetahui kekalahan sudah dekat, Raja Iskandar Shah dan para pengikutnya melarikan diri dari Singapura.

Sulalatus Salatin mengidentifikasi pangeran yang melarikan diri dari Palembang dan raja terakhir Singapura sebagai dua orang yang berbeda, dipisahkan oleh lima generasi. Dalam Sulalatus Salatin, tidak dijumpai nama Parameswara, namun kemudian beberapa sejarahwan merujuk Parameswara adalah tokoh yang sama dengan Raja Iskandar Shah, yang merupakan Raja Singapura terakhir, yang karena serangan Jawa dan Siam kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Malaka. Berdasarkan kronik Tiongkok masa Dinasti Ming disebutkan pendiri Malaka adalah Pai-li-mi-su-la (Parameswara), mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan 1409.

Terlepas apakah Parameswara benar-benar merupakan pendiri Kesultanan Malaka, ada dua penguasa lain dari garis keturunan yang sama, yang menggunakan nama Parameswara sebagai gelar mereka. Mereka ialah Sang Nila Utama, pendiri Singapura kuno yang memiliki gelar “Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana” dan satu lagi adalah Sultan Abu Syahid Shah, Sultan keempat Malaka dengan gelar “Raja Sri Parameswara Dewa Shah”.

Prameswara Dari Jawa

Selain Paramjcura/Prameswara dari Palembang dan Dharmaraja (Desia Raja)/Sri Maharaja Prameswara dari Singapura, Jawa atau Majapahit juga menyumbangkan setidaknya dua nama Prameswara yang juga dicurigai sebagai pendiri Malaka. Keduanya adalah Bhre Kahuripan VI Aji Ratnapangkaja (1400-1429) yang kemudian menjadi raja Majapahit kedelapan bergelar Hyang Prameswara Aji Ratnapangkaja (1429-1446). Dan yang kedua adalah Bhre Pakembangan Prameswara yang diceritakan abuburon dalam Pararaton.

Menurut tafsir dari beberapa pemerhati sejarah, bahwa Prameswara yang menjadi buronan pemerintah Majapahit itu melarikan diri ke Palembang dan Majapahit menggempur Palembang. Kemudian Prameswara melarikan diri lagi ke Singapura dan sekali lagi Majapahit mengejarnya ke Singapura. Terakhir, Prameswara mengungsi dan mendirikan Kerajaan Malaka. Rangkaian kejadian yang merupakan tafsir dari sumber-sumber China, Portugal, dan Melayu tersebut ternyata jika dimasukkan dalam rangkaian perkiraan tahun kejadiannya masih kurang bisa diterima. Perhatikan kronologi berikut;

Prameswara (dari Jawa) melarikan diri dari Majapahit ke Palembang tentu terjadi jauh sebelum tahun 1398, karena Majapahit sendiri baru menyerang Singapura di tahun 1398 tersebut. Saat itu yang berkuasa di Majapahit adalah Maharaja kelima, Aji Wikramawardhana (1389-1416), dan tidak ada catatan bahwa raja ini pernah berkonflik dengan Bhre Kahuripan VI Prameswara Aji Ratnapangkaja (1400-1429) yang juga menantunya sendiri itu. Maka hampir dapat dipastikan bahwa Bhre Kahuripan VI Prameswara Aji Ratnapangkaja bukanlah orang yang sama dengan Prameswara pendiri Malaka tahun 1402. Selain itu, Bhre Kahuripan VI Prameswara Aji Ratnapangkaja sendiri nantinya juga naik tahta menjadi Maharaja Majapahit keenam menggantikan mertuanya tersebut. Sebagai raja dia bergelar Hyang Prameswara Aji Ratnapangkaja (1429-1446), padahal Prameswara di Malaka meninggal tahun 1414.

Kemudian kita coba hubungkan dengan Prameswara dari Jawa yang kedua, yakni Bhre Pakembangan Prameswara putra Bhre Wirabhumi II Bhatara Rajanatha yang terlibat dalam Paregrek tahun 1401-1406 melawan Maharaja Majapahit keenam Aji Wikramawardhan (1389-1416). Dalam Pararaton disebutkan bahwa Bhre Pakembangan Prameswara ini abuburon. Kata abuburon tersebut selama ini diterjemahkan sebagai ‘mati saat berburu’ atau ‘menjadi buronan’ pemerintah Majapahit. Dari kata abuburon ini kemudian muncul tafsir bahwa Bhre Pakembangan Prameswara lah yang diburu oleh pemerintah Majapahit sehingga lari ke Palembang kemudian ke Singapura, dan terakhir ke Malaka.

