Perjalanan Spiritual Pangeran Agung Wilis

Pengantar

Wong Agung Wilis, sosok yang begitu sangat dicintai dan dihormati oleh para Balambanger (pemerhati Balambangan), bahkan hingga saat ini ketika Kerajaan Balambangan sendiri hanya tinggal sebuah nama.

Sosok Pangeran Balambangan tersebut masih begitu melekat di hati sebagian orang Jawa Timur dan Bali, lebih khusus lagi orang Banyuwangi.

Tokoh kharismatik Balambangan yang satu ini memang banyak dikenal karena sikap herois dan patriotisnya, ketika memimpin perlawanan wong Balambangan menghadapi praktek kolonialisme pasca kedatangan VOC untuk pertama kalinya di tanah Balambangan pada tahun 1767.

Sang Pioneer Perjuangan

Perlawanan Wong Agung Wilis seperti menjadi pionir dan pemantik semangat serta keberanian bagi perjuangan dan perlawanan para trah Balambangan setelahnya, yang menjadikan tanah para Menak ini menjadi salah satu Palagan paling dahsyat dan terlama di pulau Jawa yakni selama sepuluh tahun, antara tahun 1767-1777.

Rentetan perang semesta Balambangan yang dimulai semenjak perlawanan Agung Wilis yang terjadi pada tahun 1767, dilanjutkan Perang Bayu (1771-1773) yg dipimpin oleh Rempeg Jagapati, Sayu Wiwit, Jagalara, dan lain-lain.

Diteruskan perang Senthong Bondowoso (1773) yang dimotori oleh senopati Gagak Baning. Lalu perang Puger-Nusa Barong (1777) yang didalangi oleh Dalem Mas Surawijaya putra Agung Wilis dan Sindhu Brama.

Bahkan tidak berakhir sampai di situ. Perlawanan dalam skala kecil masih terus berlanjut dalam perang Gendoh dan perang pagambiran (1781-1782), perang Rajegwesi (1800) yang dipimpin oleh sang Rajabete mas Jaka Mursada, hingga berakhir pada perlawanan Mas Arya Galedak dari Puger tahun 1815 di Bondowoso.

Ilustrasi sketsa wajah Wong Agung Wilis
(sumber: doc. ajisangkala.id by. Kent Ali)

Mengenal Sosok Agung Wilis

Lantas siapakah sebenarnya sosok Wong Agung Wilis ?, Menurut Babad Tawang Alun, Wong Agung Wilis memiliki nama asli Mas Sirna. Ia merupakan putra dari Mas Purba/Pangeran Prabu Danureja yang berkuasa antara 1697-1736.

Dengan demikian, Wong Agung Wilis masih merupakan cicit langsung dari raja terbesar Balambangan, KangjengSuhunan Prabu Tawangalun (1655-1691).

Aji Ramawidi dalam bukunya Suluh Blambangan menyebutkan jika Wong Agung Wilis memiliki nama asli Mas Putra, ia merupakan anak dari Pangeran Prabu Danureja.

Ibunya adalah isteri ketiga Pangeran Prabu Danureja yang berasal dari Kabakaba Bali bernama I Gusti Ayu Kabakaba.

Namun selain itu, ketika Agung Wilis masih belum dikenal karena peran dan pengaruhnya dalam berbagai pralaya di negeri Balambangan dalam melawan penjajah, cerita masa lalu Agung Wilis juga menarik untuk di kaji, salah satunya adalah cerita mengenai perjalanan spiritual Agung Wilis di Pantai Selatan Banyuwangi.

Lantas bagaimanakah cerita yang melatar belakangi Agung Wilis hingga akhirnya pergi menyepi dan mengembara ke berbagai tempat di pantai selatan Banyuwangi untuk melakukan laku spritual?

Tersingkirnya Agung Wilis dalam Babad Tawangalun

Menandai Masa Akhir Balambangan, pada tahun 1736 Raja Balambangan yang berkuasa saat itu, yakni Pangeran Prabu Danureja mangkat, tahta kemudian diwarisi oleh putra tertuanya yakni Mas Sepuh bergelar Pangeran Prabu Danuningrat.

