Suluh Blambangan dan Novel Wilis

Oleh: Ayung Notonegoro

Bulan ini, saya mendapatkan dua buku baru yang ditulis oleh Mas Aji Ramawidi. Buku pertama berjudul “A Short History of Blambangan”. Meski berjudul bahasa Inggris, buku ini tetap berbahasa Indonesia. Isinya merupakan ringkasan dari dua jilid buku karyanya yang diterbitkan sebelumnya, Suluh Blambangan.

Sedangkan buku kedua baru saya dapat pada acara peluncurannya pagi tadi di Pendopo Sonangkara, Kecamatan Banyuwangi, Sabtu (26/6/2021). Buku yang bergenre novel ini, berjudul “Wilis”.

Sebagaimana judulnya, novel ini mengungkapkan kisah dari seorang raja di Kerajaan Blambangan, Wong Agung Wilis. Buku ini juga sempat disinggung dalam pengantar buku yang pertama.

Asal-usul Suluk Balumbung

Dari dua buku ini, sebenarnya banyak hal yang menarik untuk dikomentari. Namun, satu hal yang paling membetot perhatian saya. Satu hal inilah yang hemat saya paling mempengaruhi dalam karir kepenulisan Mas Aji.

Mbah Mas Dulsamat, demikian Mas Aji menyebut sosok yang paling berpengaruh itu. Ialah sosok yang menjadi sumber utamanya dalam menulis dua jilid bukunya; Suluh Blambangan.

Sosok Mbah Mas Dulsamat tak disebutkan secara detail. Ia hanya disebut sebagai putra wayah dari generasi ketujuh Prabu Tawangalun. Ia mendapat cerita secara turun temurun dari leluhurnya tentang kisah Banyuwangi.

Cerita tutur itu kemudian sampai ke Mas Aji sekitar 2012. Dari cerita tutur yang kemudian disebut dengan “Suluk Balumbung” itu, diadaptasi dalam buku “Suluh Blambangan”.

Metodologi Penulisan

Dalam beberapa forum sejarah lokal Banyuwangi, buku “Suluh Blambangan” ini kerap menjadi sorotan. Di antaranya tentang otensitas sumber datanya serta metodologi penulisannya.

Dua hal ini kerap kali muncul dalam setiap diskusi tentang buku-buku Mas Aji. Termasuk tadi pagi ketika peluncuran novel Wilis-nya.

Saya kira Mas Aji bukan penulis serampangan. Ia menekuni studi literatur yang telaten. Juga melakukan studi lapang yang cukup intens. Ia juga mengaku memahami cara kerja metodologi sejarah.

Namun, ia tetap memilih “style tulisannya” yang seringkali mengundang keraguan sebagian pembaca kritis itu, (Aji melakukannya) sebagai bentuk “perlawanan” terhadap hegemoni pengetahuan tentang sejarah Banyuwangi yang selama ini jamak diketahui orang.

Ia mencoba meniru “kebebasan” Gus Dur saat memaknai ulang tentang sejarah bangsa Indonesia. Khususnya dalam esai-esai Gus Dur yang terkumpul dalam buku tipis “Membaca Sejarah Nusantara”.

Akan tetapi, terlepas dari kontroversi tersebut, satu hal yang menurut saya menjadi utang Mas Aji adalah mengungkapkan sosok Mbah Mas Dulsamat tersebut di atas.

Bisa saja ia adalah sosok yang mastur (tersembunyi). Tak berkenan untuk diungkapkan figurnya secara umum. Namun, bukankah dengan membuka sedikit tabirnya itu, sudah menggugurkan kemasturannya?

Ditunggu. Biar saya tak penasaran, Mas 😁😁😁😁

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like