Sebelumnya, kita telah membaca Raja-raja Majapahit dalam Universe 1 (versi Sejarah). Selanjutnya kita akan membahas Masa Akhir Majapahit, juga dalam Universe 1.
Tiga Tahun Tanpa Raja
Dalam Pararaton disebutkan, Sang Sinagara (Raja ke-8 Majapahit) memiliki empat orang anak, yaitu: Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kṛtabhumi. Mereka berempat meninggalkan istana di tahun 1468 saat paman mereka, yaitu Bhre Paṇḍansalas baru berkuasa dua tahun.
Anak-anak Sinagara juga tercatat dalam Kakawin Banawa Sĕkar, yaitu Śrī Naranātha ring Kahuripan, Śrī Parameśwareng Lasĕm, Śrī Nṛpati Pamotan, Śrī Naranātha ring Mataram, dan Śrī Nātheng Kṛtabhumi. Kakawin Banawa Sĕkar ditulis oleh Mpu Tanakung yang mengisahkan upacara Śrāddha untuk orang tua mereka.
Jika Sang Sinagara meninggal di tahun 1453, maka upacara tersebut tentunya dilaksanakan di tahun 1465, yaitu pada masa pemerintahan Bhra Hyang Pūrwawiśeṣa (sebelum Bhre Paṇḍansalas).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setelah terjadi kekosongan selama tiga tahun, Bhre Wĕngkĕr alias Girīśawardhana naik takhta dengan gelar Bhra Hyang Pūrwawiśeṣa. Saat itu anak-anak Sinagara dapat menerima.
Namun, setelah Girīśawardhana wafat, Bhre Paṇḍansalas alias Dyah Suraprabhāwa naik takhta. Anak-anak Sinagara tidak terima dan mereka pergi meninggalkan istana.
1478, Runtuhnya Majapahit dan Berdirinya Keling
Pada tahun 1478 anak-anak Sinagara menyerang Majapahit di bawah pimpinan Sang Munggwing Jinggan yang dibantu Brahmārāja Ganggādhara. Dyah Suraprabhāwa meninggal dalam istana.
Anak Sinagara yang bernama Bhre Mataram alias Dyah Wijayakusuma kemudian menjadi raja yang bertakhta di Kĕling (tidak lagi di Trowulan). Adapun status Majapahit menjadi sederajat dengan Janggala dan Kaḍiri, yaitu berada di bawah Kĕling.
Kemudian Dyah Wijayakusuma digantikan Dyah Raṇawijaya sebagai raja Kĕling yang menyebut dirinya berkuasa atas Majapahit – Janggala – Kaḍiri.
Di Mana Posisi Demak?
Pada tahun 1513 saat Tomé Pires mengunjungi Jawa, ibu kota sudah pindah ke Daha (Kaḍiri). Saat itu Dyah Raṇawijaya hanya sebagai raja simbol belaka, karena yang berkuasa atas negara adalah Guste Pate Amdura (mungkin ini ejaan Portugis untuk Gusti Patih Mahodara).
Berita ini diperkuat oleh catatan Duarte Barbosa dari Italia yang menyebutkan pada tahun 1518 yang berkuasa atas Jawa pedalaman bernama Pate Udra.
Tomé Pires (1513) mencatat sering terjadi peperangan antara Guste Pate Amdura melawan Persekutuan Para Pate Pesisir Utara yang dipimpin Pate Rodim dari Dĕmak. Pate Rodim dan para pate yang beragama Islam itu membentuk aliansi melawan Daha.
Meskipun demikian, tidak semua pate yang beragama Islam mendukung Pate Rodim. Ada seorang bernama Pate Vira dari Tuban yang meskipun muslim tetapi mendukung Guste Pate di Daha. Pate Vira ini adalah narasumber Tomé Pires mengenai kondisi politik di Jawa saat itu.
