Desa KETAPANG yang terletak di Kecamatan Kalipuro adalah salah satu desa yang beruntung di Banyuwangi ini, karena namanya tercatat dalam berbagai sumber sejarah sehingga menjadikan desa ini termasuk salah satu desa tertua di Banyuwangi.
Diantara nilai-nilai historis yang dimiiliki oleh desa KETAPANG adalah; (1) Prasasti Ketapang tahun (1095-1150); (2) Petilasan Aneng Patih (antara 1647-1719); (3) Lokasi Perang Kabakaba (1767); (4) Ketapang sebagai Calon Ibukota (1771); (5) Ketapang sebagai salah satu Distrik pertama (1773); dan (6) Pembangunan jalur Watu Dodol (?).
Prasasti Ketapang (1095-1150);
Batu Prasasti ini konon ditemukan oleh pemerintah kolonial tahun 1914 di desa Ketapang Kecamatan Giri Banyuwangi (saat itu belum ada Kecamatan Kalipuro).
Prasasti berupa patung ini memuat angka tahun dalam bahasa kawi; 1017 S/1095 M ada pula yang membaca 1072 S/1150 M.
Dengan demikian dapat diduga bahwa prasasti ini sezaman dengan Kerajaan Kediri era pemerintahan tiga raja yang berkuasa antara tahun 1095-1150 M, yakni; (1) Sri Jitendrakara, (2) Sri Bameswara, dan (3) Maharaja Mapanji Jayabhaya.
Jika benar Prasasti ini berasal dari Ketapang di Banyuwangi, sepertinya tempatnya dari Situs Anengpatih di Dusun Selogiri, Ketapang.
Namun klaim atas prasasti ini juga muncul dari daerah Ketapang lain di Mojokerto. Oleh karena itu perlu kajian lebih mendalam atasnya, sehingga Penulis belum bisa merekomendasikan Prasasti ini sebagai tonggak awal adanya Desa Ketapang.
Tentang Prasasti Ketapang dapat dibaca di sini: https://ajisangkala.id/prasasti-ketapang-banyuwangi/
Petilasan Aneng Patih (antara 1647/1719);
Petilasan Anengpatih ini, menurut Penulis ada kaitannya dengan tokoh Panji Pati alias Panji Wani eng Pati (Waneng Pati), salah satu senapati Perang Balambangan menghadapi invasi Mataram tahun 1647 yang namanya disebutkan dalam Babad Tanah Jawi (BP).
Sebuah jejak arkeologis di atas bukit dusun Selogiri pada 4-8 September 1976 pernah mengalami ‘penggalian liar’ oleh masyarakat yang kurang tahu akan UU Cagar Budaya sehingga menyebabkan kerusakan parah. Adapun yang dapat kita lihat saat ini, hanyalah sisa-sisanya saja.
Tahun 1647 (sumber lain menyebut 1719), dapat dijadikan tahun hari lahir Desa Ketapang. Namun Penulis memiliki dua pertimbangan; Pertama, lokasinya yang berada di Dusun di Selogiri akan lebih kuat sebagai hari jadi Selogiri bukan ketapang. Kedua, tanggal dan bulan-nya belum jelas.
Tentang Makam Anengpatih dapat dibaca di sini: https://ajisangkala.id/makam-aneng-patih-ketapang/
Lokasi Perang Kabakaba (1767)
Kita kutip dari Opkomst di sana disebutkan bahwa, kota Panarukan (di Situbondo) adalah wilayah Balambangan yang takluk pertama kali pada VOC-Belanda pada tanggal 9 Maret 1767. Dua hari kemudian, tanggal 11 Maret 1767, tentara VOC-Belanda melanjutkan perjalanan ke Banyualit (Blimbingsari).
Adapun rute perjalanan mereka adalah: Banyu Tikus/Kali Tikus; Selakar Putih; Kali Putih; Negeri Kabondang di kakinya Baluran; Menang/Meneng; KETAPANG; Banyu Alit. Perjalanannya dari 11 sampai 23 Maret 1767.”
Molornya waktu perjalanan ini menimbulkan rasa penasaran. Adakah yang menghambat perjalanan mereka?
Ternyata, kita temukan dalam Babad Wilis, bahwa telah terjadi penghadangan oleh para pejuang Balambangan dan Mengwi di sepanjang jalan dari Negeri Kabondhang sampai Papakem. Perang terbesarnya meletus di Kitha KETAPANG.
“Gusti Murah (Ngurah) angandika Kuthabedhah prayoga bibara dhingin, ngirida kawula Bangsul (Bali), nuli andika bubar ing Papakem dadalan, andika rebut. Kawula medal KETAPANG, sakonca kula pribadi, margine lumebeng KITHA ING KETAPANG simpangan agung amalih lah rare sira lumayu nusula Kapanasan.”
Babad Wilis
Ketapang sebagai Calon Ibukota Kabupaten (1771);
Setelah Perang Kabakaba (1767) dan Perang Wilis (1767-1768) yang menyebabkan Kerajaan Balambangan takluk (1768), otoritas VOC-Belanda di Batavia bermaksud menata pemerintahan baru dengan mempersiapkan pemindahan ibukota Kabupaten Balambangan dari Ulu Pangpang ke tempat lain.
