PAGON, Kampung Muslim di Balambangan yang Hilang

By. Ayung Notonegoro (12 April 2017)

Banyuwangi bisa dikatakan adalah daerah yang mengalami proses islamisasi paling akhir di tanah Jawa.

Kerajaan Balambangan yang merupakan cikal bakal Banyuwangi saat ini, baru mengalami proses islamisasi secara masif pada masa Bupati Banyuwangi kelima Tumenggung Pringgokusumo (memimpin 1867-1881). Saat itu, ia dibantu oleh dua orang muballig bernama Datuk Ibrahim dan Sayyid Hasan.

Islamisasi era Tumenggung Pringgokusumo

Hal ini, setidaknya dapat kita lihat dari laporan Pejabat Pengawas Pemerintah Hindia Belanda Dr. Y. W. De Stoppelaar yang ditulis pada 1927.

 Dalam laporan yang berjudul ‘Hukum Adat Balambangan (PSBB:1991) itu menyebutkan demikian:

“Dewasa ini, agama Islam telah masuk ke dalam segala lapisan masyarakat dan orang tidak menjumpai lagi orang-orang beragama Hindu. Artinya, setidaknya tidak lebih hanya beberapa orang disana-sini.

“Padahal, pengislaman ini belum lagi satu abad tuanya dan ada beberapa desa, seperti contohnya Cungking misalnya, dimana agama Islam baru beberapa puluh tahun lamanya berhasil keluar sebagai pemenang…. “

Dari keterangan tersebut, yang ditulis pada 1927, keterangan kurang dari satu abad menunjukkan interval waktu antara tahun 1830-an ke atas. Tak lain, sebagaimana hasil riset yang dilakukan oleh Drs. Suhailik (belum dipublikasikan), proses islamisasi di Banyuwangi memuncak pada masa Pringgokusumo.

Peran Syaikh Maulana Ishaq

Akan tetapi, meski islamisasi secara masif baru terjadi pada pertengahan abad ke-19, tapi proses pendakwahan Islam telah terjadi jauh sebelum itu. Salah satu informasi tertua, islamisasi di Banyuwangi (baca: Balambangan) dilakukan oleh Syekh Wali Lanang [1].

Diceritakan, Syekh Wali Lanang tersebut, mampu mengobati putri dari Raja Balambangan. Dari sinilah, ia mendapat izin untuk mendakwahkan Islam di Balambangan. Namun, hingga beberapa lama, usaha Syekh Wali Lanang untuk mengislamkan sang raja tak kunjung berhasil.

Hingga akhirnya ia keluar dari Balambangan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Kelak, anak dalam kandungan tersebut menjadi sosok yang besar dalam menyebarkan Islam, Sunan Giri.

Menurut Babad Balambangan, peristiwa ini terjadi pada masa Raja Santaguna atau Menak Cablang yang memerintah pada sekitar tahun 1575.

Namun, jika mengacu pada Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, peristiwa tersebut terjadi pada masa Menak Dedaliputih yang hidup pada abad ke-15. Lebih awal ketimbang dari masa Santaguna.

Islamnya Prabu Danuningrat

Laporan selanjutnya tentang islamisasi baru terdapat lagi pada masa Pangeran Adipati Danuningrat atau Pangeran Pati [III] (1736-1764).

Banyak indikator yang mengarah pada ciri-ciri keislaman yang ditunjukkan oleh Danuningrat. Seperti halnya tidak makan babi, dikubur selayaknya muslim, dan tidak dibakar kala meninggal sebagaimana umat Hindu, dan memiliki kedekatan dengan penguasa-penguasa muslim.

Untuk yang terakhir tersebut, saudara tiri Agung Wilis ini, menjalin hubungan diplomatik dengan Lumajang dan Pasuruan yang notabanenya telah memeluk agama Islam. Bahkan, Hendrik Berton dalam laporannya tertanggal 30 Oktober 1763, menyebutkan kalau Danuningrat juga memiliki penasehat yang beragama Islam.

Islamisasi di Akar Rumput

Namun, narasi di atas berpaku pada islamisasi yang bercorak istanasentris. Lantas, bagaimana dengan proses islamisasi ditingkat akar rumput? Islamisasi masyarakat secara langsung.

Tak banyak literatur yang menuliskannya. Salah satunya adalah laporan dari Komandan Balambangan Van Rijcke kepada Gubenur J. Vos tertanggal 4, 27 Februari dan 2 Maret 1768.

Rijcke melaporkan tentang upayanya memburu Agung Wilis yang melakukan perlawanan terhadap kompeni yang mulai bercokol di Balambangan.

Rijcke melakukan penggeledahan ke setiap kampung-kampung untuk memburu Wilis. Setiap desa yang dilalui, akan ditanyakan keberadaan Wilis. Jika tak diberi tahu, maka desa tersebut akan dibumihanguskan.