Maka, dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi perang saudara antara Dyah Suraprabhāwa melawan anak-anak Sang Sinagara, kekacauan ini dimanfaatkan Dĕmak dan para sekutunya untuk menyatakan merdeka dari Majapahit. Bahkan, Tomé Pires mencatat adipati Dĕmak (sebelum Pate Rodim) berhasil merebut Cirebon dan Palembang.
Ketika Tomé Pires datang ke Jawa (1513), peperangan terjadi antara Daha melawan Dĕmak. Kadang Dĕmak yang menyerang duluan, kadang Daha yang ganti menyerang. Pihak Daha selaku “penerus” Majapahit ingin merebut kembali deretan kota pelabuhan utara yang dikuasai Dĕmak. Hanya Tuban saja di wilayah pantura yang masih setia kepada Daha, sedangkan Surabaya kadang melawan Daha, kadang menjadi teman.
Siapakah Bra Wijaya?
Para pujangga Jawa era Mataram menyebut raja terakhir Majapahit bernama Prabu Brawijaya, kemungkinan sama dengan Bhaṭāra Wijaya yang dicatat Tomé Pires (1513).
Naskah Purwaka Caruban Nagari (1720) menyebut nama lengkap Prabu Brawijaya Kĕrtabumi. Mungkin sang pujangga menulis berdasarkan ingatan turun-temurun, bahwa Prabu Brawijaya juga bernama Bhre Kĕrtabumi.
Gelar Bhre Kĕrtabumi terdapat dalam Pararaton (1613) yaitu nama anak bungsu Sang Sinagara. Jika Bhre Kĕrtabumi dianggap sama dengan Prabu Brawijaya, itu berarti sama juga dengan Bhaṭāra Prabhu Dyah Raṇawijaya yang berkuasa di tahun 1486.
Itu artinya, Dyah Raṇawijaya adalah anak bungsu Sang Sinagara. Namun, menurut Tomé Pires, Batara Vojyaya adalah cucu Batara Sinagara, bukan anaknya.
Persaingan Daha vs Demak
Ketika Tomé Pires datang ke Jawa (1513), peperangan terjadi antara Daha melawan Dĕmak. Kadang Dĕmak yang menyerang duluan, kadang Daha yang ganti menyerang.
Pihak Daha selaku “penerus” Majapahit ingin merebut kembali deretan kota pelabuhan utara yang dikuasai Dĕmak. Hanya Tuban saja di wilayah pantura yang masih setia kepada Daha, sedangkan Surabaya kadang melawan Daha, kadang menjadi teman.
Pada tahun 1522 penulis Italia bernama Antonio Pigaffeta mendapat keterangan dari para pelaut lainnya, bahwa ada kota besar di Jawa bernama Magepaher yang rajanya telah meninggal, bernama Pati Unus.
Menurut catatan Tomé Pires di tahun 1513 Pate Unus adalah raja Japara, yang merupakan pate Islam terbesar kedua sesudah Pate Rodim raja Dĕmak. Jika keterangan ini benar, maka Pate Udra penguasa Daha telah dikalahkan oleh Pate Unus sesudah tahun 1518, sebelum tahun 1522.
Sementara itu, naskah lokal Jawa yang berjudul Babad Sĕngkala mencatat Tuban dan Kaḍiri (Daha) baru bisa ditaklukkan oleh Dĕmak pada tahun 1527. Saat itu yang menjadi raja Dĕmak adalah Sultan Trĕnggana putra Raden Patah.
Sumber Referensi :
– Kakawin Nāgarakṛtāgama karya Prapañca yang diterbitkan Ketut Riana (2009).
– Pararaton yang diterbitkan J.L.A. Brandes (1897).
– Tatanegara Majapahit parwa I dan II karya Muhammad Yamin (1962).
– Suma Oriental karya Tomé Pires terjemahan Indonesia (2015).
– Masa Akhir Majapahit karya Hasan Djafar (1978).
– Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa karya H.J. de Graaf (1974).
– Artikel berjudul Pararaton Revisited karya Nia Kurnia Sholihat Irfan (2008). – Kalangwan Sastra Jawa Kuno karya P.J. Zoetmulder (1974).