Dari surat Gubernur Jenderal P.A. van der Parra tertanggal 31 Desember 1771, kita peroleh data bahwa ternyata KETAPANG pernah diusulkan menjadi salah satu opsi calon ibukota Kabupaten yang baru;
“…memindahkan Kota yang baru dibangun itu… ke KETAPANG atau ke Moko (Modjo), apabila tempat-tempat tersebut oleh Residen Biesheuvel dianggap lebih baik.”
Opkomst
Namun, sebelum hal itu terlaksana, pada awal Agustus 1771, otoritas VOC-Belanda di Balambangan kembali disibukkan dengan meletusnya Perang Bayu di bawah pimpinan Mas Rempeg Jagapati sehingga gagal-lah rencana pemindahan itu.
Ketapang sebagai salah satu Distrik pertama (1773);
Baru seusai Perang Bayu (1771-1773), akhirnya VOC-Belanda dapat membentuk pemerintahan baru. Dalam Resolusi 7 Desember 1773; Bagian Pertama, disebutkan bahwa Kabupaten Blambangan akan dipimpin oleh Raden Tumenggung Wiraguna (Mas Alit).
Dalam Bagian Kedua kita dapati informasi bahwa Kabupaten Blambangan akan dibagi dalam tiga Distrik/Kecamatan, yakni; (1) Distrik Grajagan, (2) Distrik Ulu Pangpang, dan (3) Distrik KETAPANG-Bincak-Pakem, yang masing-masing akan dipimpin seorang bergelar Ing Ngabei.
“Pada 1774, dipilih tiga pemimpin untuk ketiga Distrik baru ini dan diberi gelar Ngabehi. Mantri Singagringsing ditunjuk sebagai pemimpin Grajagan. Mantri Karanggringsing sebagai pemimpin Ulu Pangpang. Sementara Karangandung yang sebelumnya dipromosikan sebagai Patih Blambangan dipilih sebagai pemimpin KETAPANG-Bincak-Pakem.”
Opkomst
KETAPANG, Bincak (Bengkak, Wongsorejo), Pakem (Lingkungan Pakem, Banyuwangi); tiga daerah kecil ini adalah titik rawan di sebelah utara karena pada tanggal 15-20 Maret 1767 pernah melakuka perang besar-besaran menghadang kedatangan VOC-Belanda.
Oleh karena itu perlu kontrol khusus di sini. Ketiganya terhubung dengan pos-pos Militer Belanda di Panarukan dan dipersatukan menjadi satu sub-administrasi pemerintahan dan dipimpin oleh Mantri Ngabehi Karangandung /Karangandul.
Sebuah pos militer juga dibangun di Bengkalingan (Wongsorejo) dan Papakem (Pakem).
Pembangunan Jalur Watu Dodol;
Peristiwa terakhir yang bisa dijadikan bahan pertimbangan adalah proses pembangunan Jalur Watu Dodol.
Mengenai kapan pastinya peristiwa ini bermula masih belum dapat dipastikan. Mungkin era Jaksanegara, era Mas Alit, atau bahkan era Perantaian nanti.
Disebutkan bahwa untuk meramaikan Blambangan Timur yang penduduknya hanya tinggal sedikit, maka diperlukan akses darat dari Panarukan ke Banyuwangi.
Untuk itu Tumenggung Wiraguna diperintahkan untuk membuat atau melebarkan jalan di antara dua kota itu.
Sampai ketika pelebaran jalan itu mencapai Watu Dodol, Tumenggung Wiraguna meminta bantuan kepada gurunya (seniornya) yakni bekas Tumenggung yang lama, Jaksanegara.
Ki Buyut Jaksa kemudian dipangil pulang dari Pasuruan ke Banyuwangi dan tinggal di Boyolangu. Ki Buyut Jaksa dibantu oleh anak anagkatnya Nur Iman (putra Lemani).
Mereka pulang pergi dari Boyolangu ke Gunung Watu Dodol, untuk menyelesaikan tugas itu hingga berhasil menjadi jalan yang cukup lebar seperti yang kita lihat saat ini.
“Mengenang perjuangan Jaksanegara, maka penduduk Kelurahan Boyolangu setiap satu tahun sekali melakukan Tradisi yang sama. Mereka akan berputar keliling kampung sampai dengan Watu Dodol dan kembali ke Boyolangu. Adat budaya tersebut disebut ‘Puter Kayun’.”
Yeti Chotimah: Sejarah, Seni dan Budaya Banyuwangi
Penutup
Penggalian nilai-nilai historis di atas, telah membuat kita dapat melihat adanya enam peristiwa penting yang bisa dijadikan tonggak peringatan hari besar desa KETAPANG.
Dari keenam peristiwa itu, Perjuangan Rakyat Ketapang tahun 1767 lah yang paling layak untuk dirayakan sebagai Hari Jadi desa KETAPANG. Tanggal pastinya, dapat kita pilih antara tanggal 15-20 Maret 1767 itu.
Bahan Bacaan: Opkoms, Babad Wilis, Babad Tawangalun, Babad Notodiningratan, Babad Tanah Jawi (BP), Sejarah Kerajaan Blambangan, Perebutan Hegemoni Blambangan, Sejatah Seni dan Budaya Banyuwangi, Suluh Blambangan, dll.
Catatan: Ditulis untuk Sarasehan “Mengenal Sejarah Desa Ketapang” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Ketapang di Wisata Penawar Sari pada tanggal 18 Juni 2022.