Dalam babad Tawang Alun dikisahkan kabar meninggalnya Mas Purba didengar oleh Cokorda negeri Kelungkung Bali. Lalu Cokorda Kelungkung mengirim seorang utusan bernama Gusti Ghede Lanangjaya Denpasar.

Kepada utusannya itu, Cokorda Kelungkung mengirim pesan agar mengangkat Mas Noyang atau Pangeran Prabu Danuningrat selaku putera tertua sebagai raja Blambangan, serta mengangkat adiknya yang bernama Mas Sirna atau kelak dikenal dengan sebutan Wong Agung Wilis sebagai Patih.

Lalu berangkatlah Gusti Lanangjaya Denpasar ke Negeri Blambangan disertai seorang senapati andalan raja bernama Ranggasatata yang akan dijadikan panglima kerajaan Blambangan.

Perintah Gusti Lanangjaya Denpasar agar mengangkat Wong Agung Wilis sebagai patih ternyata tidak dilaksanakan oleh Pangeran Prabu Danuningrat, dan ia lebih memilih anaknya yang bernama Mas Jali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mas Sutajiwa sebagai patih.

Karena itulah Wong Agung Wilis merasa sangat malu dan kecewa, ia merass seperti dikucilkan oleh kakaknya sendiri.

Versi Suluh Blambangan

Versi yang agak berbeda disampaikan oleh sejarawan Balambangan I Made Sudjana dalam Nagari Tawon Madu dan Aji Ramawidi, dalam bukunya Suluh Blambangan.

Menurut mereka, Agung Wilis pada awalnya telah diangkat sebagai patih namun karena adanya berbagai konflik kepentingan antara Kompeni, Surakarta dan Mengwi di Balambangan.

Akhirnya dilakukanlah usaha-usaha upaya untuk menyingkirkan Agung Wilis yang lebih pro Bali, oleh kelompok pro-Kompeni.

Agung Wilis difitnah oleh Mas Bagus Tepasana, besan raja. Dia tak lain merupakan pangeran dari Banger keturunan Balambangan yang juga antek Kompeni.

Olehnya Agung Wilis dituduh akan melakukan pemberontakan terhadap kakaknya Pangeran Prabu Daununingrat dengan bantuan kerajaan Mengwi.

Akibat fitnah tersebut akhirnya Agung wilis akan diberhentikan dari jabatannya sebagai patih, namun sebelum itu terjadi Agung Wilis terlebih dahulu mengundurkan diri secara terhormat.

Sampai di sini, kemunduran Kerajaan Balambangan kian nyata. Balambangan benar-benar memasuki Masa Akhirnya.

Lalu, kedua sumber sama-sama menyebutkan bahwa Agung Wilis mengasingkan diri, bertapa di sepanjang pantai selatan dan kesunyian hutan.

Berikut ini merupakan tempat-tempat yang didatangi selama pengembaraan spritualnya di sepanjang pesisir laut selatan Banyuwangi.

Pemandangan Pantai Lampon
(doc. Sindhu Brama)

Pantai Lampon

Pantai Lampon merupakan pantai berpasir hitam nan panjang yang terletak di dusun Lampon desa Pesanggaran Banyuwangi.

Pantai yang juga dijadikan tempat latihan para marinir TNI AL ini merupakan tempat pertama yang dikunjungi Agung Wilis untuk melakukan laku semedi.

Disebutkan dalam babad Tawang Alun jika Agung Wilis melakukan pertapaan di pantai Lampon selama 7 hari.

Bukit Dogong terlihat dari sisi barat
(doc. Sindhu Brama)

Bukit Dogong

Setelah dari pantai Lampon, lalu Agung Wilis bergerak ke timur menyusuri sepanjang pantai melewati Parang Semar dan Rawa Biru, lokasi yang ia tuju berikutnya adalah sebuah bukit dibalik sisi sebelah barat Tanjung Kalop, bukit itu bernama Bukit Ndogong.

Bongkahan batu-bata klasik di puncak Bukit Dogong (doc. Sindhu Brama)

Terletak sekitar 7 Km disebelah timur pantai Lampon, Bukit Dogong merupakan bukit karang dengan ketinggian kurang lebih sekitar 120 meter.