Identifikasi bahwa tokoh kedua ini sama dengan Prameswara pendiri Malaka sebenarnya juga masih sulit kita buktikan. Hal ini karena Paregrek terjadi antara 1401-1406, sedangkan penyerangan Majapahit ke Singapura terjadi tahun 1398. Jauh sebelum Paregrek terjadi. Sedangkan saat Prameswara mendirikan benteng di Malaka sebagai titik awal pendirian kerajaannya adalah tahun 1402, dan saat itu Paregreg belum selesai. Ini semakin menegaskan bahwa Bhre Pakembangan Prameswara bukanlah orang yang sama dengan Prameswara pendiri Malaka tahun 1402.

Sebuah Usaha Rekonstruksi

Raja-raja Jawa versi Suma Oriental adalah; Batara Tamarill berputra Batara Curipana Cuda berputra Batara Mataram berputra Batara Sinagara berputra Batara Mataram (sama dengan nama kakeknya) berputra Batara Vigiaya. Berita ini diperoleh Tome Pires dari Pate Vira adipati Tuban yang merupakan bawahan Batara Vigiaya, yakni raja Jawa yang berkuasa saat Suma Oriental itu ditulis tahun 1513.

Batara Tamarill dari Jawa yang dimaksud dalam Suma Oriental mengingatkan kita pada jabatan Bhre Tumapel. Secara toponimi kata Tamarill dengan Tumapel memeiliki kemiripan, apalagi dalam Suma Oriental kata Tamarill terkadang juga ditulis Tumarill. Namun Bhre Tumapel yang menjadi raja Majapahit sebelum Dyah Kertawijaya (1447-1451) tidak ada, sehingga Batara Tamaril dalam Suma Oriental ini sulit kita identifikasi. Lain lagi jika kita identifikasi nama-nama raja sesudahnya, yakni Batara Curipana, Batara Mataram, Batara Sinagara, dan Batara Mataram lagi, akan mempermudah kita menemukan jawaban, siapa sebenarnya Batara Tamarill dimaksud.

  • ~Batara Curipana Cuda = Bhre Kahuripan IV Aji Wikramawardhana (1388-1387).
  • ~Berputra Batara Mataram = Bhre Mataram IV Dyah Kertawijaya (1415-1429).
  • ~Berputra Batara Sinagara yang jelas-jelas disebut dalam Pararaton sebagai gelar anumerta dari Bhre Kahuripan VII Dyah Wijayakumara (1447-1451), yakni Sang Sinagara.
  • ~Berputra Batara Mataram = Bhre Mataram V Dyah Wijayakarana (1451-1478).

Jadi secara keseluruhan; Batara Curipana Cuda berputra Batara Mataram berputra Batara Sinagara berputra Batara Mataram = rangkaian silsilah Bhre Kahuripan IV Aji Wikramawardhana berputra Bhre Mataram IV Dyah Kertawijaya beputra Bhre Kahuripan VII Dyah Wijayakumara Sang Sinagara berputra Bhre Mataram V Dyah Wijayakarana.

Dengan mengetahui ini dapat kita simpulkan bahwa, Batara Tamarill yang merupakan raja Majapahit sebelum Batara Curipana Cuda/Bhre Kahuripan IV Aji Wikramawardhana adalah Maharaja Rajasawardhana Dyah Hayam Wuruk (1350-1389) walaupun dia tidak pernah menjadi Bhre Tumapel.

Parameswara Melayu ke Singapura

Dengan mengikuti Suma Oriental, kita masih bisa menemukan jejak bahwa Batara Tamarill = Hayam Wuruk, ini adalah Maharaja Majapahit yang kekuasaannya sangat luas hingga ke luar Jawa. Di masa pemerintahannya, Sam Agy Palimbao (raja Palembang), Sam Agy Singapura (raja Singapura), Sam Agy Tamjompura (raja Tanjungpura) juga Sultan Pasai adalah raja-raja bawahannya. Pada masa pemerintahan Batara Tamarill/Hayam Wuruk (1350-1389) ini yang menjadi Sam Aji Palimbao (Raja Palembang) tentu masih trah Sriwijaya, walau belum jelas namanya, kemungkinannya adalah Arya Damar yang ikut menaklukkan Bali tahun 1343.

