KI WONGSO KENONGO & Legenda Asal-usul Tradisi Keboan Aliyan

Penduduk Desa Aliyan dikenal memiliki ritual adat atau selamatan sebagai media komunikasi dengan makhluk gaib, dimana menurut kepercayaan mereka disebut danyang atau para leluhur yang menghuni tempat-tempat keramat.

Upacara adat tersebut mereka lakukan secara turun-temurun, seperti dalam upacara adat Keboan.

Konon, upacara adat ini bermula dari sebuah peristiwa gagal panen oleh petani di Desa aliyan, musibah tersebut berakhir setelah adanya makhluk gaib mirip kebo (kerbau) yang menginjak-injak persemaian padi mereka di sawah.

Ki Wongso Kenongo

Menurut kepercayaan masyarakat desa Aliyan, pada awal berdirinya Desa Aliyan hidup seseorang yang bernama Ki Wongso Kenongo. Dia adalah sesepuh desa sekaligus sebagai pemimpin Desa Aliyan.

Menurut perkiraan Aji Ramawidi dalam Sejarah Desa Aliyan, Ki Wongso Kenongo hidup di era sesudah Perang Bayu 1771-1773.

Mengenai Sejarah Desa Aliyan bisa dibaca di sini: https://ajisangkala.id/sejarah-desa-aliyan/

Ki Wongso Kenongo ini memiliki dua putra bernama Raden Pekik dan Raden Rangga.

Peristiwa Gagal Panen

Suatu ketika terjadi peristiwa gagal panen di desa Aliyan yang disebabkan oleh hama dan kesulitan air.

Karena hal itu terjadi berkali-kali, maka meresahkan para petani. Kehidupan masyarakat Desa Aliyan pun sangat menderita.

Persediaan bahan makanan di lumbung desa semakin menipis, sehingga secara tidak langsung mengancam ketentraman masayarakat desa Aliyan.

Sebagai pemimpin desa, Ki Wongso Kenongo merasa prihatin dengan kondisi yang dialami oleh warganya.

Sehingga pada suatu malam Ki Wongso Kenongo memanggil kedua putranya, yakni Raden Pekik dan Raden Rangga untuk memusyawarahkan masalah ini.

Mereka bermusyawarah untuk mencari solusi atas masalah kekeringan dan hama yang melanda desanya.

Raden Pekik dan Raden Rangga

Didorong oleh keprihatinan terhadap situasi yang terjadi, Raden Pekik dan Raden Rangga melakukan semedi. Setiap malam keduanya keluar rumah untuk bersemedi.

Raden Pekik bersemedi di selatan desa (di Dusun Krajan Desa Aliyan). Sedangkan Raden Rangga bersemedi di sebelah barat desa (di Dusun Sukodono Desa Aliyan).

Hal tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan Ki Wongso Kenongo.

Suatu malam penduduk desa dikejutkan oleh suara aneh yang menyerupai langkah kaki mahkluk besar dan kuat.

Setiap malam, tepatnya menjelang tengah malam, penduduk desa selalu mendengar suara aneh tersebut.

Awalnya masyarakat takut terhadap hal tersebut sehingga tak satupun dari mereka yang berani keluar rumah. Satu dua dari mereka hanya berani mengintip dari celah jendela.

Ternyata suara langkah tersebut berasal dari sesosok mahkluk yang menyerupai manusia namun badannya penuh lumpur.

Ahirnya masyarakat memberanikan diri untuk mengikuti mahkluk aneh tersebut.

Dengan senjata lengkap, penduduk desa mulai berkumpul. Mereka menunggu datangnya mahkluk aneh tersebut, dan kemudian mengikutinya dari belakang.

Akhirnya, mahkluk aneh tersebut dapat diketahui. Bentuknya menyerupai manusia dengan kepala mirip kebo (kerbau) yang penuh lumpur.

Mereka terus mengikuti mahkluk aneh tersebut. Tanpa disadari, makhluk aneh tersebut mambawa masyarakat ke tempat pertapaan Raden Pekik dan Raden Rangga.

Masyarakat Dusun Sukodono mengikuti mahkluk tersebut ke arah barat desa, ke tempat semedinya Raden Rangga.

Sedangkan masyarakat Dusun Krajan mengikuti mahkluk tersebut ke arah selatan desa ke tempat semedinya Raden Pekik.

Sesampainya di tempat semedi Raden Pekik dan juga Raden Rangga, penduduk desa sangat terkejut.

Mahkluk aneh itu tiba-tiba menghilang. Karenanya, dengan penuh keheranan mereka kembali ke kampungnya masing-masing.

Jejak Tapak Kaki Kerbau

Suatu hari, masyarakat melihat persemaian padi yang ada di salah satu petak sawah tampak seperti bekas diinjak-injak kerbau.

Sebagian warga tampak marah, sebagian lagi tambah bingung, dan ada juga yang bertanya-tanya, kira-kira siapa yang menginjak-injak tanaman padinya sehingga rusak seperti itu.

Keajaiban pun datang menghampiri masyarakat Desa Aliyan, setelah kejadian tersebut.

Ternyata hasil panen dari padi yang sebelumnya diinjak-injak kerbau itu melimpah ruah. Tanah mereka kembali subur dan hama tikus sudah tidak ada lagi.

Masyarakat percaya, bahwa yang menginjak tempat persemaian padi tersebut adalah makhluk aneh yang mereka ikuti malam itu.

Sejak saat itulah, penduduk desa setempat melakukan ritual adat yang dikenal dengan nama Keboan.

Tradisi Keboan Aliyan

Keboan di Desa Aliyan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di Dusun Sukodono dan di Dusun Krajan.

Pada awal mula pelaksanaan, ritual di pimpin langsung oleh Raden Pekik (Dusun Krajan) dan Raden Rangga (Dusun Sukodono).

Upacara adat Keboan di Desa Aliyan masih eksis hingga sekarang, pelaksanaannya tetap berpusat di dua tempat, yaitu di Dusun Krajan dan Dusun Sukodono.

Adakah Hubungan Dengan Balambangan?

Menurut Sumono Abdul Hamid, ritual Keboan Aliyan dan Kebo-keboan Alasmalang ada kaitannya dengan sejarah Majapahit, dimana Balambangan juga keturunan Majapahit.

Kebo atau Lembu atau Mahisa, adalah istilah nama untuk kalangan bangsawan. Sebut saja Kebo Anabrang, Lembu Peteng, dan Mahisa Campaka.

Banyak tokoh-tokoh zaman Kuna yang dikaitkan dengan nama Kebo. Termasuk sosok Kebo Mercuet, Adipati Balambangan Kuna.

Penggunaan istilah Kebo juga digunakan di Giri Kedaton (Gresik), dimana nama desa tempat istana Sunan Giri juga disebut Kebo-mas.

Sumber: Aji Ramawidi, Sejarah Desa Aliyan; Siswanto dan Eko Prasetyo, Tradisi Keboan Aliyan & Kebo-keboan Alasmalang; Sumono Abdul Hamid, dll.

Foto: Makam Buyut Wongso Kenongo dan Kades Anton dalam Tradisi Keboan Aliyan 2022 (sumber: Aliyan Berbenah)
0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like