Vegetasinya cukup terbuka dengan didominasi oleh pohon dadap dan rumput teki yang membentuk semak-semak. Di bukit Doging ini Agung wilis disebutkan dalam babad Tawang Alun melakukan laku semedi selama 25 hari.

Di puncak bukit Dogong ini terdapat bekas bangunan yang kini struktur batu batanya telah berserakan.

Ukuran batu batanya bervariasi antara panjang 24 – 29,5 cm dengan lebar antara 11 – 13,5 cm. kemungkinan struktur batu bata ini merupakan punden bekas Agung Wilis melakukan tapa semedi.

Gunung Tumpangpitu

Gunung Tumpang Pitu dilihat dari pantai Pulau Merah (doc. Sindhu Brama)

Setelah bertapa selama 25 hari di Bukit Dogong sebelah timur pantai Lampon, lalu Agung Wilis beranjak ke arah barat.

Kali ini tempat yang ia tuju adalah sebuah gunung kramat bertingkat tujuh yang mengandung banyak harta karun, gunung Sapta Tumpang namanya, atau saat ini umum dikenal dengan sebutan Gunung Tumpang Pitu.

Di gunung yang kaya akan emas tersebut Agung Wilis bertapa selama 50 hari, bahkan menurut Babad Tawangalun Agung Wilis melakukan semedi berulang-ulang selama 7 kali di gunung yang memiliki luasan 1.942 hektar ini.

Goa Macan

Celah batu diatas bukit Goa Macan tempat Agung Wilis melakukan semedi (doc. Sindhu Brama)

Terletak sekitar 2 km sebelah barat daya Gunung Tumpangpitu atau 1 km sebelah utara pantai pulau Merah terdapat bukit kucil yang diatas puncaknya terdapat celah batu mirip sebuah gua, warga sekitar menyebutnya dengan sebutan goa Macan.

Goa yang berada di tengah areal kebun jati milik Perhutani ini disebutkan dalam Suluh Blambangan sebagai salah satu tempat pertapaan Agung Wilis.

Menurut Aji Ramawidi ada kemungkinan ketika Agung Wilis disebutkan bolak balik bertapa di gunung Tumpang Pitu selama 7 kali, goa macan merupakan salah satu tempat yang disinggahi Agung wilis untuk bertapa sebelum akhirnya balik lagi ke gunung Tumpang Pitu.

Kini goa macan banyak dikunjungi oleh para wisatawan yang mau menuju ke pantai pulau merah maupun pantau pancer karena lokasinya berada di dekat akses jalan menuju kedua pantai tersebut.

Mendirikan Dhukuh di Pasisir Manis

Makam/Petilasan Mbah Pesanggrahan
(doc. ajisangkala.id)

Setelah dari Tumpang Pitu lalu Agung Wilis mendapatkan petunjuk untuk mendirikan sebuah pedukuhan di sekitar pasisir manis. Karena inilah Agung Wilis juga dikenal sebagai Mas Dhukuh.

Kini Pasisir Manis dikenal dengan pantai Parang Manis yang terlatak disebelah barat pantai lampon atau sisi tenggara gunung Tumpang Pitu. Disana juga terdapat batu mirip kursi yang mengadap ke pantai yang kemudian dikenal dengan pantai parang kursi.

Diikuti oleh 40 orang pengikutnya lalu Agung Wilis membuka hutan Purawingan di dekat Pasisir Manis untuk mendirikan Pesanggrahan dan pedukuhan serta bercocok tanam disana.

Menurut Aji Ramawidi kata “Purawingan” sendiri berasal dari kata “Pura” yang berarti Tempat, serta “Awingan” yang berarti sembunyi atau tersembunyi.

Jadi Padukuhan Purawingan yang dibangun oleh Agung Wilis disekitar Pasisir Manis merupakan tempat untuk mengasingkan diri.

Di sana dia juga mempelajari Suluk Sudarsih, yang kemudian menjadikan adanya tafsir bahwa dia seorang muslim.

Penutup

Demikian lah sedikit rangkuman cerita dari perjalanan spritual Agung Wilis di pantai selatan yang mana penulis beberapa waktu yang lalu sempat menapak tilasi tempat-tempat tersebut.

Tetap pantau dan ikuti terus tulisan kami. Kami menulis masa lalu untuk masa depan. Wassalam.

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like