Ketika Sam Aji Palimbao (Arya Damar?) mangkat, dia meninggalkan seorang putera bernama Paramjcura/Parameswara yang menikah dengan keponakan Batara Tamarill/Hayam Wuruk bernama Paramjcure/Prameswari. Keponakan Batara Tamarill/Hayam Wuruk ini tentu adalah puteri dari Bhre Pajang I Rajasaduhita Iswari Dyah Nrtaja (1350-1388). Jadi Paramjcura/Prameswara ini menikahi wanita yang derajatnya lebih tinggi dari dirinya. Suma Oriental menyebutkan bahwa, setelah menyadari betapa mulia perkawinannya dan betapa besar pengaruh dirinya setelah pernikahan itu terhadap pulau-pulau tetangga yang berada di bawah kekuasaan kakak iparnya tersebut, maka Paramjcura/Parameswara pun berani menyatakan diri sebagai raja Palembang yang merdeka.

Suma Oriental menyebutkan Batara Tamarill/Hayam Wuruk dibantu raja Tanjung Puting/Tanjungpura menyerang Palembang, bermaksud membunuh dan menghancurkan Paramjcura/ Prameswara. Batara Tamarill/Hayam Wuruk menghancurkan Palembang. Dalam perang itu Paramjcura/Prameswara kalah dan melarikan diri bersama keluarganya, meminta perlindungan kepada Sam Agy Singapura yang juga bawahan Batara Tamarill/Hayam Wuruk. Berita tentang pemberontakan Palembang ini ternyata tercatat dalam salah satu Kronik Tiongkok dari Dinasti Ming, bahwa pada tahun 1377 tentara Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Palembang.

Di Negeri Orang

Diceritakan bahwa isteri Sam Agy Singapura adalah anak selir dari Raja Siam. Selir raja Siam itu adalah anak bangsawan dari Patani. Jadi Sam Aji Singapura adalah cucu menantu penguasa Pathani dan menantu dari raja Siam. Seharusnya ini menjadi kekuatan jika dimanfaatkan dengan baik oleh Paramjcura/Parameswara untuk melawan Majapahit. Namun, Paramjcura/Prameswara salah langkah, dia justeru merebut kekuasaan atas Singapura dari tangan Sam Agy Singapura. Negara pulau itu kemudian dikuasai oleh Paramjcura/Prameswara selama lima tahun. Setelah menjadi raja di Singapura, Paramjcura/Parameswara mengambil gelar Raja Iskandar Shah. Di masa itulah anak pertamanya dari Paramjcure/Parameswari lahir dan diberi nama Chaquem Daraxa (Megat Iskandar Shah).

Dalam Sulatus Salatin, silsilah dari raja Singapura (Sam Agy Singapura) adalah sebagai berikut;

  • Sang Nila Utama (keturunan Sriwijaya) berputra
  • Sri Pekerma Wira Diraja (1372-1386) berputra
  • Seri Rana Wira Kerma (1386-1399) berputra
  • Dharmaraja (Desia Raja), setelah naik tahta tahun 1399 bergelar Sri Maharaja Parameswara.

Dari sini, Penulis justeru menduga bahwa Seri Rana Wira Kerma yang mangkat tahun 1399 itu adalah nama asli dari Sam Agy Singapura yang dikudeta oleh Paramjcura/Prameswara. Jadi Dharmaraja (Desia Raja) atau Sri Maharaja Parameswara bukan anak kandung dari Sam Agy Singapura (Raja Singapura) Seri Rana Wira Kerma, kecuali Paramjcura/ Prameswara mungkin adalah menantunya.

