Sejarah Desa Kradenan

Kradenan adalah sebuah nama desa di wilayah kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur, Indonesia.

Desa ini termasuk salah satu Desa Tua yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Balambangan dan pernah menorehkan sejarahnya sendiri dalam dua peristiwa besar, yakni Perang Wilis (1763) dan Perang Bayu (1771-1773).

Kepala desa Kradenan, Ki Jalasutra tercatat terlibat dalam Perang Bayu bersama Mas Rempeg Jagapati melawan VOC.

Desa ini terdiri dari 5 dusun, yaitu:

  1. Dusun Curahpalung
  2. Dusun Kaliboyo
  3. Dusun Kopen
  4. Dusun Krajan
  5. Dusun Perangan (dulu bernama Gelintang)

Asal Usul Raden Purawijaya

Desa Keradenan, sekarang berubah penyebutan menjadi Kradenan adalah salah satu desa tua yang dihuni penduduk asli Balambangan di daerah paling selatan.

Dalam Babad Tawangalun, diceritakan bahwa Kangjeng Susuhunan Tawangalun (1655-1691) memiliki beberapa anak, diantaranya adalah; Pangeran Senapati Sasranegara (raja 1691), Pangeran Macanagara, Mas Macanapura (raja 1691-1697), dan si bungsu Pangeran Arya Gajah Binarong.

Pangeran Arya Gajah Binarong berputra Bagus Dalem Prabayeksa. Selanjutnya dalam Babad Bayu disebut bahwa Ki Tulup Watangan menjadi penguasa wilayah Pruwa (Purwo), dan dalam Suluh Blambangan disebutkan bahwa Ki Tulup Watangan memiliki anak diantaranya Raden Mas Purawijaya penguasa di Keradenan.

Pada era Kerajaan Balambangan, Desa Keradenan adalah bagian dari Kemantren Tamanagong (sekarang desa Tamanagung, Kecamatan Cluring).

Raden Mas Purawijaya penguasa di Keradenan ini berputra Ki Jalasutra yang disebutkan dalam Babad Bayu beliau terlibat bersama Mas Rempeg melawan VOC dalam Perang Bayu (1771-1772). Tokoh ini oleh masyarakat Kradenan dikenal dengan nama Ki Jajang Bongkar.

Pangeran Agung Wilis Menuntut Keadilan

Ketika Pangeran Agung Wilis diturunkan dari jabatan Patih Kerajaan Balambangan sekitar tahun 1760, pemerintahan Prabu Jingga Danuningrat segera menghadapi ketidakpercayaan dari rakyatnya sendiri.

Setelah tersingkir, Pangeran Agung Wilis menyepi di Pasisir Manis (Lampon) yang terletak di pantai selatan dan mendirikan desa Purawingan sebagai Pesanggrahan nya. Kini menjadi petilasan Mbah Pesanggrahan di Kecamatan Pesanggaran.

Keluarga raja dan rakyat yang mencintai Pangeran Agung Wilis, kemudian mulai berbondong-bondong untuk bersatu dengannya di tempat menyepi tersebut.

Dalam Suluk Balumbung disebutkan bahwa Pasukan Agung Wilis berangkat ke Ibukota untuk menuntut keadilan. Pasukan besar itu dipimpin oleh Raden Purawijaya (kakak ipar Agung Wilis) bersama; Ki Singagarit dan Ki Balengker, dan ditambah 800 orang prajurit perang tandang (gerak cepat) dari Mengwi yang dipimpin Ki Perangalas dan Wayahan Kotang.

Raden Purawijaya

Di jalan, mereka bertemu dengan pasukan Mas Bagus Tepasana yang sedang berpatroli untuk menggempur desa Purawingan (Pesanggaran) dengan bantuan senjata dari VOC-Belanda.

Disanalah kemudian terjadi peperangan besar dan pasukan Agung Wilis berhasil memenangkannya. Namun kemenangan tersebut harus dibayar mahal dengan gugurnya Raden Purawijaya. Jenazahnya dikebumikan di tempat tersebut.

Selanjutnya, pasukan bergerak ke Kutha Arja Balambangan (di Muncar), Prabu Danuningrat bersama putra mahkota Mas Anom Sutajiwa, dan keluarga mereka yang ketakutan berhasil kabur ke Besuki untuk meminta bantuan kepada VOC-Belanda.

Mbah Priyangan

Makam/Petilasan Mbah Priyangan

Setelah Pangeran Agung Wilis berhasil menduduki Kutha Arja Balambangan, dia mengangkat para pejabat baru.

Diantaranya adalah Ki Jalasutra putra Raden Purawijaya, sebagai Bekel atau kepala desa baru di Keradenan.

Sejak itu Mas Jalasutra dan keluarganya menetap di sana untuk menjaga makam/persemayaman sang ayah. Makam/para-Hyang-an dari Raden Purawijaya, kini disebut sebagai Makam Mbah Priangan.

Ki Jalasutra

Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya, demikianlah kata pepatah yang layak dijadikan teladan ketika membaca sejarah Raden Purawijaya dan putranya, Ki Jalasutra.

Hal ini dapat dilihat dalam peristiwa Perang di Bayu tahun 1771-1773, Ki Jalasutra menorehkan namanya dalam Babad Bayu sebagai salah satu pahlawan yang berjuang untuk membela kemerdekaan Kerajaan Balambangan dari penjajahan VOC-Belanda.

Dalam Perang yang dipimpin Mas Surawijaya, Sayu Wiwit, dan Mas Rempeg Jagapati tersebut, Ki Jalasutra terlibat penuh bersama para Bekel yang lain menggerakkan rakyat Kradenan untuk menghadapi pasukan VOC-Belanda yang dipimpin oleh Letnan CVD. Biesheuvel, Lettu Van Schopoff, dan Komandan Mayor van Colmond.

Mbah Jajang Bongkar

Dalam Perang Bayu I tersebut, nasib Ki Jalasutra selanjutnya tidak dijelaskan, karena makamnya tidak ada di daerah kekuasaannya di Kradenan.

Kemungkinan besar beliau ikut gugur bersama para pemimpin perang Bayu lainnya, mengingat saat ini di daerah Songgon ada petilasan Jajang Bongkar.

Perang Bayu I berakhir ketika Mas Rempeg Jagapati gugur pada tanggal 18 Desember 1771.

Perang bersejarah tersebut dalam buku Belanda di Bumi Blambangan disebutkan telah menelan kerugian setara 8 ton emas dan kini diabadikan sebagai Hari Jadi Kabupaten Banyuwangi.

Bahan Bacaan: Babad Blambangan, Babad Wilis, Babad Tawangalun, Suluh Blambangan, Opkomst, dll.

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like