Salah satu desa yang dibumihanguskan oleh Rijcke tersebut adalah desa Pagon. Sebuah daerah yang disebut dengan perkampungan muslim.

Perkampungan Muslim, Pagon

Dari toponimnya, nama desa Pagon tersebut memiliki kesamaan dengan Pegon yang artinya menyimpang. Bisa jadi, disebut Pagon karena berbeda dengan agama yang dianut oleh desa-desa lainnya yang mayoritas beragama Hindu.

Dalam laporan berupa surat tersebut, menurut Sri Margana, peneliti UGM dan penulis buku ‘Perebutan Hegemoni Balambangan’ dalam suatu diskusi (7/4/2017), tak menyampaikan secara spesifik. Baik tentang letak geografis kampung Pagon itu sendiri, maupun tentang asal usulnya.

“Bisa jadi, kampung Pagon ini merupakan komunitas muslim yang asli Balambangan atau bisa juga hanya perkampungan yang dihuni oleh para pedagang dari negara lain yang beragama islam sebagaimana di daerah-daerah lainnya.

“Apalagi, mengingat Balambangan juga menjadi jujukan para pedagang dari mancanegara, termasuk dari Arab,” terang Margana.

Meski Desa Pagon masih misteri, akan tetapi bukan tidak mungkin perkampungan muslim itu masih dapat ditemukan. Meski telah dibakar habis oleh Belanda, bukan tidak mungkin ada tanda-tanda yang masih tersisa. Seperti halnya makam.

Makam Buyut Guru

Makam muslim kuno ditemukan dibeberapa tempat di Banyuwangi. Seperti sebuah makam di daerah Labanasem Lor, Kabat. Orang-orang sekitar menyebutnya sebagai makam Syekh Guru (Buyut Guru).

Konon, ia adalah sosok penyebar Islam di Balambangan yang berasal dari Kerajaan Demak. Dalam batu nisan tersebut, konon tertera angka yang menunjukkan 875 dengan tulisan hijaiyah [2]. Besar kemungkinan menunjukkan angka tahun hijriyah.

Apakah desa Pagon tersebut, berada di desa Labanasem Lor saat ini? Bisa jadi.

Labanasem Lor terletak tak jauh dari Macan Putih yang menjadi ibu kota Balambangan, Macan Putih. Tak lebih dari dua kilo meter. Hanya terpisah dengan sungai. Fakta geografis ini, cocok dengan keterangan Van Rijcke yang menyebutkan bahwa Desa Pagon tak jauh dari ibu kota Balambangan (Sri Margana: 2012).

Perlu Penelitian Lebih Lanjut

Namun asumsi tersebut, masih lemah. Perlu penelitian lanjutan. Misalnya tentang hubungan Balambangan dengan Demak dalam proses islamisasi. Sehingga ada makam kuno muslim yang disebut-sebut sebagai penyebar Islam asal Demak di Labanasem tersebut.

Setidaknya ada dua hal yang bisa menjadi pendekatan untuk menemukan jawaban yang meyakinkan. Pertama, memperkaya data tentang desa Pagon dan kedua, menelusuri seluk beluk Labanasem Lor dan misteri makam kunonya.

Semoga coretan penuh tanya menjelang tidur ini, terjawab dalam mimpi malam ini. Howah…..

Catatan Kaki

[1] Nama Syekh Wali Lanang merujuk pada Serat Walisana yang juga menyebutnya Sayid Yaqub. Sedangkan nama yang populer dari ayahanda Sunan Giri ini, Syekh Maulana Ishaq merujuk pada Babad Tanah Jawi.

[2] Penyebutan angka dari narasumber sebenarnya adalah 785. Akan tetapi, hal tersebut masih penuh keraguan. Setelah penulis cek langsung ke nisan makam, ternyata sudah tidak bisa terbaca dengan jelas. Terlebih nisan telah dilabur dengan gamping. Akan tetapi, dari goresan yang tersisa, juga menyerupai angka 875. Angka 8 dan 7 dalam huruf hijaiyah memang memiliki bentuk yang hampir sama. Jadi, tidak heran jika salah membacanya. 875 jika dikonversi dalam tahun masehi, maka bisa sezaman dengan masa-masa Demak melakukan ekspansi ke Balambangan. Atas pertimbangan tersebut, penulis lebih memilih 875 ketimbang 785.

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like
Selanjutnya

Sejarah Desa Ketapang

DAFTAR ISI Hide Prasasti Ketapang (1095-1150);Petilasan Aneng Patih (antara 1647/1719);Lokasi Perang Kabakaba (1767)Ketapang sebagai Calon Ibukota Kabupaten (1771);Ketapang…