Parameswara atau Paramjcura (Suma Oriental) yang oleh para sejarawan diidentifikasi sama dengan Raja Iskandar Shah (Sulatus Salatin), berkuasa di Singapura selama lima tahun. Jadi, jika serangan Majapahit ke Singapura terjadi tahun 1398/1399 dikurangi lima tahun adalah 1393. Maka Paramjcura/Parameswara bersembunyi dalam lindungan Sam Agy Singapura/Seri Rana Wira Kerma adalah selama 16 tahun (1377-1393). Setelah itu dia berkuasa selama lima tahun antara tahun 1393-1398/1399. Di masa 16 tahun itu ada kemungkinan dia menikahi puteri dari Sam Agy Singapura/Seri Rana Wira Kerma juga menikahi puteri dari Hakim Singapura, Sang Rajuna Tapa.

Sementara itu, setelah kematian Sam Agy Singapura/Seri Rana Wira Kerma, maka marahlah Raja Siam kepada Prameswara/Raja Iskandar Shah. Sang raja Siam kemudian menugaskan penguasa Pathani untuk menghukum Prameswara/Raja Iskandar Shah dan merebut Singapura ke tangan Siam. Peristiwa ini tentunya terjadi sebelum kedatangan tentara Majapahit tahun 1398/1399. Dalam Sulatus Salatin disebutkan bahwa sebelum pasukan Siam tiba di Singapura, Prameswara/Raja Iskandar Shah yang ketakutan telah pergi meninggalkan Singapura bersama 1.000 orang pengikutnya ke Sungai Muar. Artinya, Pasukan Siam tidak menemukan apapun di Singapura sehingga ditarik mundur kembali ke negeri mereka dengan klaim bahwa Singapura kini telah berpindah tangan dari Majapahit ke Siam. Dari sini, masih kurang empat tahun lagi untuk kedatangan pasukan Majapahit. Mungkin Prameswara/Raja Iskandar Shah kembali lagi ke Singapura setelah seluruh pasukan Siam kembali ke negerinya.

Sulatus Salatin menyebutkan bahwa pada suatu hari Raja Iskandar Shah menuduh salah satu selirnya telah melakukan perzinaan sehingga sang selir harus dihukum-telanjangi di depan umum. Selir ini adalah putera dari Hakim Singapura, Sang Rajuna Tapa. Selanjutnya, karena marah kepada Iskandar Shah, diam-diam Sang Rajuna Tapa mengirim pesan kepada Maharaja Wikramawardhana (1389-1416) di Majapahit untuk mengabarkan bahwa Paramjcura/Prameswara bersembunyi di Singapura dengan nama baru, Raja Iskandar Shah. Berita ini sesuai dengan Pararaton bahwa raja Majapahit pasca Batara Tamarill/Hayam Wuruk (1350-1389) memang adalah Aji Wikramawardhana (1389-1416).

Pada tahun 1398/1399, Maharaja Majapahit Aji Wikramawardhana mengirimkan armada laut Majapahit yang terdiri dari 300 kapal perang utama dan ratusan kapal kecil, membawa tidak kurang dari 200.000 prajurit untuk menggempur Singapura. Mengetahui kekalahan sudah dekat, Raja Iskandar Shah dan para pengikutnya melarikan diri (sekali lagi) dari Singapura ke tempat persembunyiannya yang lama di Sungai Muar.

Mendirikan Kerajaan Malaka

Setelah tinggal di Sungai Muar selama empat tahun (1398-1402) datanglah 18 orang Celates (orang laut yg tinggal di Selat) menawarkan kerjasama untuk mendirikan kerajaan baru di Bretao, muara Sungai Malaka. Raja Iskandar Shah setuju dan mulai mendirikan benteng pada muara Sungai Malaka untuk melindungi kota barunya itu. Di kota baru itulah kelak Paramjcura/Prameswara alias Raja Iskandar Shah meninggal (1414) pada usia 69 atau 70 tahun. Puteranya, Chaquem Daraxa/Megat Iskandar Shah (1414-1424) naik tahta. Dia memiliki seorang isteri yang merupakan anak dari salah satu dari 18 orang Celates Bugis di atas. Chaquem Daraxa/Megat Iskandar Shah membangun istananya di atas bukit Malaka.

Sumber:

Suma Oriental

  • Sulatus Salatin
  • Negarakertagama
  • Pararaton
  • Dan lain-lain
Kesultanan Melaka pada abad ke-15, menurut https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Melaka
0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like